Part 7. Tirakatan

4 2 2
                                    

Mendekat kepada Tuhan adalah cara terbaik yang menjadi pilihan ketika menghadapi berbagai persoalan.

======

Suara kendaraan terdengar berhenti di depan rumah. Pak Darma segera membuka pintu depan untuk menyambut tamu yang datang.

"Eh, Pak Rama. Monggo-monggo pinarak?"

Lelaki yang sedang mengikmati isapan lintingan tembakau itu mempersilakan masuk.

"Maaf, Pak Darma, sore-sore saya bertamu. Soalnya saya harus menyampaikan hal ini segera. Besok saya masih harus ke kantor polisi, masih ditanya-tanya tentang kejadian semalam. Padahal hari ini sudah seharian di sana. Eh belum selesai juga. Tapi gak apa-apa, ngurusi warga memang sudah menjadi kewajiban saya," ujar Pak Rama setelah duduk di kursi kayu beranyamkan rotan.

Matahari sudah condong ke arah barat. Langit terlihat jingga menghadirkan lukisan alam yang indah dipandang mata. Magrib akan segera tiba.

"Bagaimana nasib, Pak Sarto, Pak?"

"Sementara dititip di polsek. Besok masih ada wawancara terkait kejadian itu, Pak. Ahh, ada-ada aja ya."

Obrolan mereka terjeda karena Bu Latifah menghampiri sambil menyajikan dua gelas kopi panas dan sepiring singkong rebus.

"Silakan, Pak, dinikmati untuk menemani ngobrol."

Perempauan itu segera berlalu. Itu obrolan laki-laki, ia memilih untuk tidak menemani sang suami.

"Jadi tujuan saya datang ke sini adalah ingin menyampaikan bahwa sawah yang sedang Pak Darma kelola itu mau saya jual. Yah paling lama dua kali periode tanam lagi, Pak. Jadi masih ada waktu untuk Pak Darma siap-siap mencari lahan baru."

Sebagai petani penggarap yang sudah lama dipercaya tentu ada rasa penyesalan yang muncul di benak Pak Darma ketika mendengar sawah itu akan dijual. Satu-satunya sumber pekerjaan yang selama ini ia andalkan. Menjadi petani penggarap di orang lain bisa jadi membutuhkan modal lebih besar. Jika bekerja pada Pak Tama semua biaya tanam sampai panen ditanggung oleh pemilik sawah, sedang pola yang diterapkan pemilih sawah yang lain adalah semua modal ditanggung oleh penggarap.

"Kenapa harus dijual, Pak, sayang kan, tanah itu, makin lama makin mahal. Atau Bapak mau jual untuk beli yang lebih luas lagi di ujung desa. Posisi sawah Bapak kan di pinggir jalan, pasti mahal jika dijual."

Pak Darma masih berharap ia bisa bekerja sama dengan Pak Rama. Tetapi harapannya itu segera sirna mendengar jawaban pria berpeci itu.

"Enggak, Pak, rencananya hasil penjualan sawah itu buat persiapan sekolah anak saya. Dia saya ambil dari pondok Budenya karena nanti mau mendaftar menjadi polisi atau tentara. Anak itu masih bingung menentukan pilihan. Intinya adalah menjadi perwira. Sambil menunggu pendaftaran biar dia bisa membuat kegiatan di kampung ini berbekal ilmu yang didapat di pondok."

"Oh jadi putra Bapak yang diasuh Budenya itu sekarang udah mau lulus SMA, seumuran dengan Ranti ya?"

"Iya, Pak, tak terasa 17 tahun lebih saya sudah menitipkan dia ke Budenya. Bapak tahu sendiri. Saya tidak mungkin merawat dan membesarkan Alfan seorang diri tanpa istri. Apalagi di sini tidak punya saudara. Ngurus diri sendiri saja sudah kerepotan, apalagi ditambah ngurus bayi, wah enggak sanggup saya, Pak. Makanya begitu Budenya minta mau merawat ya saya izinkan."

Istri Pak Rama memang meninggal ketika melahirkan. Pak Tama mencoba mencari pasangan pengganti tetapi baru menemukan setelah anaknya itu lulus SMP.

Si anak ingin tetap tinggal di pondok sampai akhirnya terbersit keinginan untuk menjadi perwira sehingga memutuskan melanjutkan sekolah umum seperti arahan ayahnya.

"Wah, cita-cita yang sangat mulia itu. Meski biayanya tidak murah tetapi kalau keterima nantinya akan punya gaji gede, Pak."

"Aamiin, aamiin. Ini saya juga masih menawar-nawarkan, belum ketemu calon pembeli yang pasti kok, Pak. Ada satu yang sudah menghubungi, temannya Pak Lurah tetapi dia masih ada di luar kota kalau mau menunggu ya sekitar tiga bulan lagi katanya. Makanya kalau seandainya nanti Pak Darma bisa ketemu pembeli, saya janji akan ngasih persenan ke Bapak, anggap sebagai jasa informasi."

"Baik, Pak, akan saya usahakan. Semoga panenan besok hasilnya lumayan jadi saya ada celengan buat nyari kerjaan lainnya."

Suara bedug ditabuh pertanda Magrib tiba yang memutus obrolan mereka berdua. Hal yang harus dihindari ketika bertamu melewati waktu magrib, apalagi masih tetangga sendiri.

Selepas Isya keluarga sederhana itu kembali dengan aktivitas masing-masing. Bu Latifah sudah Kembali duduk di depan mesin jahitnya. Alat kerja merk butterfly itu sudah hampir lima tahun menemaninya menjahit baju para pelanggan.

Penjahit di desa tentu tidak seramai penjahit butik atau konveksi yang selalu ramai orderan. Tidak banyak model baju yang bisa ia buat. Hanya beberapa yang memintanya menjahit baju selebihnya hanya memperbaiki restleting yang rusak, mengecilkan baju atau memotong bawahan yang kepanjangan. Hasilnya memang tidak seberapa. Untuk tambahan dibantu Ranti wanita itu sering ikut memasang mute hiasan baju pengantin atau kerudung dan menyulam.

"Pak, ada apa perlu apa Pak Rama datang ke sini. Ngasih DP buat hasil panen nanti?' tanya Bu Latifah kepada suaminya yang terlihat melamun.

Lelaki itu masih saja menerawang ke atap rumah yang terbuat dari bambu. Di jemarinya terselip rokok hasil lintingan sendiri. Sesekali ia menghisapnya meniupkan asap perlahan dari bibirnya.

"Pak."

Bu Lastri kembali memanggil suaminya yang masih bergeming. Ia menghampiri sambil membawa baju yang akan ia jahit kancingnya.

"Bapak bingung, Bu. Kalau sawah Pak Rama dijual nanti Bapak kerja apa? Menggarap sawah orang lain Bapak enggak ada modal. Jadi kuli bangunan enggak punya keahlian. Sekarang mau tidur dulu. Malam mau tirakat. Jangan lupa bangunin Bapak ya, Bu."

Lelaki itu menuju kamar dengan lesu. Bu Latifah memastikan kelengkapan tirakat suaminya sebelum menuju kamar Ranti.

"Nduk, nanti kalau Ibu belum kebangun. Kamu buatin kopi pahit di cangkir kecil ya. Kain putih dan ubo rampe lainnya sudah Ibu taruh di atas meja."

"Inggih, Bu," jawab Ranti pendek sambil menyiapkan buku pelajaran buat keesokan hari.

Benda kotak warna kuning keemasan yang terpasang di dinding berdentang 12 belas kali. Satu-satunya benda mewah penghias dinding itu sekaligus menjadi alarm penguni rumah itu. Tetapi tidak untuk kali ini. Pak Darma dan Ranti sudah bangun sebelum alarm itu berbunyi.

"Nduk, kamu sudah gelar tikarnya, belum?" Pak Darma sedang menyalakan dupa. Aroma dupa dan bunga mawar yang ada di depan mereka menghadirkan suasana mistis di malam itu.

"Sudah, Pak. Kain buat Bapak juga sudah saya siapkan."

Sebuah kain warna putih berukuran 1X1 meter sudah terhampar di atas tikar plastik.

Pak Darma duduk bersila menghadap ke utara. Lelaki itu bersedekap dan memejamkan mata. Ia terlihat khusyu dalam posisi itu. Sesekali terdengar Pak Darma berbicara agak keras.

"Gusti ... Gusti ... Gusti."

Ranti duduk di belakangnya. Ia mengikuti gerakan sang bapak. Hampir satu jam mereka berkomunikasi kepada Tuhan. Dalam suasana hening, sebagai hamba yang lemah, keduanya mengadu atas semua persoalan yang dihadapi.

Satu hal yang selalu dipinta oleh Ranti adalah ia dipertemukan dengan orang-orang yang bisa menerima dirinya apa adanya.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang