Tepat ketika rotasi waktu telah menjangkahkan langkahnya diantara penghujung semi dan gugur, maka disitulah derai hujan mulai sesekali mengambil dominasinya kembali menyirami bentala mahika. Seakan tak menghiraukan seberapa banyak sudah si baskara menyemai rindunya pada sang lunar, rintiknya mulai melukis pada payoda abu tanpa kanvas senja menjingga seperti biasa. Sesekali pula, ayarnya mengenai rerantingan rapuh yang tak lama kemudian daun maplenya menjatuhkan diri dengan sukarela. Terseok-seok terbawa angin tanpa tahu tujuan temu yang nyata. Beserta roman air membasuh tanah yang seakan menjadi tajuk tambahannya.Semua lanskap itu terpampang jelas dalam bingkai jendela kaca pada sibakan gorden yang embunnya masih mengintip diam-diam dari baliknya. Ditemani dengan piringan hitam yang masih setia memutarkan salinan nada terakhir pada turntable tua. Hwang Jiya, masih menyesap sisa teh kamomilenya sore ini dengan beberapa potong roti bawang di samping nakas ruang tengah. Sedikit meremat cemas dalam diam, sebab mengetahui bahwa sampai detik ini rinai hujan masih setia mempertahankan intensitasnya di luar sana dengan teramat deras. Bahkan bacaan yang sebelumnya masih berada pada pangkuan, mendadak tak terasa menarik atensi lagi. Saat beberapa kilatan petir kembali menyambar penuh dengan gelegar.
Lantas beberapa menit kemudian, terdengarlah langkah kaki dan suara bagaimana seseorang memasukkan beberapa digit nomor pin rumah. Tetapi jelas suara itu tak dapat memecahkan lamunan Jiya, maka ketika tepukan dari belakang itu mengudara. Cukup membuat wanita Hwang mengedipkan bahunya singkat—tanda terkejut, dan mulai menoleh ke belakang dimana torso Seokjin sudah tepat berada di sana. Dengan pakaian yang hampir basah semua, surai sehitam obsidian yang legamnya tak terkira dengan setengah lembab pula. Serta satu puntung rokok yang masih menyala pada bukaan bibir pria Kim.
"Kenapa tidak memakai payung?" Jiya mendekat dan meraih selembar handuk kecil. Lantas memberikannya kepada Seokjin sebelum akhirnya berdiri tepat dihadapan pria Kim dengan kacakan pinggang. "Apa kau tidak memperhatikan seberapa deras hujan di luar?"
"Apakah kau tidak memikirkan seberapa susahnya jika kau sakit?"
"Kenapa kau selalu—"
Belum sempat Jiya melanjutkan kalimat penghakimannya tentang Seokjin yang pulang terlambat, kehujanan, dan semua bentangan ubin basah. Dengan gerakan cepat seakan perlu untuk beberapa waktu lagi menafsirkan apa yang terjadi, tiba-tiba saja pria Kim sudah berhenti menghisap kapas manis dalam pipihan tembakau itu dan mendekatkan wajahnya ke arah Jiya. Mengecup ranum merah merekah itu dengan cepat sebelum pada akhirnya mengusap pipi Jiya singkat. Memilih menenggelamkan kedua visus miliknya dalam genangan tatap iris sayu Jiya tanpa pembuka kata. Ranum Jiya tiba-tiba berhenti mengeluarkan nada suara. Napasnya seakan berhenti berhembus kala menyadari jika jangkahan jarak itu mulai terangkat dan memangkas. Tatapnya stagnan, daksanya membeku. Dan yang paling parah sekaligus tidak masuk akal adalah bagaimana alat penyokong seluruh tubuh Jiya, berdegup tak kalah gila disuguhi pesona si jejaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
BELAMOUR 4.0
RandomPeliknya hitam dan merah predestinasi biarkanlah jatuh hingga inti bentala. Eksis mintakat untuk dolan dan penuh dengan manisan lebah. Coba biarkan sanubari dan serebrum menerima esensi hidup yang syahda dan jenaka. Predestinasi memang sekali-kali m...