Kandidat Baru dari Yuditha

3.7K 422 32
                                    

Baru saja gue menampilkan batang hidung di restoran yang sudah menjadi favorit kami bertiga sejak SMA kelas dua, Riana sudah menyambut gue dengan nyinyirannya. "Perasaan, gue tuh ngajakin lo makan malam deh. Kok, jadi kayak orang mau sahur begini, Pi?"

Gue melirik jam tangan. "Eh, Na... DI mana-mana kagak ada tuh orang sahur di jam delapan lewat tujuh belas. Lagian, gue kan sudah bilang di grup. Gue mantau training dulu." Gue pun duduk di sofa yang berada di hadapannya dan juga Yuditha. Sungguh gue butuh sandaran empuk untuk alas meluruskan punggung gue.

"Tumben banget lo mantau training di hari Senin?" Kali ini, Yuditha—perempuan berkacamata tebal dan rambut dicepol tinggi—lah yang bersuara.

"Trainer gue si Ferry," jawab gue apa adanya lalu mencari pramusaji yang dapat dipanggil.

"Ferry yang pernah lo taksir itu?" Mau nggak mau, gue pun menganggukkan kepala. "Eh, ngomong-ngomong, dia masih available nggak, sih, Pi?" Berhubung seorang pramusaji yang menggunakan nametag Budi sudah datang dan menanyakan apa yang akan gue pesan, maka pertanyaan Riana pun terabaikan sejenak.

"Saya ulangi ya, Kak. Jeruk panasnya satu. Fish and chips-nya satu."

"Pesen satu jodoh yang seiman, setia dan tidak pelit, Mas," sambar Riana yang tentu saja membuat Budi mengerutkan dahinya.

"Nggak usah dengerin dokter sarap yang satu ini, Mas," ucap gue yang kemudian menyilakan dia untuk berlalu dari meja kami.

"Lo belum jawab pertanyaannya Riana," ingat Yuditha dengan mata yang terus saja terpaku pada suami keduanya. Laptop. Perempuan tertomboy di geng kami ini memang berprofesi sebagai wartawan. Dia sudah menikah dengan seorang pria yang dulunya berstatus sebagai narasumbernya. Lucunya, Yuditha pernah berkata begini pada kami. "Gue paling anti sama yang namanya brondong!" And finally, his husband is younger than her. Hahaha selalu ngakak-ngakak gue kalau ingat akan hal itu.

"Gue mantau bagaimana dia ngajar bukan mantau status di ktpnya," jawab gue dengan kepala yang kembali memutar momen yang baru saja terjadi dan menceritakan pada keduanya.

"Selamat malam, Shapire..."

"Selamat malam juga, Pak Ferry. Sebelumnya saya sangat berterima kasih karena Bapak bersedia mengisi training yang super dadakan ini, Pak."

"Saya juga berterima kasih karena telah diberikan kepercayaan lagi oleh kamu."

"Hmm.. yang berikan kepercayaan adalah kantor tempat saya bekerja kok, Pak," ralat gue yang mulai merasa bahwa pria berusia kepala tiga di hadapanku ini mulai berlebihan.

"Kamu rencana pulang jam berapa? Apakah sampai trainingnya selesai?" tanyanya setelah memberikan kesempatan untuk keheningan menyeruak di antara kami.

"Sepertinya tidak sampai training ini selesai sih, Pak."

"Oh, sudah ada janji makan malam dengan seseorang, ya?" Gue pun menganggukkan kepala. Selain memang itu adalah fakta, gue juga jadi penasaran, apa reaksi laki-laki berbaju kemeja slim fit berwarna cokelat itu.

"Duh, sepertinya saya kalah cepat."

Daripada asumsi bermunculan, gue pun menembaknya dengan sebuah pertanyaan. "Kalah cepat dalam hal apa, Pak?"

Dia tampak sedikit shocked, tapi pada akhirnya menjawab sesuai dengan dugaan gue. "Dalam hal mengajak kamu makan malam."

"Begitu training ini selesai, kami mengadakan acara makan malam bersama para lecturer dan peserta kok, Pak."

Pak Ferry hanya mengangguk lalu berpamitan dengan alasan mau siap-siap mengajar.

"Gue kan sudah bilang dari jaman harga gorengan masih dua ribu dapat tiga. Dia itu naksir sama lo, Sapi..." komentar Riana.

It's (Not) Only Me✔️ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang