Part 10 Pertandingan

3 2 2
                                    

Akan ada jalan yang tidak disangka-sangka apabila kita memiliki prasangka yang baik pada-Nya.

========

Dari arah pintu gerbang Ranti melihat Banu berjalan seorang diri. Sepertinya lelaki itu baru saja melihat latihan basket yang memang ada jadwal hari itu. Ia menuju ke arah parkiran yang berada di samping deretan kelas.

"Kebetulan ketemu, sekalian saja aku tanyain perihal uang itu ke Banu," bisiknya.

"Baru pulang, Ran? Sengaja nungguin Alfan ya biar pulang barengan? Dia bukan lagi di masjid, tetapi ada di lapangan basket. Ternyata dia oke juga main basketnya. Aku sengaja minta dia bergabung latihan sekalian buat pemain cadangan kalau ada yang sedang berhalangan."

Ranti tidak mau menanggapai pertanyaan Banu. Ia tahu Banu sengaja memancing emosinya. Bukan hanya sekali dua kali ucapan teman sekelasnya itu membuat kesal.

"Ban, apa maksudmu membayari aku?" tanya Ranti langsung menyampaikan rasa penasarannya.

"Membayari apa? Aku tidak menaktir kamu di kantin. Setahuku kan kamu jarang ke kantin." Lelaki itu pura-pura tidak menyadari apa yang dimaksud temannya itu.

"Jangan pura-pura gak paham. Pembayaran iuran kaus dan album kenangan."

"Hahahaha ... Oh yang itu. Ternyata si Santi enggak bisa menjaga rahasia. Lupa aku ngasih sesuatu untuk mengunci mulutnya. Kenapa memangnya? Kamu sekarang sudah punya uang untuk membayar sendiri?"

"Itu bukan urusanmu. Mau sekarang atau nanti yang pasti akau akan membayarnya sendiri."

"Tak perlu menolak lah. Mumpung aku lagi baik hati lho. Jarang-jarang kan aku mau ngebayarin kamu. Salah sendiri kenapa kamu selalu menolak jika aku ajak jajan di kantin."

Hampir setiap hari Ranti memang tidak jajan. Ia lebih baik membawa makanan dari rumah daripada harus mengeluarkan uang yang sebenarnya bisa digunakan untuk keperluan lain.

"Oke, jika kamu menolaknya tidak mengapa, tetapi sebagai gantinya kamu harus mau datang saat aku tanding hari Minggu nanti. Anggap aja itu bayaran buat kamu sebagai supporterku."

Ranti tidak langsung menjawab. Sebenarnya itu bukan permintaan yang susah, tetapi selama ini gadis itu tidak pernah sekali pun datang melihat bintang sekolah itu bertanding.

Jika sekarang ia datang apa yang akan teman-teman mereka ucapkan. Bagi Ranti untuk memberi perhatian khusus pada lelaki adalah hal sangat ia hindari.

"Kenapa diam saja. Kamu enggak penasaran melihat siapa yang lebih jago main basketnya. Aku atau Alfan?"

"Oke. Aku akan datang."

Bagi Ranti, ia menyetujui permintaan Banu bukan karena ingin melihat siapa yang lebih baik permainan basketnya antara Alfan dan lelaki di hadapannya itu, tetapi lebih pada bahwa ia menerima uang dari Banu bukan secara cuma-cuma. Dalam hati Ranti masih bertekad untuk mengembalikan uang itu.

*

"Nduk, setelah kamu makan dan ganti baju. Kamu bantu menyelesaikan pemasangan payet di kerudung ini. Kebetulan tadi Mbak Rahma ke sini nganterin. Enggak apa-apa yang baju pengantinnya ditunda dulu katanya. Kerudung ini pesanan yang harus sudah selesai jadi lusa."

Selain menerima jahitan, Bu Latifah memasang payet atau hiasan-hiasan kerudung yang dikirim kepadanya.

Ranti turut membantu dan akan menerima upah sesuai dengan pesanan yang bisa diselesaikannya.

Ketika keduanya tengah asyik bergelut dengan benang, jarum dan payet, suara Pak Darma terdengar memanggil. Lelaki itu baru saja pulang dari sawah. Pagi hari berangkat sampai tengah hari dan sore hari akan kembali mengontrol, apalagi jika musim tanam atau panen akan telah tiba.

"Bu, ini ada tamu, tolong diambilkan minum ya."

Seorang lelaki masuk setelah mematikan motornya. Pak Darma sudah mengganti baju kaus dengan kemeja polos dan sarung kotak-kotak.

Ranti menuju ruang tamu sambil membawa nampan berisi teh manis.

"Ranti," sapa lelaki berbaju batik itu mengenali gadis yang ada di depannya.

"Pak Seno?" Ranti keheranan bagaimana penjaga perpustakaan sekolah itu bisa datang ke rumahnya.

"Oh jadi ini Pak Guru di sekolah Ranti?" tanya Pak Darma mulai mengerti bagaimana putrinya mengenali tamu itu.

"Saya tidak mengajar di kelas, Pak, hanya bertugas di perpustakaan dan Ranti adalah pengunjung setia, jadi saya mengenalnya," jelas Pak Seno meluruskan pemahaman Pak Darma.

"Jadi saya ini adalah kakak saya itu teman Pak Lurah yang memang berminat untuk membeli tanah Pak Tama. Kebetulan Kakak saya itu sedang di luar kota, jadi saya yang diminta melihat dan bernegosiasi."

"Oh begitu. Memang untuk apa kakak Bapak membeli sawah itu. Mau sekedar investasi atau mau dibikin rumah?"

Pak Darma masih berharap bisa mengelola sawah itu meskipun sudah berganti pemilik.

"Belum tahu, Pak. Kata kakak saya yang penting punya tabungan untuk masa pensiun nanti."

"Kalau memang nanti masih digarap semoga saya masih dipercaya untuk mengelolanya," kata Pak Darma bernegosiasi.

"Iya, Pak, nanti coba saya bantu menyampaikan. Kan ini belum deal harganya. Saya hanya diminta melihat lagi kondisi tanah dan kepastian harga saja. Tadi ke rumah Pak Tama tidak ada di rumah ya saya langsung ke sawah dan ternyata ada Bapak di sana."

Pak Darma sengaja meminta Pak Seno berkunjung agar suatu saat jika ingin bertemu tidak lagi di sawah tetapi langsung ke rumah.

*

Hari Minggu pun tiba. Ranti sudah bersiap sejak pukul delapan pagi. Lokasi gelanggang olah raga itu bisa ditempuh setengah jam dari rumah. Pertandingan basket akan dimulai pada pukul sepuluh.

"Kamu perginya sama siapa, Nduk?" tanya Bu Latifah yang sudah diberitahu sehari sebelumnya.

"Sendiri saja, Bu. Ketemu teman-teman di sana."

"Ya sudah hati-hati. Pulangnya jangan sore-sore, biar kamu bisa ngerjain pasang payet lagi nanti."

Sesampai di gelanggang olah raga Ranti segera menghampiri teman-teman yang sudah berkumpul di depan pintu masuk.

"Eh, Ranti, tumben ikutan datang. Ada angin apa nih? Apa gara-gara Alfan ikutan main?" tegur Desi yang memang tidak pernah absen menjadi supporter. Ia termasuk yang mengidolakan si ketua kelas itu.

"Sekali-kali ikutan gak apa-apa kali. Mendukung sekolah kita saja," jawab Ranti tidak ingin mengklarifikasi perkataan Desi.

"Kak Desi!" Seorang gadis bercelana jeans hitam dan kaos bergaris merah putih tampak berlari menghampiri mereka.

"Hei, Dina. Kamu datang sendiri atau sama kakakmu?" tanya Desi.

Dina adalah adik Banu yang juga satu sekolah dengan mereka. Ia baru duduk di bangku kelas sepuluh.

"Tadinya aku disuruh berangkat sendiri tapi karena aku mau disuruh nyiapin perlengkapan Kak Banu jadi aku boleh barengan pergi. Lihat nih aku harus menenteng tas berat ini."

Ranti memperhatikan gadis berawakan mungil yang sangat akrab dengan Desi itu tanpa menimpali.

"Kak, pemain cadangan yang katanya siswa baru itu ikutan tidak ya? Kemarin sih aku lihat pas latihan. Orangnya cakep." 

Gadis itu tersipu kala mengucapkan kalimat terakhir. Ranti ikutan tersenyum, ternyata teman baru di kelas itu telah mampu menebarkan pesona.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang