5. Ancaman Yang Menakutkan

253 19 2
                                    

Sudah satu minggu lamanya wanita malang itu berada di rumah itu. Setiap malam ia habiskan dengan menahan rasa sakit akibat perbuatan keji Issac yang menyiksa dan memberikan tanda kepemilikan atas tubuhnya. Yang kini hanya bisa termangu menatap ke depan, lautan lepas yang menyuguhkan sunset indah, setidaknya mampu membuatnya sedikit tenang.

Clara berjalan ke arah Freya yang sedang duduk di ayunan. Dengan nampan berisi susu hangat dan sandwich, Clara berharap wanita itu bersedia untuk makan barang sedikit saja. Tubuhnya sangat kurus sejak ia berada di tempat ini. Tatapan iba padanya bahkan tak mampu membuat wanita malang itu setidaknya berhenti merasakan sakit, apalagi tersenyum.

"Nyonya," panggil Clara lirih sambil menyodorkan nampan itu padanya.

"Clara, kau tidak perlu melakukan hal yang tidak berguna seperti ini. Kau bawa kembali saja itu semua. Aku tidak membutuhkannya," tolaknya dengan suara lirih tak bertenaga.

"Kumohon makanlah sedikit saja. Tuan akan marah jika Nyonya tidak makan," pinta Clara penuh harap.

"Dia tidak akan peduli apakah aku makan atau tidak," kata Freya datar.

Clara menatap Freya penuh harap. Seolah takdirnya saat ini berada dalam genggaman wanita malang itu. Namun Freya tetap pada pendiriannya. Bahkan ia tidak melirik sedikit pun apa yang Clara bawakan untuknya kali ini. Dia hanya ingin segera keluar dari tempat mengerikan ini.

"Clara akan kehilangan banyak darah jika kau terus saja keras kepala seperti itu."

Freya menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria kejam tengah berjalan ke arahnya dengan sebilah pisau di tangannya. Freya menatapnya waspada. Dia mungkin akan mendapatkan goresan entah di bagian tubuh yang mana.

Tapi dugaannya salah. Issac berjalan mendekati Clara lalu menarik rambut wanita itu dan menempatkan pisau itu di leher wanita malang itu. Dia hanyalah pelayan dan bagi Issac, nyawanya pun tak akan ada gunanya.

Freya tak kuasa menahan tangis ketakutannya. Segera ia bersimpuh di hadapan Issac. Ia melirik ke arah Clara yang saat ini sama takutknya dengan dirinya.

"Lepaskan dia," pintanya memohon.

"Makanlah," kata Issac. "Kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan."

Freya segera mengambil nampan itu perlahan dan menatap sandwich tersebut. "Aku akan memakannya, tapi tolong jangan sakiti Clara. Kau boleh melakukannya padaku. Sesuka hatimu dan selama yang kau inginkan. Tapi jangan sakiti dia," kata Freya memohon dengan isak tangis.

Issac tersenyum penuh arti lalu di lepaskan nya Clara dan beralih ke wanita malang itu. Dengan derai air mata ketakutan bahkan Freya yang tak mampu melirik ke arah pria itu segera menghabiskan sandwich serta meminum susu itu. Untuk sesaat Freya berhenti karena tersedak.

Wajah Issac tiba-tiba berubah. Dia mengusapi punggung Freya lembut. "Makanlah perlahan," celetuknya di telinga Freya lembut.

Wanita itu segera bergeser menjaga jarak aman baginya. "Maaf," celetuknya ketakutan.

"Clara, bawa dia masuk ke dalam. Kami akan makan malam bersama," kata Issac memberi perintah.

"Baik, Tuan." Clara menunduk.

Issac berjalan pergi dari tempat itu. Sesaat setelah kepergiannya, Freya mulai bisa bernapas lega. Pun juga Clara yang merasa sedikit lega. Melihat cara wanita malang itu memakan sandwich buatannya membuatnya merasa iba.

"Tuan akan sangat marah jika Nyonya seperti ini terus. Jadi, tolong sedikit lunak." Clara menasehati.

Ditatapnya Clara yang sekarang terlihat baik-baik saja dengan tatapan menahan sesuatu. Dia tahu betul apa pun yang ia lakukan akan sangat sia-sia.

"Sebenarnya dia sangat peduli pada Nyonya," kata Clara lembut.

Freya menatap Clara. Kedua matanya sudah mulai basah oleh air mata. Ia ingin marah tapi tak memiliki cukup tenaga untuk marah.

"Tuan pasti akan mulai menyukai Nyonya jika saja Nyonya berhenti membuatnya marah," lanjut Clara.

Perlahan Freya berdiri lalu menghapus air matanya. Di tatapnya tajam wajah Clara. "Aku sudah tak memiliki hidupku sendiri. Bagaimana aku bisa berada di tempat ini saja aku sama sekali tidak mengerti," kata Freya lalu berjalan pergi.

Sementara itu Clara hanya bisa menatap punggung nyonya nya dari tempatnya berdiri. Untuk sesaat dia merasa ini bukanlah takdir yang adil untuk Freya. Wanita itu memamg tidak memiliki nasib baik saat ini. Tapi jika saja dia mau berusaha menyenangkan tuan nya maka hidupnya akan sedikit lebih baik.

***

Di atas meja marmer itu sudah terhidang berbagai jenis makanan. Dua orang duduk berjauhan. Di sisi satu seorang pria tampan dengan setelan jas hitam menatap lurus ke depan, ke sisi ujung sana. Dimana seorang wanita cantik tengah duduk dengan ekspresi datar.

"Ganti semua makanan di atas meja," kata Issac datar.

"Apa? Tapi... Ini..." Freya tergagap. Bagaimana bisa pria itu memerintah sesuka hatinya?

"Kau tidak suka lalu untuk apa ada ini semua di sini?" tanya Issac.

Tanpa mempedulikan beberapa pelayan wanita yang siap melayani, Freya bangkit dari duduknya dan mengambil banyak jenis makanan ke dalam piringnya. Lalu kembali ia duduk. Di tatapnya makanan yang sudah menggunung di atas piringnya itu. Ia menghela napas panjang sebelum ia mulai menyantap makanannya.

Di ujung sana, Issac menatap puas ke arah Freya yang sedang makan dengan lahap. Sejujurnya wanita itu hanya tak ingin membuat banyak orang kerepotan. Meski mereka hanyalah seorang pelayan. Dia tidak suka memerintah seperti atasan dan lebih suka merangkul. Namun di sini, di tempat ini, dia sangat waspada. Tak banyak orang yang ia ajak berbicara.

"Kau pasti sangat menyukainya," celetuk Issac sambil mulai memotong daging steak di atas piringnya.

Sesaat Freya berhenti. Ia benar-benar sudah merasa muak. Namun dia tak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang keluar karena kepedihan itu. Freya berusaha memakan semua makanan di dalam piringnya. Hingga akhirnya dia berlari dan memuntahkan semua yang ia makan ke dalam washtafel.

Seutas tangan menepuk perlahan punggungnya. Tangan besar yang juga sedikit memiliki kehangatan itu mengusapi perlahan punggung Freya. Segera ia berkumur dan mencuci mulut serta wajahnya. Dengan napas tersengal-sengal, Freya berbalik dan pergi meninggalkan Issac yang sejujurnya tengah mencemaskannya saat ini.

"Kau tak perlu melakukan apa pun untukku," celetuk Freya dengan kepala tertunduk.

Issac mencoba menahan amarahnya. Ia menunggu wanita itu mengatakan sesuatu lagi.

"Aku akan sangat mengerti posisiku. Sehingga suatu saat kau tak harus bersusah payah untuk mengingatkanku," lanjut Freya dengan nada dingin lalu pergi meninggalkan Issac dengan keterkejutannya.

Kedua telapak tangan mengepal penuh amarah. Di tatapnya perlahan pantulan wajah garangnya di cermin. Dia merasa sangat tidak manusiawi ketika sedang bersama Freya. Perlakuannya terhadap wanita malang itu sangat mengerikan. Dia mulai menyadari itu.

Tatapannya beralih pada kedua tangannya. Merah darah di kedua telapak tangannya. Issac pun mulai panik. Kedua tangannya berlumuran darah. Sangat pekat dan seolah tak bisa hilang meski dia berusaha mencuci dan menggosok kedua tangannya.

Bayangan tentang kematian banyak orang pun kini mulai muncul kembali di ingatannya. Bayangan seorang anak kecil berjalan dengan tangisan dan kedua telapak tangan berlumuran darah.

"Ibu..." Begitu panggilnya.

Namun yang di panggil hanya tergeletak tak bergerak. Issac di ujung sana hanya terdiam di tempatnya tanpa melakukan apa pun. Hanya menatap mirisnya anak itu menangis di samping jasad ibunya.

"Aaaaaarrrrrrrgggggkkkkk!!!"

Issac kembali histeris. Lalu dia pun terjatuh dan tak sadarkan diri.

***

Prisoner Of ConstantineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang