|HAPPY READING|
--oOo--
Batu Putih, 2018
Hari itu, di pagi yang cukup dingin. Batu Putih diselimuti oleh kedamaian dan keindahan. Embun segar di dedauan terlihat bergerak lambat dan terakhir jatuh dan membekas pada tanah.
Angin semilir bergerak dari timur desa, mengembus menerpa muka yang terasa kering. Kupejamkan mata, menarik napas dan menahannya sesaat. Kemudian, aku keluarkan dengan kelegaan yang luar biasa.
"Huaaah!" Aku menguap lebar.
Puncak Patabbereng memang sangat sejuk di pagi hari, padang rumput yang hijau itu membentang luas semakin menambah kesegaran. Kuedarkan pandangan dan netraku langsung tertuju pada sapi-sapi yang juga menatapku aneh. Dari tatapannya, terlihat begitu terkejut mendengar aku menguap. Aku langsung jengkel bin kesal kepadanya. Dasar tuh sapi, sok-sokan kaget. Nyebelin banget.
Sang mentari baru saja muncul dari persembunyiannya di timur. Di sini, cocok sekali melihat sunrise dan cocok juga melakukan olahraga pagi, karena tempat ini langsung diterpa sinar matahari pagi yang sangat cocok untuk tulang. Kugoyang-goyangkan pantat seolah-olah aku sedang senam pagi.
Setelah sedikit melakukan peregangan, aku berbalik ke arah barat laut. Di sana, terlihat dataran desa Batu Putih yang masih diselimuti kabut dari timur hingga barat. Tak ada satu pun rumah penduduk yang tampak dengan jelas, hanyalah lautan putih yang membentang bak salju yang baru saja menindihnya.
Batu Putih yang asri, indah dan sejuk. Tidak sia-sia Ibu Sud menciptakan lagu nasional "Tanah Airku". Karena memang pada sejatinya, kampung dan rumah kita, di sanalah kita merasa senang, sebagaimana liriknya. Entah mengapa aku merasa ingin bernyanyi sekarang, mumpung orang-orang belum berdatangan untuk melihat sapi-sapi mereka yang dipelihara di puncak patabbereng ini.
Sebenarnya aku berada di puncak Patabbereng sepagi ini karena aku dari ladang yang letaknya tak jauh dari sana. Ya, kira-kira 100 - 200 meterlah jaraknya.
Ini adalah hari pertama tanpa kakakku, sunyi juga terasa. Ada rasa yang masih kuharapkan hadir, tapi mau tidak mau harus hilang dulu, demi masa depan.
--oOo--
Mentari mulai condong ke barat, itu artinya sudah saatnya pergi mengajar sesuai dengan amanah kakakku sebelum dia ke Makassar. Pertemuan perdana, terasa aku begitu semangat.
Aku terus menapaki beton yang sudah mengikis akibat air hujan dan kendaraan yang berlalu lalang. Dengan langkah penuh pasti aku terus bersiul-siul menuju rumahnya Pak Imam yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumahku.
Waktu itu, anak-anak santri masih belajar di rumahnya Pak Imam. Ya, karena nyatanya memang di sana. Tidak ada tempat lain, kalau berbicara Nurul Yaqin. Belum kepikiran untuk berada di sana saat itu.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
"Adik-adik semua, untuk sekarang ini saya yang akan menggantikan kakakku mengajar. Semoga bisa bekerja sama yah." Aku membuka pembelajaran perdanaku hari itu.
"Iya kak!" jawab semua santri.
"Bagaimana? Sehat."
"Alhamdulillah, kak."
"Syukur alhamdulillah, kalau begitu."
"Baik sebelum pelajaran, bisa perkenalkan namanya masing-masing?" tanyaku kepada mereka. Dan mereka semua mulai memperkenalkan namanya. Ada Nurul Amelia Sam, Muhlis, Reni Apriani, Abd. Rahman Aidul, Edi Lestari, Nisma Reskyyani. R, Nursapika, Hasmayanti, dan Muh. Zikram.
Ya itulah pertemuan perdana yang kami isi dengan perkenalan. Walaupun sebenarnya kami sudah kenal karena sering berjumpa. Namun, dalam forum ini kami harus tetap profesional.
--oOo--
Hari terus berjalan sesuai dengan rencana Tuhan dan kami pun ikut menerima. Karena tidak mungkin juga kami melawan takdir. Hingga suatu hari Kakak Ida tidak ada di rumahnya, sementara proses pembelajaran yang biasanya kami lakukan pada siang hari harus tetap berjalan.
Sebenarnya, Edi ada waktu itu, tetapi aku juga tidak enak jika masuk ke dalam rumahnya Kakak Ida jika dia tidak ada di rumah. Bukan aku berpikir bahwa dia akan berburuk sangka kepadaku. Hanya saja aku merasa gak baik saja.
Mengingat pelajaran harus tetap berjalan. Maka dengan berat hati, kami pun pindah tempat. Yakni ke masjid Nurul Yaqin yang letaknya hanya beberapa meter sebelah barat dari rumahnya Pak Imam. Dan itulah awal mula kami melakukan pembelajaran di Masjid Nurul Yaqin, yang kala itu masih di anggap keramat oleh orang-orang, atau bahkan sampai sekarang orang-orang masih percaya akan hal itu.
--oOo--
Di Nurul Yaqin, pembelajaran berjalan sesuai kehendakku, semua anak-anak santri menjadi tanggungan dan berada di bawah kekuasaanku. Aku yang berkuasa di sana saat itu, dan cukup asyik juga ternyata. Aku mulai terbiasa mengajar di sana dan atensiku jika mengajar mereka itu menjengkelkan ternyata tidak seburuk yang kupikirkan.
--oOo--
Jika berbicara tentang sekolah, aku merasa tidak terlalu mempermasalahkan itu semua, karena aku yang kala itu masih duduk di bangku kelas X SMA sama sekali tidak terbebani sedikitpun. Alasannya, karena santrinya juga rajin belajar makanya aku juga merasa senang mengajar.
Di sana juga aku menerapkan istilah "Pos-pos" untuk evaluasi pembelajaran. Semacam heaking gitu, dan senang rasanya bisa mengajar di alam luar. Seperti yang dilakukan di organisasi pramuka saat sekolah.
Pada evaluasi pos-pos tahun 2019 itu aku hanya dibantu oleh Eka Risya sebagai alumni dan juga pacarku - Andayani juga ikut bergabung karena dia juga alumni. Dan cukup seru juga, banyak kelucuan yang tercipta, seperti ketika Nurul hampir jantungan karena dikagetkan oleh Eka Risya di toilet dan aku sendiri yang menjadi korban jail-nya Andayani sampai aku berteriak histeris karena terkejut. Untung kala itu aku sayang, kalau tidak mungkin ku getok kepalanya. Hihihi.
--oOo--
Singkat cerita, begitu banyak perjuangan dan kisah-kisah yang tercipta di sana. Seperti ketika aku prank mereka, menyuruh mereka menonton film horror hingga hukuman yang membuatnya kapok pun pernah terukir.
Tak terasa sudah hampir setahun aku mengajar di Nurul Yaqin, mulai akhir 2018 lalu hingga hari itu sudah masuk di Bulan November 2019 kalau tidak salah, hari H pelaksanaan Wisuda akbar di Lagori, Kecamatan Tellu Limpoe pun terlaksana, walaupun sebelumnya seringkali mengalami penundaan. Di hari itu, ada rasa kesal dan bingung yang tercampur aduk dalam hatiku.
Karena saat itu, di sekolahku juga diadakan LDKS. Otomatis aku yang memiliki peran penting dalam organisasi OSIS harus tetap setia di sekolah selama acara itu berlangsung, dan sialnya aku tidak bisa melihat adik-adik santriku berjuang di Wisuda tahun 2019. Aku benci situasi itu, tetapi aku juga tidak bisa menyalahkan takdir.
--oOo--
Ada kabar baik yang menghiasi telingaku ketika wisuda itu telah terlaksana. Kabar bahwa dari 10 santri yang berjuang di Wisuda itu, dua di antaranya mendapatkan predikat Santri-Santriwati terbaik. Syukur Alhamdulillah, mereka benar-benar membuatku bangga.
Mereka adalah Nursapika sebagai terbaik ke 2 Santri-Santriwati terbaik 2019, dan Edi Lestari dinobatkan sebagai terbaik ke-3 Santri-Santriwati terbaik 2019. Wah mereka sungguh luar biasa bagiku, aku merasa perjuangan mereka tidak sia-sia. Mereka yang pernah menangis, mereka yang pernah tertawa, dihukum, hingga teriak karena ketakutan melihat visual hantu, terbayarlah sudah dengan prestasi mereka.
Dan dulu aku pernah berjanji sebelum mereka wisuda. "Jika ada yang mendapatkan juara saat wisuda nanti, aku berikan hadiah!" ucapku hari itu. Dan setelah 3 tahun berlalu, aku baru bisa mengabulkan janjiku itu dengan membelikan mereka berdua Al-Qur'an hafalan.
--oOo--
Kapan lanjut? Tunggu saja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Santri Nurul Yaqin [END] - Sudah Terbit
Ficción GeneralKarena Rindu, Kamu Hadir Karena Cinta, Kamu Abadi -SanTri Nurul Yaqin- Ini tentang perjuangan Ini tentang amanah Ini tentang kasih sayang Ini tentang ketulusan [Begitu sakit, meski lukanya tak nyata] Segenggam kisah yang bercerita tentang Aku, kamu...