Pengirim Sekeranjang Buah

2.9K 401 37
                                    

Menenggelamkan diri ke dalam lautan pekerjaan adalah jalan ninja gue untuk melupakan kejadian yang menguras emosi di pekan lalu dan juga menghindari interaksi-interaksi tidak penting dengan orang-orang terdekat. Silakan saja kalau mau mengatakan jika gue ini berlebihan, terlalu sensitif, dan juga mudah baperan. Yang jelas, saat ini gue sudah berada di level paling atas dari yang namanya muak dalam hal dikenal-kenalin dengan lawan jenis.

Kalau pun ternyata gue ditakdirkan tidak punya jodoh, ya sudahlah. Toh, dengan tidak punya pasangan nggak membuat gue miskin kok. Bahkan banyak tuh yang setelah menikah malah jadi ahli utang demi pesta pernikahan yang gede-gedean dan honeymoon yang wah. Belum lagi adanya peraturan tak tertulis dari keluarga dan tetangga sekitar tentang keharusan mempunyai rumah dan kendaraan. Ck! Mendingan hidup sendiri tapi kalau lagi sedih gue bisa menghamburkan duit sampai sembilan digit tanpa sponsor kartu kredit deh.

Well, di siang hari ini, gue sedang meneliti kembali proposal yang akan dikirim ke salah satu BUMN yang mengirimkan surat permintaan atas in house training kepada kantor tempat gue menambang emas ini. Kalau dilihat dari kepemilikan badan usaha, jelas ini adalah kesempatan besar bagi kantorku untuk melebarkan sayap di kantor-kantor milik negara.

Jika proposal ini disetujui mereka, maka divisi gue berhasil mendapatkan omset lebih dari yang ditargetkan. Tentu saja bukan hanya gue yang kecipratan bonus, tapi seluruh staf gue yang rata-rata sedang menabung untuk menikah juga pasti happy.

Setelah tiga kali membaca proposal bernilai proyek seratus juta itu, gue bangkit dari tempat duduk dan pergi menuju ruangan direktur gue untuk mendapatkan approval.

"Shapire, Pak," ucap gue setelah mengetuk pintu dan terdengar sahutan dari dalam.

"Masuk, Sha."

Gue lantas membuka pintu dan ternyata Pak Robby sedang kedatangan seorang tamu. Eh, tadi si Bapak suruh gue masuk, kan?

"Maaf, saya tidak tahu kalau Bapak sedang me—"

"Santai saja, dia ini keponakan saya, kok," potongnya lalu menyuruh gue duduk di kursi kosong di samping keponakan yang sepertinya berusia lebih muda dari gue itu.

"Saya mau minta tanda tangan Bapak untuk proposal yang diminta oleh PT. Bangun Karya," terang gue sembari menyerahkan proposal yang gue masukkan ke dalam map bening.

Seperti biasa, Pak Robby dengan mata elangnya langsung memeriksa dokumen yang sudah gue tulis sejak pagi ini. "Kamu sudah pilih siapa tim yang akan pegang proyek ini?" tanyanya setelah sekian menit membiarkan suara jarum jam di dinding menguasai ruangan.

"Sudah, Pak."

"Berapa orang?"

"Tiga, Pak." Dengan mata yang terpaku pada proposal, Pak Robby pun manggut-manggut tanda setuju.

"Mereka ini kan meminta skema BNSP, tapi mengapa kamu masukkan beberapa kompetensi yang ada di skema internasional?" tanya Pak Robby yang sejujurnya sudah gue duga.

"Kemarin setelah surat permintaan dari mereka masuk, saya langsung telepon Bu Nana. Beliau mengatakan bahwa rencananya setelah ambil pelatihan dan sertifikas Welding Inspector dengan skema BNSP, mereka akan lanjutkan ke skema internasional, Pak."

"Mengapa tidak langsung ambil skema internasional saja? Kan kita juga bisa selenggarakan secara in house?"

Gue menganggukkan kepala. "Saya sudah menawarkan seperti itu. Namun, menurut Bu Nana, budget mereka hanya pas untuk skema nasional, Pak."

It's (Not) Only Me✔️ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang