Bagan 16 · Setengah Purnama

220 47 10
                                    

BULAN tampak putih cerah saat terakhir kali Kevin melihat langit. Dari kaca mobil yang dikendarainya, satelit bulat itu mengikuti lekak-lekuk jalanan yang ditempuh Kevin.

Dua detik. Hanya dua detik Kevin melirik ke atap bumi itu, melepaskan senyum bahagianya terakhir setelah menutup telepon dengan Eliot. Hijau. Lampu hijau itu sangat sayang kalau harus dilewatkan.

Dua detik, Kevin melepaskan pandangan dari jalanan raya. Dan dalam dua detik itu, suara, cahaya, dan hantaman gaya melejitkan dunia Kevin. Entah dari mana datangnya, Kevin tidak tau. Yang dia lihat, sekilas saja, adalah dua cahaya lampu depan mobil yang mengadu matanya. Suara klakson lantang memekakkan telinga. Lalu setelahnya, gelap.

Satu detik. Rasanya gelap itu melahap Kevin dengan cepat, sekaligus pergi dengan kilat.

Kini cahaya bulan yang bundar itu menjelma menjadi sesuatu yang lain. Lampu. Putih, langit-langit asing, dan aroma yang tak biasa di hidung Kevin. Antibiotik. Ah, semuanya menyaru dan menjadi satu namun tak padu.

"Key ... kamu sudah bangun ... Nak ...." Suara itu samar, timbul tenggelam seakan berasal dari permukaan air bergelombang sementara Kevin tenggelam di dasarnya.

"Ke ... vin. Ini Mama, sayang." Lagi. Kali ini makin jelas, membuat Kevin mengerutkan keningnya. Aneh. Kevin tidak bisa merasakan kepalanya.

"Dok, dokter! Panggil dokter, Em. Cepat."

Kevin membuka mata. Sosok samar dengan wajah yang begitu familier menyambutnya. Buram, tapi Kevin tau itu siapa. Mama.

"Ma ...." Bisikan itu lirih. Rasanya bukan keluar dari mulut Kevin, namun jelas suara itu miliknya. Aneh sekali. Tubuh Kevin seperti bukan miliknya sendiri. Dia tidak paham apa yang indranya rasa.

"Ya, Sayang? Mama di sini, Nak. Key-Key mana yang sakit? Kasi tau, sini."

Semakin jelas. Suara itu, gambaran itu, Kevin mulai merekam semuanya. Matanya mengerjap, kepalanya berdenyut. Kevin mulai bisa menangkap isi ruangan itu; Mama, Melvin, yang berdiri dari sofa di sudut ruangan, Papa, yang baru datang dari pintu terbuka, diikuti Jevin dan Jesslyn, kakak sulung dan istrinya. Ruangan itu cukup luas untuk menampung mereka semua, namun sayangnya otak Kevin tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi.

Semuanya berkerumul dan bergumul, seakan ingin memeluk, mengelus, atau menyentuh Kevin sedapat mereka bisa. Mama langsung mendekap si bungsu, Melvin menggosok kepala Kevin, dan Papa menepuk-nepuk punggungnya. Kevin bertukar tatap dengan Hahaboru Jess yang tersenyum lega, bersebelahan dengan Jevin. Semua keluarga Tjahyadewa ada di sini.

"Loh, loh, loh ... kok ramai sekali ini?" Teguran bernada sopan itu diselingi tawa. Suara itu asing, tampak keluar dari pria paruh baya dengan kacamata tipis di hidungnya. Snelli putih yang memeluk tubuhnya dan juga stetoskop yang menggantung di dada jelas menunjukkan profesinya.

"Dok," panggil Nyonya Tjahyadewa.

"Iya, iya, saya periksa sekarang. Kasih space dulu, ya ...." Seakan mengerti nada putus asa dari mama Kevin, dokter itu maju membelah kerumunan keluarga Tjahyadewa. Dengan sadar diri, semua orang yang berdiri di ruangan itu berjalan keluar. Semua, kecuali sang mama.

"Bagaimana perasaan kamu ... Kevin?" tanya dokter itu sambil sesekali melihat lembar file laporan di tangan.

"Mmmm, baik—awwh!" Kevin merasakan lejitan ngilu di dadanya. Kepalanya kembali berdenyut. Tidak, Kevin tidak baik-baik saja. "Saya kenapa, Dok?" lirihnya.

"Kecelakaan lalu lintas. Epidural hematoma, fraktur tulang rusuk. Kepala dan dada kamu terbentur keras sekali. Sekarang beri tahu saya, Kevin, bagian mana yang sakit? Apa masih bisa ditahan?" Dokter itu mulai membolak-balikkan file laporan.

Dunia Kevin (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang