Ini tentang rasa yang tersisa sejak hari itu. Hari dimana kita memilih untuk melangkah pada jalan yang berbeda. Perlahan melepas genggaman tangan yang pernah erat. Kisah kita terpaksa berhenti di persimpangan jalan itu.
Rasanya sedikit hampa ketika berjalan sendirian setelah sekian lama selalu ada yang menemani. Perjalanan ini membuatku mulai bertanya-tanya. Apakah selama ini kita benar-benar berjalan beriringan? Atau hanya sedang kebetulan bersama saja? Seandainya persimpangan jalan itu tak ada, apakah kita masih akan melangkah bersama?
Dan kini, apakah hanya aku yang berharap ujung dari setiap jalan itu akan bertemu di titik yang sama?
Ketika aku dan kamu memilih arah yang berbeda, apakah hanya aku yang khawatir bahwa di perjalanan selanjutnya kehadiranku akan terlupakan?
Ah, untuk apa aku masih bertanya-tanya. Menyedihkan. Padahal, sikapmu di hari itu sudah cukup jelas untuk menjawab semua pertanyaan ini.
Aku masih mengingat rasa sakitnya. Rasa sakit karena melihatmu langsung menyambut uluran tangan orang lain ketika genggaman tangan kita baru saja terlepas. Di saat aku bahkan belum sempat berbalik, kamu dengan mudahnya melakukan hal itu. Jika rasamu selama ini benar, bagaimana bisa tak terlihat ada keraguan ketika hangatnya bekas genggaman kita masih terasa?
Jika kehadiranku memang berarti, bagaimana bisa kepergianku tak membuatmu merasa terusik? Apakah kehampaan tak menghampirimu meski setitik?
Sikapmu membuatku bertanya-tanya, apakah kata 'kita' selama ini benar pernah terjadi?
Pada akhirnya, aku harus berbalik arah dan kembali merasakan luka yang sama. Kini, hanya ada aku yang bermonolog dengan sisa rasa ini.
-el.
°°°
10 Oktober 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost.
PoetryBeberapa kalimat yang tak bisa tersampaikan secara langsung. Ini tentang isi pikiranku yang tak bisa diam ketika sedang kalut. Terima kasih untuk siapapun yang membaca ini. -el