Mas Rangin Bikin Masuk Angin

3.1K 410 60
                                    

Gara-gara mengiakan tawaran Yuditha, maka di sinilah gue sekarang. Makan siang bersama dengan Rangin Sambodo atau dengan sopannya gue memanggil dia dengan sapaan Mas Rangin. Sesuai dengan namanya, laki-laki yang sudah berusia 30 tahun ini, berdarah Jawa Tengah tulen. Kata Mas Rangin, Ibunya berasal dari Kudus sedangkan Bapaknya dari Pati.

Ngomong-ngomong tentang penampilan fisiknya, gue berani jamin 100% kalau perempuan yang ada di restoran Jepang ini, pasti tertarik dan ingin berbicara empat mata dengan pria yang memesan Ramen with Chicken Katsu Level 4 dari 5 level yang tersedia. Dengan mata yang memiliki tatapan setajam elang, garis alis yang tebal dan tegas, hidung yang cukup mancung dan bibir yang tipis nan sexy, Mas Rangin yang mampu membangun komunikasi dua arah itu juga menatap lawan bicara dengan cukup lekat.

Sembari menunggu pesanan kami datang, obrolan-obral khas orang baru kenal pun berlangsung. Mulai dari membahas soal kesibukan saat ini hingga hal yang paling sering dilakukan saat waktu senggang. Bisa dikatakan obrolan kami berjalan dengan asyik hingga sampai di mana Mas Rangin mulai menanyakan tentang Yuditha.

"Hmm... ngomong-ngomong, kamu sahabatan sama Yuditha sejak kapan?" tanyanya yang belum membuat gue illfeel.

"Dari kelas dua SMA," jawab gue yang bertepatan dengan datangnya pramusaji.

Begitu Mbak-Mbak bername tag Ajeng berlalu, alih-alih mengajak gue untuk menyantap makan siang, dia justru melanjutkan pertanyaan tentang Yuditha. "Oh, berarti dulu kalian berdua sekelas?" Sembari mengaduk udon with beef teriyaki, gue menganggukkan kepala.

"Jadi bersahabatan karena sering kerja kelompok atau curhat galau masa remaja, gitu?" tanyanya dengan mimik wajah semakin antusias.

Gue tersenyum tipis. "Gara-gara sering cabut dari kelas sih," ungkap gue apa adanya.

"Oh, ya?" Mas Rangin terlihat sangat terkejut. "Jadi, waktu itu kalian bandel bar—"

"Aku, Yuditha, dan satu lagi ada namanya Riana, sama-sama anak Olimpiade Sains," potong gue yang kemudian menjelaskan bahwa saat menjadi anak OSN, kami mengikuti banyak pelatihan dan juga seleksi yang semuanya dilangsungkan pada jam pelajaran sekolah. Jadi mau tidak mau, kami harus meninggalkan kelas dengan status mendapat dispensasi khusus dari sekolah.

"Yuditha ikut olimpiade apa?" Nah di sinilah, rasa jengah gue mulai merambat ke ubun-ubun.

"Kebumian."

"Oh, pantas saja dia kuliah S1-nya Teknik Geologi, ya..." Gue mengangguk-anggukkan kepala sembari menebak kalau setelah ini, dia pasti akan mempertanyakan mengapa perempuan bergelar Sarjana Teknik itu, kini memiliki profesi sebagai wartawan.

"Kamu tahu alasan kenapa dia memilih berkarier sebagai wartawan?" NAH, KAN, BENAR!

"Ditanyakan pada suaminya Yuditha saja, Mas," usul gue lalu kembali menekuni udon with beef teriyaki yang entah mengapa rasanya jadi sehambar masakan menantu pesolek yang dipaksa oleh mertua julidnya untuk ngolah bahan makanan yang ada di kulkas.

"Hahah... kalau saya tanya-tanya, nanti disangka naksir istri temen sendiri dong." Bukannya memang begitu, ya?

"Eh, iya, rumah kamu sama Yuditha dekat, nggak?"

"Kalau dengan rumah orangtuanya Yuditha sih dekat."

"Oh, iya, ya. Sekarang Yuditha tinggal bareng sama suaminya di daerah Cilandak, ya."

"Iya," tanggap gue sebelum makan dengan kecepatan kunyah yang lumayan tinggi.

Sekian detik berlalu, "Eh, kamu tahu nggak, kalau yang jadi narasumber Yuditha itu saya?" Tentu saja gue menggeleng. "Iya, karena saya sedang banyak kerjaan dan juga males berkomunikasi dengan media, jadilah saya mendelegasikan si Teguh." Sambil mengunyah dan sesekali menengguk ocha dingin, gue hanya mengangguk-anggukan kepala.

"Kalau waktu itu saya yang diwawancarai, berarti saat ini status saya adalah suaminya sahabat kamu, ya?"

"Tergantung tulisan takdir juga sih, Mas," sanggah gue yang mulai ngerasa supet empet sama nih makhluk berbatang. Strata Pendidikan sih boleh S2, tapi kenapa kelakuannya nggak ada bedanya sama anak sekolah menengah yang suka cabut dan tawuran di Manggarai?

"Kalau semua terjadi karena ketetapan-Nya, lalu bagaimana jika ada pasutri yang akhirnya bercerai karena datangnya pelakor atau pembinor?"

"Mas Rangin mau menjadi pembinor dalam rumah tangga Yuditha dan suaminya?" tembak gue yang membuatnya tersedak kuah pedas. Mampuuuus!

Seperti dugaan gue, para betina yang duduk di sekitar kami pun menampakkan kepeduliannya. Hampir semuanya menawari minum dan tentu saja hal itu membuat senyum yang terpatri di bibir gue semakin miring. Sementara dia mencoba meredakan batuk, gue melanjutkan pengisian perut.

Setelah sekian lama dan kondisi sudah kembali kondusif, Mas Rangin kembali bertanya. Sepertinya dia harus keselek air tuba dulu deh, baru diam. "Eh, iya, hari ini kamu pulang kantor jam berapa?" tanyanya yang membuat alis gue otomatis terangkat sebelah.

"Kenapa tanya soal jam pulang, Mas?" tanya gue balik.

"Yuditha pernah cerita kalau kamu sering pulang malam." Gue hanya ber-oh ria dan pada akhirnya suapan terakhir pun masuk ke dalam mulut. Sungguh, satu-satunya hal yang ada di dalam pikiran gue saat ini adalah, gue cepat-cepat bilang goodbye sama nih makhluk dan cus balik ke kantor!

"Kamu mau langsung balik ke kantor?" tanya Mas Rangin begitu minuman gue habis tak tersisa.

"Iya, Mas. Soalnya ada meeting sama klien di jam dua ini." Tanpa menunggu responnya, gue angkat tas dan bangkit dari tempat duduk. "Biar saya saja yang bayar dan saya duluan," pungkas gue yang kemudian berlalu dari hadapannya.

Muka sih tampan, kehidupannya pun sudah mapan, tapi sayangnya dia lebih tertarik sama biteri.

*****

"Demi apa lo, dia nanyain gue terus?" tanya Yuditha melalui sambungan telepon setelah gue ceritakan betapa nerakanya agenda makan siang gue di hari ini.

"Demi Tuhan dan seluruh isinya dah, Dith," jawab gue sembari mengganti gigi mobil.

"Duh, maafin gue ya, Pi... Sumpah, gue nggak tahu kalau dia malah nanyain gue."

"Slow, Dith. Gue sudah biasa begini, kok." Tanpa disangka, seusai mengatakan itu, setitik air mata pun jatuh di pipi gue. "Gue juga sudah biasa sama kesendirian yang sudah seumur hidup ini. Bahkan ke tahap pdkt saja nggak pernah kan?" Tawa sumbang pun keluar dari bibir gue yang sudah bergetar.

"Gue sejelek itu kah? Atau gue se-nggak pantes itu buat bahagia? Di saat temen-temen kita sudah menikah lalu bercerai dan sudah menikah lagi, gue buat nemuin satu orang saja nggak ada?"

"Shapire... please kenapa lo jadi ngomong kayak gitu?" Secara sepihak, gue pun memutuskan sambungan telepon dan menepikan mobil gue. Persetan dengan mobil gue yang akan bergetar karena gue nangis sesunggukkan, yang jelas gue mau menangis sekeras mungkin dan inilah tanda kalau emosi gue sudah sampai di ubun-ubun.

Bukan hanya Yuditha yang mencoba menghubungi gue, tapi Riana, Mbak Ruri dan Mbak Uut juga silih berganti menelepon gue. Buat yang nggak pernah merasakan lelahnya kenalan sama orang-orang yang selalu nggak pas, silakan mengatakan kalau gue super lebay dan baperan. Namun buat lo pernah atau baru saja merasakannya, tenang. Lo nggak sendirian kok. 

Apa kabar kalian semua?

Mohon maaf karena sepekan kemarin, aku ada urusan di dunia nyata yang cukup menyita perhatian dan tenaga, jadinya baru bisa update Mbak Shapire sekarang...

Semoga suka dan ditunggu komentarnya! Superluuv

.
.
.
Kak Rurs with💎

It's (Not) Only Me✔️ (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang