09 - Satu Permintaan

65 45 99
                                    

Hari berganti minggu hingga bulan pun berlalu, aku mulai dekat dengan Tri, meski kalau bertemu secara langsung, kami berdua masih sulit menyapa. Jika aku dan dia tiba-tiba bertemu muka, maka dengan cepat ia memalingkan muka. Aku jadi bingung, apakah mukaku ini aneh? Kalau gak ganteng, ya wajar sih, aku kan jarang mandi soalnya. Hi hi hi.

--ooo--

Ketika aku dan Tri mulai akrab di dunia maya. Aku merasa, aku cukup beruntung mengenalnya. Bagaimana tidak? Meskipun aku iseng minta bantuan padanya, tapi dia langsung mengabulkan permintaanku. Salah satunya adalah dia selalu mengunduh aplikasi-aplikasi kepenulisan yang kuperintahkan, dan dia benar-benar tidak keberatan.

Jika melihat kami berdua di Nurul Yaqin. Banyak orang yang tidak percaya kalau kami berdua sangat dekat di dunia maya. Alasannya, karena aku tetap profesional pada pekerjaanku sebagai gurunya dan dia sebagai santri tetap seperti yang lainnya. Kami tidak pernah memperlihatkan kedekatan kami, kecuali dekat sebagai guru dan santrinya.

Di Nurul Yaqin, aku juga tidak terlalu baik kepadanya. Maksudnya, aku selalu menegurnya meskipun dia tidak terlalu bersalah. Aku selalu mencari-cari kesalahannya dengan alasan yang selalau kulontarkan dia orangnya "Bandel." Aku selalu menghukumnya dua kali lipat dari teman-temannya, yang seolah-olah memberi tanda kalau aku membencinya.

"Kamu Tri! Lambat lagi! Memang kamu di, sok keren sekali!"

"Ambil posisi sekarang juga!" tegasku dan Tri berjalan ke arah tengah masjid sesuai petunjukku. "Blender!" lanjutku.

"Kanan! Kanan! Kiri! Kanan!" teriakku terus memerintahnya, "lebih cepat, masa sudah sok keren, tidak bisa blender!" sindirku dengan tatapan tidak suka.

"Lari!!!" seruku dan dengan sepoyongan dan pasti penglihatannya kian kabur, secepat ia bisa Tri berlari sesuai perintah.

"Siap!" Meski dia terlihat oleng, Tri berusaha berdiri sekuat yang ia bisa. Karena, kalau tidak, mungkin hukumannya semakin banyak dari yang ini. Aku memang keras kepadanya, sangat keras!

Itu di dunia nyata, tapi jika di dunia maya malah sebaliknya. Setiap hari, jika aku selesai menghukumnya dengan berat tanpa rasa kasihan, aku selalu minta maaf kepadanya, dan beruntungnya aku, dia selalu memaafkanku. Kalau dikata jahat, aku memang jahat kepadanya. Aku akui itu.

Aku tidak mengerti dengan diriku sebenarnya. Pikiranku seolah-olah menyuruhku untuk selalu menyakiti Tri, tapi hatiku malah berlaku sebaliknya. Hatiku selalu mendorongku untuk lebih dekat lagi dengannya. Ingin mengetahui dunianya, meskipun duniaku dan dia jauh berbeda.

Terus begitu, dan itu tidak ada akhirnya. Sikapku selalu membomeerang kepadanya setiap hari. Menyakitinya di dunia nyata dan minta maaf di dunia maya. Namun, dari situlah membuatku semakin bersemangat untuk dekat dengannya.

Hingga tiba hari di mana aku berpikir bahwa Tri itu orangnya baik. Baik banget malah. Dia yang selalu menuruti kemauanku dan pasrah pada hukumanku, dan itu menjadi salah satu faktor pendorong mengapa aku perlahan merasakan penyesalan telah menyakitinya.

--ooo--

Siang menjelang sore, ya kira-kira hampir jam dua, hari itu aku sudah tiba di Nurul Yaqin sedikit basah kuyub karena hujan yang tiba-tiba turun sedikit deras. Meskipun aku diguyur hujan pas di depan rumahnya Jumiati, tetapi tetap saja bajuku basah karena hujan yang turun seakan tumpah begitu saja.

Aku mengibas-ibaskan bajuku yang kukenakan yang bertuliskan "Dont touch my Phone" pas di pintu masjid. Santri TPA yang sudah hadir langsung menghampiriku dan langsung menatapku semua.

"Basah bajuta Kak San?" tanya Aulia.

"Iya, tiba-tiba hujan!" balasku sedikit memeras bajuku berharap air yang tertampung bisa berkurang.

Santri Nurul Yaqin [END] - Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang