Part 11. Memberi Manfaat

5 2 2
                                    


Ketika seseorang mengajakmu melakukan sebuah kebaikan, sangat mungkin ia adalah orang yang Allah kirimkan untuk membantumu mewujudkan doa-doa yang kamu panjatkan.

======

Sepuluh menit waktu yang tersisa, skor tim basket Banu dan sekolah lawan masih berimbang. Dua kali dua puluh menit adalah waktu yang disediakan untuk kedua tim mengumpulkan skor terbaiknya.

Sorak-sorai para supporter masing-masing sekolah tiada henti menyemangati. Ketika bola berhasil masuk ring maka tepuk tangan semakin meriah mengapresiasi.

"Ayo, Kak Banu kamu pasti bisa!" teriak Dina sambil bertepuk tangan ketika melihat kakaknya menggiring bola.

Dengan lincah Banu mendrible bola melewati tim lawan menuju ring untuk shooting. Lapangan berukuran 28 x 15 meter menjadi arena sepuluh pemain memperebutkan bola untuk mencetak skor dengan cara memasukkan bola ke dalam ring.

Berharap bisa mencetak poin tiga Banu melompat sambil mengayunkan bola ke arah ring dari jarak 6,75 meter. Tetapi gagal, bola terpental dan tidak masuk ke dalam keranjang.

"Jangan memaksa dari kejauhan, lebih dekat lagi pasti bolanya akan masuk. Oper bolanya ke Alfan, Ban! Jangan main sendiri!" teriak Desi sambil memukulkan tangan karena gemas.

Strategi pun diperbaiki. Pak guru olah raga yang mendampingi pun memberi arahan agar sisa waktu yang ada bisa menghasilkan poin untuk menmbah skor. Banu tidak lagi terlalu memonopoli bola untuk mencetak skor sendiri. Kerja sama tim diuji. Kemenangan pun akhirnya diraih oleh tim Banu.

"Selamat ya. Akhirnya sekolah kita bisa menang. Strategi di menit-menit terakhir sangat tepat untuk mencetak skor," ujar Alfan sambil menyalami semua anggota timnya.

"Terima kasih banyak atas permainanmu, ternyata kamu jago basket juga. Kirain anak pondok hanya mengaji dan solat saja kegiatannya," celetuk Banu sambil menggenggam erat tangan Alfan.

"Anggapan yang salah. Kamu lihat sendiri buktinya. Terima kasih juga sudah memberi kesempatan untuk aku bergabung di tim hebat ini," jawab Alfan sambil menepuk lengan Banu.

"Kak, boleh foto bareng?" Dengan sedikit malu-malu Dina berbicara kepada Alfan. Banu yang melihat tingkah adiknya spontan menatap dengan sorot mata tidak suka.

"Dina, apa-apaan sih kamu? Jangan kecentilan ya. Buruan kita pulang! Atau kamu mau pulang sendiri?" Banu ngeloyor meninggalkan adiknya. Ia bertemu Ranti di pintu masuk.

"Terima kasih sudah mau datang. Jadi tidak ada lagi utang piutang di antara kita. Apakah kamu mau saya antar pulang?"

"Jangan, jangan! Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Terima kasih atas tawarannya." Ranti segera mempercepat langkah untuk menuju halte yang ada di depan komplek gelanggang olah raga itu.

"Sulit amat sih mendekatimu," bisik Banu sambil memainkan tali kunci motornya.

"Kak Banu, tunggu!" teriakan Dina di belakang membuat Banu harus memperlambat langkah.

Meskipun terkadang sebal dengan sikap adiknya yang manja, tetapi Banu tidak mungkin meninggalkan Dina begitu saja. Ia bisa terkena marah sang mama. Pernah saat berangkat sekolah Banu sengaja meninggalkan Dina yang masih sarapan karena ada latihan pagi di sekolah. Akibatnya sang adik terlambat sampai sekolah. Pulang sekolah Banu langsung disidang sang mama dan diminta berjanji untuk selalu menunggu adiknya jika tidak ingin motor kesayangannya disita.

Di dalam angkot Ranti dan Alfan duduk bersebelahan, karena memang hanya tinggal dua bangku kosong yang tersisa.

"Kamu sering hadir dalam acara-acara pertandingan di mana sekolah kita ikut berkompetisi?" tanya Alfan sambil mengisi waktu selama perjalanan pulang itu.

"Tidak juga."

Jawaban Ranti hanya singkat. Ia tidak mungkin berterus terang jika kehadirannya itu karena permintaan Banu.

"Oiya, kamu tahu tidak bimbingan belajar terbaik yang ada di sekitar sekolah, biar bisa langsung tanpa perlu pulang dulu. Bapak meminta aku untuk ikut bimbel biar lebih punya bekal mengikuti seleksi masuk akademi militer nanti."

Oh, jadi Alfan sudah menentukan pilihannya, batin Ranti. Pak Darma pernah sedikit bercerita alasan Pak Rama menjual sawah tetapi belum pasti ke mana jurusan yang dipilih anak semata wayangnya itu.

"Aku kurang paham mana yang terbaik, masing-masing lembaga bimbingan belajar memiliki kelebihan pastinya. Kamu bisa tanya ke Banu atau kawan kita yang lain. Aku tidak tahu karena memang aku tidak mendaftar di bimbingan belajar."

"Karena kamu sudah memiliki bekal pastinya. Lebih sering ke perpustakaan pasti banyak membaca buku latihan di sana."

Ranti tertawa dalam hati. Alfan tidak mengetahui bahwa ia memang sering ke perpustakaan bukan untuk membaca buku latihan tetapi justru sering mencari info lowongan pekerjaan.

"Aku boleh meminjam beberapa pelajaran kelas 11, katanya materi juga akan diujikan saat ujian akhir nanti. Jika aku sudah ikut bimbingan belajar kamu juga boleh meminjam catatan latihan ataupun rumus singkat yang diberikan."

"Terima kasih sebelumnya, tetapi aku rasa tidak perlu. Targetku hanya bisa lulus dengan nilai yang baik. Aku tidak akan langsung melanjutkan kuliah."

Alfan melirik teman satu kelas yang juga satu kampung itu. Ia seperti tidak percaya jika siswa serajin Ranti tidak memiliki cita-cita yang tinggi.

"Terus apa rencanamu setelah lulus nanti?"

"Aku ingin bekerja meskipun belum tahu bekerja di mana?"

Alfan seperti menemukan teman yang cocok untuk membantunya menjalankan kegiatan di masjid tempat tinggal mereka.

"Ranti, aku masih baru tinggal di kampung kita sehingga belum banyak pemuda yang aku kenal di sana. Meski Bapak sangat mensupport tetapi aku tetap membutuhkan teman."

"Maksudmu membantu seperti apa? Ilmu agamaku sangat sedikit, Fan."

Ranti merasa tawaran Alfan itu berat untuknya. Meskipun ia menganut agama Islam, tetapi salat lima waktu masih bolong-bolong ia kerjakan. Ayah dan ibunya tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Gadis berambut ikal itu sepakat dengan ungkapan ayahnya.

"Kita sudah beragama Islam sejak lahir. Percaya jika Tuhan itu ada. Baik dan tidak menyakiti sesama itu sudah cukup."

Alfan tersenyum mendengar pertanyaan Ranti. Ia pun paham sebagai orang baru tentu ia tidak akan langsung membuat kegiatan-kegiatan yang justru akan menimbulkan penolakan. Pandangan bahwa pondok pesantren kadang mengajarkan radikalisme harus dikikis.

"Aku baru mengajak anak-anak kecil mengaji, membiasakan mereka mengenali bacaan Al Qur'an dari kecil, bercerita tentang sejarah nabi. Yang penting adik-adik kita ini merasa senang dan nyaman untuk berada di masjid. Nah untuk memeriahkan peringatan satu Muharam aku ingin mengadakan beberapa lomba buat mereka, makanya aku butuh teman."

"Tetapi ...." Belum selesai Ranti menyampaikan penjelasannya Alfan sudah memotong seperti memahami apa yang Ranti pikirkan. Alfan membutuhkan seseorang yang bisa melanjutkan kegiatannya ketika ia diterima di akademi militer sesuai yang ia idam-idamkan.

Pak Tama sangat ingin masjid bisa lebih dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran bagi anak-anak yang selama ini lebih banyak menghabiskan waktunya bermain setelah pulang sekolah.

"Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan meminjamkan buku-buku yang bisa kamu baca sebelum jadwal pertemuan. Kita hanya menggunakan hari Jumat, Sabtu dan Ahad. Sore ini silakan datang ke masjid jika kamu ingin melihat-lihat dulu."

Ranti memang tidak pernah berkunjung ke masjid besar tempat Alfan mengajar. Di dekat rumahnya terdapat musola yang juga sering digunakan untuk salat berjamaah tetapi akan ramai jika Ramadan tiba.

Dari kecil ia memang jarang mengaji. Pengenalan tentang ilmu agama hanya ia dapatkan di sekolah saja. Ketika tawaran itu datang menghampiri, satu harapan bahwa hal itu pun menjadi jalan untuk memperbaiki ilmu agamanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang