k i m

396 48 7
                                    

-Time skip-

Kamar temaram itu masih menyisakan satu penerangan minim di dekat tempat tidur. Suasana tenang di dalam kamar mulai terganggu oleh kebisingan dunia luar yang tanpa izin menurunkan tetes demi tetes air hujan ke bumi.

Yoongi masih enggan memejamkan mata untuk mulai berlabuh ke alam mimpi, memilih untuk berbaring dan melihat langit-langit kamar seraya memikirkan banyak hal.

Waktu berlalu begitu cepat sejak sidang terakhir kali dimana ia dinyatakan tidak bersalah dari semua tuduhan dan membuatnya bebas manapakkan kaki pada dunia.

Sudah satu minggu. Selama itu pula, Hoseok ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani hidup baru di jeruji besi.

Saat itu, saat sidang terakhir berjalan, ibu dan ayah Jimin datang. Mengatakan bahwa mereka ingin berdamai dengan keluarga Jung, memaafkan perlakuan Hoseok yang nyatanya memang tersangka dalam pembunuhan anaknya.

Sungguh miris. Bahkan setelah anaknya tiada, bisnis masihlah menjadi hal nomor satu yang mereka pentingkan. Pada akhirnya, Hoseok tidak mau menerima perdamaian itu. Akan tetapi masa hukumannya tetap diringankan karena dari pihak korban sudah menyatakan bendera perdamaian.

Sedikit banyak Yoongi lega. Permasalahan hidupnya sedikit demi sedikit diselesaikan oleh waktu. Ia kini tak lagi cemas memikirkan esok hari ketika membuka mata, tak lagi takut menghadapi kerasnya dunia sendirian. Karena ia masih memiliki dua orang yang selalu mendukungnya. Dua orang yang selalu berada di sisinya.

Setidaknya jika keutuhan keluarga tidak akan pernah ia dapatkan, ia masihlah merasakan kehangatan kasih sayang dari Suga dan Taehyung.

Di tempatnya berbaring, Yoongi memiringkan tubuhnya menghadap Suga yang telah menjemput alam mimpi. Tangannya terulur benahi selimut yang merosot akibat tingkah tidurnya yang berantakan.

"Ssaeng, terima kasih."

***


Taehyung nyaris frustasi. Rambutnya acak-acakan, bajunya lusuh, dan matanya sembab dengan bekas air mata yang masih terlihat di pipi.

Dua jam lalu, ia mendapat kabar bahwa sang ibu mencoba mengakhiri hidupnya. Seluruh tubuhnya penuh akan sayatan yang dibuat sendiri. Saat ini, Taehyung berdiri kaku di depan ruang operasi. Nadi sang ibu hampir putus dan hidupnya diambang kematian.

Sedikit banyak ia bersyukur bahwa ibunya tidak telat mendapat pertolongan. Taehyung tidak tau akan sekacau apa hidupnya jika satu-satunya alasan ia hidup malah pergi meninggalkannya. Taehyung tidak pernah berani membayangkan hal seperti itu. Itu sudah sangat menyakitkan.

"Taehyung!"

Lamunannya tersentak. Air mata yang sejak tadi ia tahan kini meresak keluar. Memeluk begitu erat seseorang yang kini menepuk-nepuk pelan memberinya ketenangan.

"Gi, takut sekali... Aku takut ibu pergi"

Iya, Taehyung menghubungi Yoongi tiga puluh menit lalu. Yoongi kalang kabut saat mendengar suara bariton itu bergetar menahan tangis. Lalu, memilih menyambar jaket dan menepis hujan yang mengguyur kota di malam hari. Juga meninggalkan Suga yang terlelap seorang diri.

"Tidak apa, semua akan baik-baik saja. Ibumu akan baik-baik saja. Ibumu orang yang kuat. Jadi, kau juga harus kuat."

Kalimat penenang Yoongi selalu berhasil membuat perasaannya lebih baik layaknya sebuah mantra. Pelukan Yoongi adalah tempat mengadu paling baik apabila ia dalam keadaan kacau seperti ini.

"Apa aku mengganggu tidurmu, Gi?"

Yoongi tersenyum lembut sembari tuntun Taehyung untuk duduk di kursi tunggu. "Tidak. Aku sama sekali belum tidur."

Taehyung kembali sandarkan kepala pada pundak si mungil. Selain pelukan yang nyaman, aroma sabun yang keluar dari tubuh Yoongi selalu membuat pikirannya lebih rileks. Jika bisa, inginnya terus memeluk si mungil untuk menghalau semua kecemasan yang Taehyung rasakan.

"Ibumu tidak ada perkembangan, Tae?"

"Minggu lalu, suster mengatakan bahwa halusinasi ibu berkurang. Ibu juga sudah mulai bisa berbaur dengan yang lainnya. Tapi, entah mengapa tadi bisa seperti itu. Suster bahkan tidak pernah meninggalkan benda tajam di ruangan Ibu."

"Kau sudah bertanya apakah ada yang mengunjungi Ibumu sebelumnya?"

"Tidak ada yang mengunjungi Ibu selain aku, Gi."

"Tidak ada salahnya bertanya, Tae. Untuk memastikan bahwa memang tidak ada orang lain yang mengunjungi Ibumu dan berniat jahat."

Taehyung menghela nafas berat, lalu mengangguk mengiyakan saran dari Yoongi. Ia akan memastikan itu nanti. Saat ini Taehyung hanya ingin menikmati waktu dimana beban pikirannya seolah terangkat hanya dengan pelukan dari Yoongi.

"Pelukanmu selalu hangat. Seperti rumah."

Usapan halus pada kepala Taehyung tidak berhenti, "Aku rumahmu. Aku akan selalu menjadi rumahmu, Taehyung."

-

Di lain sisi, Suga terbangun dengan wajah lucunya. Dinginnya luar berhasil memasuki celah-celah kecil tirai yang tertutup, mengusik mimpi-mimpi indahnya.

Wajahnya merengut lucu ketika membaca sebuah teks pesan yang muncul di pop up ponselnya, "Taehyung itu... benar-benar sudah merebut hyungku, ya."

Suga melarikan jarinya untuk menekan ikon telepon di pojok kanan atas di room chatnya dengan Yoongi.

"Halo..."

"Hyung, kenapa meninggalkanku?"

Suara kekehan terdengar merdu di seberang telepon, "Maaf, ya? Taehyung tidak dalam keadaan yang baik. Jadi, aku harus menemaninya sekarang. Bayi ini minta ditemani."

Terdengar sahutan jengkel di sana, membuat Suga mau tidak mau ikut tersenyum. Hatinya lega setelah keputusan sidang minggu lalu. Tak dipungkiri bahwa ia senang melihat Yoongi kembali menjadi sosok yang ceria.

"Kalau pulang, belikan aku ramen ya, hyung? Ramen di lemari dapur sudah habis."

"Okey, ssaeng. Tidurlah lagi. Ini masih tengah malam."

Obrolan itu diakhiri Suga yang berpesan pada Yoongi untuk tidak melepaskan jaketnya sedikitpun, karena bagaimanapun Yoongi akan jatuh sakit di musim dingin seperti ini. Jadi, setidaknya ia harus memperingatkan hyungnya agar tidak terlalu lama berada di luar.

***

Nafasnya tersengal dengan keringat yang mengucur di pelipisnya. "Oh, Taehyung? Ada apa? Kenapa kemari? Sesuatu telah terjadi?"

"Kakek, tolong... Bisakah, bisakah kakek melaporkan semua kejahatan Ayah? Pria brengsek itu sudah melakukan percobaan pembunuhan Ibuku! Ibuku hampir mati karena bajingan itu!-

-kakek bilang aku adalah cucu yang paling kau sayangi. Aku tidak pernah meminta apapun darimu, kek. Jadi, bisakah kau mengabulkan permintaanku yang satu ini? Aku tidak peduli sebesar apa Ayah di luar sana, bagiku dia hanyalah seorang bajingan yang gagal membangun rumah tangga dan membimbing anaknya. Jadi, kumohon... Aku sudah sangat lelah menghadapi Ayah."

To be continued...

d e r n [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang