Part 2. Buah Hati

9 2 2
                                    

"Benarkah apa yang dikatakan Ibu? Apa yang dialami anak itu telah membuat hancur masa depannya? Aku sudah tidak memiliki masa depan yang cerah. Benarkah? Benarkah?"

Sambil terus menggosok tubuhnya isak gadis itu semakin tak tertahan. Ia terus mengguyur tubuh untuk menyamarkan tangisnya. Ranti seperti diingatkan kembali pada kondisi dirinya yang selama ini berusaha ia simpan sendiri. Luka lama itu seperti kembali terbuka. Perih di dada. Gadis bertinggi 160 Cm itu bertahan beberapa saat di kamar mandi dalam diam.

"Siapa pun dia. Bagaimana pun asal usulnya kalau sudah statusnya menjadi anak ya orang tua harus bisa mengasihi, menyayangi dan melindungi. Bukan malah mencelakai. Jaman memang sudah edan. Tapi Bapak gak setuju kalau yang enggak edan gak bakalan keduman. Itu menyesatkan."

Pak Darma masih saja mengeluarkan keluh kesahnya. Bu Latifah dengan sabar mendengarkan dan sesekali menimpali.

"Pak, ini pelajaran buat kita. Harus bisa selalu menjaga dan melindungi Ranti. Apalagi ia sudah tumbuh menjadi gadis cantik. Tentu akan ada teman lelaki yang suka padanya, meski Ibu belum pernah melihat ia dekat dengan seseorang."

"Oiya, Bu. Bapak sudah menganggap Ranti sebagai anak sendiri. Kalau enggak ada dia selama ini kita pasti kesepian hanya berdua saja."

Pasangan suami istri itu memang tidak dikarunia anak hingga usia perkawinan mereka menginjak dua dasa warsa.

"Stt, Pak jangan keras-keras bicaranya. Kalau Ranti mendengar bisa runyam urusannya."

Wanita itu meletakkan telunjukkan ke bibir. Memberi isyarat agar sang suami mengurangi volume bicaranya.

Bu Latifah beranjak dari bangku menuju kamar mandi. Diketuknya pintu berbahan aluminium itu dengan pelan.

"Nduk, jangan lama-lama mandinya. Katanya kamu mau berangkat sekolah pagi-pagi." Suara Bu Latifah membuyarkan lamunan Ranti.

Gadis 18 tahun itu kembali membasuh muka untuk menyamarkan bekas tangisnya. Ia segera menuju kamar untuk bersiap diri.

Pak Darma masih menikmati segelas kopi ketika Ranti menghampirinya untuk berpamitan.

"Jaga diri baik-baik ya, Nduk. Jangan mudah percaya sama teman laki-laki yang sepertinya baik dan peduli sama kamu."

Ranti hanya menggangguk sambil meraih tangan lelaki yang biasa dipanggil bapak untuk diciumnya dengan takzim.

Hari pertama masuk sekolah jangan sampai terlambat. Menyusuri jalan kampung yang sudah dibeton dibutuhkan sekitar sepuluh menit sebelum sampai di pinggir jalan raya, tempatnya menunggu angkot.

"Kamu nanti sebaiknya milih kursi di baris kedua. Langsung di deretan deket pintu masuk. Bapak lihat itu tempat keberuntunganmu. Meskipun kamu tidak akan melanjutkan kuliah, tetapi lulus dengan nilai baik harus tetap kamu dapatkan. Oiya jangan lupa kertas berisi doa-doa dibawa. Semoga bisa melindungimu di mana pun kamu berada."

Lelaki dengan rambut yang mulai dipenuhi uban itu selalu mengulang pesannya sebelum Ranti berangkat sekolah.

"Iya, Pak."

Hanya jawaban pendek yang diberikan. Ranti segera memeriksa kembali tasnya apakah lembaran kertas yang dimaksud sang bapak sudah dibawa.

"Kita jalan ke depan barengan saja." Pak Darma segera meraih rantang yang sudah disiapkan oleh Bu Latifah. Lelaki itu mengintip isinya. Nasi lengkap dengan orek tempe, telor dadar serta tumis kacang panjang sebagai pelengkap menjadi bekalnya ke sawah.

"Ranti, Ibu nitip sekalian kamu belikan benang dan beberapa kancing sepulang sekolah ya."

Perempuan yang berprofesi sebagai penjahit itu mengulurkan beberapa lembar uang kepada putrinya.

Ranti mengambil lembaran uang itu dan memasukkan ke tas coklatnya.

Apakah aku hanya akan seperti Ibu. Tidak bisa bekerja kantoran dan hanya cukup di rumah saja. Masih mending Ibu memiliki Bapak yang sangat mencintai. Sedangkan aku, adakah lelaki yang mau dengan wanita yang sudah tidak memiliki kesucian lagi.

Ranti hanya berdialog dengan batinnya sendiri. Ia harus memperlihatkan kembali senyum manis yang membuat kedua orang tuanya ini bahagia.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang