Dapat Salam dari Pak Ferry

4.5K 483 31
                                    

Berbeda dengan sebagian orang yang membenci hari Senin, gue justru menjadi manusia paling bahagia sekaligus bersemangat saat hari itu datang. Alasannya hanya satu. Gue bisa kembali berhahahihi di kantor, meskipun dengan kerjaan yang kadang bisa menumpuk setinggi gunung Gede.

Berbicara perihal mata pencaharian, sejujurnya menjadi seorang training manager adalah impian yang tercipta semenjak gue tahu kalau ada pekerjaan itu. Dulunya, gue bercita-cita menjadi seorang engineer yang turun langsung ke lapangan. Lalu, saat gue menjadi mahasiswi semester 5, sebuah seminar tentang macam-macam pekerjaan yang dapat diambil seorang freshgraduate pun dihelat oleh BEM fakultas. Gara-gara ikut itu, gue jadi tahu ada posisi training manager dan pada akhirnya hati gue memilih untuk berlabuh di sebuah kantor yang terletak di Jakarta Pusat.

Kalau ditanya apa suka-dukanya selama lima tahun bekerja, maka dengan lantang gue akan bilang, Sukanya banyak banget dan satu-satunya duka yang gue rasakan itu karena selalu mendapat pertanyaan klasik khas emak-emak di negeri ini.

"Kenapa nggak jadi PNS atau pegawai BUMN sih, Mbak?"

Karena gue malas mencari jawaban, ya gue tanya baliklah sang penanya. "Memangnya kenapa kalau saya tidak jadi PNS atau pegawai BUMN?" Nah, giliran mereka deh yang bungkam karena semua jawaban mereka akan terus gue kasih pertanyaan kenapa.

Ah, gara-gara intro cerita gue di bab ini soal pekerjaan, gue jadi teringat dengan ceritanya senior gue di kantor ini. Tiga tahun yang lalu, dia ditolak oleh orangtua dari mantan pacarnya lantaran bukan PNS/pegawai BUMN.

"Kenapa harus PNS atau pegawai BUMN, sih, Bang?" tanya gue saat itu.

"Kata Ibunya, punya pekerjaan itu harus yang bisa di wah-in sama semua orang."

"Sarap!" Begitulah tanggapan gue yang sampai di detik ini belum juga bisa memahami pemikiran orang-orang gila hormat seperti itu. Seberapa kenyang sih perut lo ketika dapat kata wah dari orang lain?

"Bu Shapire..." Gue yang tadinya sedang melamun, kini memfokuskan perhatian pada sosok yang kini berdiri di ambang pintu ruanganku.

"Iya, Lia?" tanggap gue lalu menyuruhnya untuk masuk dan duduk di hadapanku.

"Lia sudah selesai membuat jadwal in house training yang akan diadakan minggu depan, Bu."

"Kamu sudah berkoordinasi dengan Pak Kamal di sana?" Lia pun mengiakan pertanyaan gue.

Sembari mengecek pekerjaan dari salah satu staf andalan di divisi Training, gue pun mengajukkan beberapa pertanyaan teknis padanya.

"Kamu sudah pastikan kalau penginapan disiapkan oleh mereka, kan?"

"Sudah, Bu."

"Oh, iya. Kemarin saya dapat telepon dari Pak Sugi. Beliau bilang akan pergi dengan menggunakan mobil pribadi. Tolong kamu informasikan pada mereka." Lia pun mencatat permintaan gue di buku agendannya.

Dengan mata—yang kata orang-orang—setajam Elang, gue mengecek kesesuaian antara judul materi dengan waktu pelatihan yang telah disusun. "Hmm... Senin sampai Kamisnya sudah oke. Namun, di hari Jumat, kantor mereka itu sudah istirahat sejak jam sebelas. Jadi tolong disesuaikan, ya, Lia."

"Baik, Bu."

Saat sedang memberikan gambaran tentang hal-hal yang biasanya menjadi kendala di lapangan pada Lia, staf gue yang bernama Hidayat pun muncul. "Maaf, Bu Shapire... Saya baru dapat info dari Pak Kukuh. Hari ini beliau mendadak harus pergi ke rumah sakit karena anaknya melahirkan, Bu," lapornya dengan wajah yang terlihat sangat panik.

It's (Not) Only Me✔️ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang