After Everything

389 59 592
                                    

"Dari jauh ke dekat,lalu kembali jauh,dan menjadi asing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dari jauh ke dekat,
lalu kembali jauh,
dan menjadi asing."

-----

Pernah mendengar budaya orang Amerika Serikat yang menyebalkan? Sedikit dari kalian, pasti pernah. Tentang remaja berumur delapan belas tahun ke atas yang harus pergi dari rumah untuk mencari kehidupannya sendiri. Walaupun tidak semua orangtua menyuruh anaknya pergi, tetapi-sayangnya, orangtuaku termasuk jajaran orangtua yang agak menyebalkan. Aku tahu, maksud mereka baik, guna melatih kemandirian sekaligus membentuk mental yang kuat dalam menghadapi dunia kejam ini.

Ya sudahlah, mau bagaimana lagi? Aku sudah terlanjur disuruh pergi dari rumah enam bulan yang lalu, karena terlalu lama mendekam di sana-padahal aku sudah berkepala dua. Berakhirlah dengan tinggal sementara di apartemen Seokjin Bimantara selagi aku mencari tempat tinggal baru dan murah. Ibuku juga resek, memberi uang saku pas-pasan. Padahal, ayah mau memberikan uang lebih banyak, tapi ibu melarang. Oh, berarti, ibuku menginginkan aku jadi gembel untuk sementara waktu, sih.

Lupakan masalah hidupku yang takdirnya agak melenceng dari garis lurus. Tetapi, aku beruntung sekali menjadi teman serumah Seokjin, dia menyenangkan. Aku banyak diajari hal-hal baru, termasuk memasak makanan dari negara asalnya, dan cara memanggil dengan sebutan berbeda dari yang lain. Aku tidak keberatan, karena seru bagiku.

Aku melirik jam di atas nakas sembari mengeringkan rambut. Sudah pukul sepuluh malam, tidak ada tanda-tanda pulangnya Seokjin dari kantor. Namun, sekon berikutnya, aku merasa seperti diawasi dari belakang. Lantas, aku berbalik dan menemukan presensi Seokjin yang beridiri di ambang pintu.

"Sialan. Kukira setan, ternyata duplikatnya."

Mata Seokjin melebar, kemudian berjalan mendekat dengan berkacak pinggang. Sebelum cerocosannya keluar, aku menyambung lebih dulu, "Ssshh ... diam dulu, ya. Sejak kapan pulang? Kenapa nggak meneleponku dulu?"

"Seriusan, deh, kita lebih cocok jadi suami istri beneran."

"Makanya nikahin, biar kita jadi suami istri beneran." Aku dan Seokjin terkekeh bersama. Seokjin itu lucu, setiap pulang bekerja, selalu ada saja candaanya. Aku sampai lelah sendiri, lelah tertawa maksudnya.

Seokjin melepas jas kantornya, lalu melempar seenaknya ke atas ranjang tanpa memedulikan aku yang akan marah nanti. Belum ada sepuluh detik, omelanku mengudara. "Kebiasaan banget, sih, Mas! yang bener itu jasnya ditaruh di mesin cuci, bukan dilempar ke ranjang. Jadinya berantakan, lho." Ini yang kumaksud panggilan berbeda dari yang lain. Seokjin yang menyuruhku memanggil seperti itu.

Seokjin hanya mengibaskan tangan abai, malah mengambil alih handuk dari tanganku untuk membantu mengeringkan rambutku sampai benar-benar kering. Tindakan Seokjin yang tiba-tiba, sontak membuatku sempat terdiam-kaget, bahkan jantungku nyaris terlepas.

"Malam ini omelannya dilewati dulu, ya. Kasihan telingaku, bisa-bisa tuli saat mendengar omelanmu yang panjang dan rinci itu. Lebih baik, kita maskeran aja, biar wajahku tambah mulus," katanya memelas-sampai jongkok di sampingku.

BELAMOUR 4.0Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang