Happy Reading 👁👁
--oOo--
Sudah saatnya prank yang sesungguhnya akan dimulai, ketika semua santri sudah duduk manis di atas sajadah panjang. Mereka terlihat kalem, meski aku tahu persis kalau jantungnya sekarang sudah joget-joget di dalam sana. Sangat mustahil jika tidak.
--oOo--
Setelah semuanya duduk, aku bertanya kepada panitia "Ini berlima mau apa?"
"Mau lihat itu," jawab Nurul menunjuk santri.
"Oh."
Aku tidak tahu bakalan bagaimana akhirnya nanti. Karena permulaannya saja, kami seakan mau tertawa. Namun, ku tahan gejolak tawa itu. cukup untuk hari ini karena memang kami berniat mengerjai santri baru.
Aku mulai berjalan dengan raut muka tidak bersahabat di hadapan mereka. Aku mulai meneliti, kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan santri sebagai asal muasal penyebab kemarahanku.
"Iko, magisi na ku riwajummu mu taro palopemmu iko, magello ga rita!" tegurku kepada Tri (Kamu, kenapa menyimpan pulpenmu di bajumu, baguskah?) dengan secepat mungkin Tri menyimpan pulpen miliknya yang sempat ditenggerkan di kerah bajunya.
Terlihat Tri sedikit jengkel atau bagaimana, senyumanya yang masam yang membuktikan kalau dia tidak suka ditegur seperti itu. Namun, tidak masalah, sepertinya Tri belum tahu bagaimana aku sebenarnya. Jika dia ingin marah di depanku, berarti dia baru saja masuk ke dalam daftar masalahku.
Setelah semuanya baik-baik saja, aku mulai berbicara, "Oke saya mau bertanya. Diga pura mappaisseng ri Ibu imam ke rihukum i senni! Diga!!" ucapku dingin dan tegas langsung to the point. (Siapa yang sudah mengadu sama Ibu imam kalau dia dihukum kemarin! Siapa!)
"Ao halle! Digana?" ucap panitia terdengar mengompori. (Hoh, siapa?)
Kondisi mulai tidak stabil, raut muka mereka mulai keheranan karena sesungguhnya mereka tidak pernah melakukan hal itu. Hanya saja kami yang mau kerjain mereka jadi, kami harus terlihat benar-benar marah. Tri menggeleng dengan raut muka bingung, sedangkan Fuad hanya menunduk tak kuasa menatap kami yang berlalu lalang di hadapannya.
"Jawab!" timpal Nurul tegas.
"Diga mappaiisseng?!" ucapku lagi. (Siapa mengadu).
"Diga mappaisseng ri Ibu Imam ke rihukum i ko lao i ri masiji e!" tambah Muhlis tidak kalah besar. (Siapa yang mengadu sama Ibu imam, kalau dia dihukum jika pergi di masjid).
"Kita pergi di sini itu, belajar. Tidak untuk mappaisseng di Tanta Ida! Mappaisseng-mappaiseeng, samanna to engka nappu!" gertak Nurul begitu sangar membuat santri semakin terpojok. (Tidak untuk mengadu kepada Tante Ida! Mengadu-mengadu, sepertinya saja sudah ada materi yang dia tahu).
Aku akui action Nurul memang patut diacungin jempol. Karena gertakan dia, Fuad yang tadinya menunduk semakin membeku dan mati kutu. Sedangkan yang lainnya sedikit kaget dan bingung.
"Woi! Diga mappaisseng? Atau tea o ngau i! Yakko tea o ri hukum aja mebbu asalang!" lanjutku semakin memperpanas suasana. (Woi, siapa yang mengadu? Atau tidak ada yang mau mengaku! Kalau kamu tidak mau di hukum, makanya jangan buat kesalahan).
"Ne iko metto mebbu asalang. Ri suroko magguru, de' muagguru. Ri suroko matti' bo'bo, de' muattiwi bo'bo. Ri suroko maccata' de' muaccata! Aga memengna elo mu cata' mau bo'bo de' to mutiwi!" ujarku berceramah. (Tapi, kalian sendiri yang membuat kesalahan sebenarnya. Disuruh belajar, tidak belajar. Di suruh bawa buku, tidak bawa. Disuruh mencatat! Apakah yang kalian mau catat, kalau kalian sendiri tidak bawa buku!).
"Huh, elo maneng ri hukum yaro! Elo ri palleppo ulunna!" lanjut Nurul ketus (Huh, mereka semua mau dihukum. Bagus dipukul kepalanya!)
"Itu semua karena kesalahanmu, jadi kamu dihukum. Seandainya kalian tidak salah, kalian tidak akan dihukum!"ucapku sembari berjalan mengelilinya, "Macawasi tu! Samanna to magello-gello rita!" sambungku ketus. (Malah ketawa lagi, sepertinya bagus dilihat!)
"Atau teano magguru kue! Mengaku saja! Angkat tangannya! Langsung saja pergi!" tegasku. Tidak ada yang menjawab. Mereka hanya diam bak patung, bahkan menatapku saja mereka tidak mampu. (Atau kalian tidak mau belajar di sini)
"Woi, tidak punya telingakah semua?! Hah! Tidak ada yang mau bicara! Kuhukum semua ko! Mau!!" gertakku semakin kesal. Sepertinya mereka memang sengaja memancing-mancing emosiku untuk keluar.
"Diga suroko mappaisseng? Hah! Diga suroko!" (Siapa suruh kamu mengadu? Hah! Siapa?)
"Pauangnga diga mappaiisseng kue! Diga!" (Beritahu saya, siapa yang mengadu di sini!)
Meskipun aku sudah teriak-teriak, menggertak segala macam, namun ternyata mereka tetap saja diam. Aku benar-benar mulai tersulut emosi. Aku mengambil bangku dan langsung membantingnya di lantai, di hadapan mereka.
BRAAAKKK
Mereka tergidik dan ketakutan, dia menatapku dengan wajah polos mereka yang tidak bersalah itu dengan raut sendu antara takut dan mau menangis. Namun, aku tetap tidak peduli dan semakin kesal. "Masih belum ada yang mau mengaku! Hah?!" tanyaku geram.
"Atau mau diguling semua ini! cepat ko mengaku!"
"Satu!!" Aku memekik lantang, hingga panitia juga sedikit terkaget.
"Tidak tahu-ka saya, Kak San. Karena tadi-pi baru ku tahu!" Dengan terbata-bata akhirnya Sarina buka mulut.
"Apa?! Tidak tahu! jammo bersandiwara, Ina. Mungkin mulutmu bilang tidak tahu, tapi hatimu bilang kalau kamu tahu memang mi! Atau jangan-jangan kamu yang mengadu!" gertakku melawan atensinya.
"Tidak Kak San, bukan saya." Dia mengelak.
"Jujurmo! Atau mauko diguling! Hah! Kalau tidak mauko jujur, semua santri saya guling!" tegasku dengan emosi berapi-api.
BBRRAAAK!!
Bangku kecil yang sempat kubanting barusan, kembali ku banting membuat mereka semakin tergidik dan mulai bergetar menatapku penuh ketakutan. Apalagi melihat mataku yang hampir keluar. Wkwk.
"Mengaku ko Ina! Jujur ! Atau ko lempar ko pake ini!" tegasku disertai dengan amarah yang entah mengapa benar-benar meluap. Padahal ini hanya prank semata.
"T-tidak, K-kak San!" Ina menjawab dengan nada bergetar, bola matanya terlihat mulai berair sedangkan ke-empat temannya pun menunduk.
"Kenapa ko menangis! Diapako kah? Dipukul-ko!" tanyaku sedikit sangar. Sementara panitia mulai tersenyum melihat kondisi santri di hadapannya.
"Jangan ada yang menangis! Awas kalau ada!" gertakku lagi.
Meskipun aku mengatakan demikian, ternyata mereka tidak juga mematuhi perintahku. Air mata yang sedari tadi mereka tahan mulai keluar tanpa izin. Terlihat Sarina mulai mengusap matanya menggunakan kerudung berharap air matanya hilang dengan sekejap.
"Awas ko kalau ada yang menangis! Prank ji ini e! Anda kena prank! Ha ha ha!" Aku terkekeh dan menyuruh panitia menindak lanjuti. "Ambil alih santri!"
"Hei, jangan mo menangis e, di prank jako na. Ketawa ... yang tidak ketawa, dihukum ko itu!" ucap Nurul tersenyum dan mulai tertawa (Heh, tidak usah menangis, kalian di prank saja).
"Ketawa ko semua! Satu! Dua! Tig-"
"Ha ha ha!"
"Ha ha ha!"
Mereka tertawa palsu, sedangkan matanya sedikit berair. Aku tersenyum dan minta maaf setelah itu dan memberitahu kalau itu cuma prank biasa. Awalnya aku sempat ragu dan was-was, takut apakah prank ini akan berjalan lancar? Namun, sepertinya aku dan panitia berhasil. Yes anda kena prank, kameranya ada di sana!
--oOo--
Mungkin agak aneh, tapi yang mengerti bahasa-nya pasti lebih ngena rasanya. Next part see you soon.

KAMU SEDANG MEMBACA
Santri Nurul Yaqin [END] - Sudah Terbit
Fiction généraleKarena Rindu, Kamu Hadir Karena Cinta, Kamu Abadi -SanTri Nurul Yaqin- Ini tentang perjuangan Ini tentang amanah Ini tentang kasih sayang Ini tentang ketulusan [Begitu sakit, meski lukanya tak nyata] Segenggam kisah yang bercerita tentang Aku, kamu...