Bagan 19 · Terlanjur

264 44 12
                                    

SATU-SATUNYA hal yang memotivasi Kevin untuk mengontak Vero adalah perkataan mamanya. Itu, dan juga fakta bahwa Eliot tak kunjung menepati janjinya. Sudah sekian jam menunggu, Kevin sama sekali tidak mendapat kabar dari Karamel. Centang abu-abu itu masih menatapnya balik, tunggal, tanda gadis itu belum membuka akses blokir.

Impulsif. Itu yang Kevin rasakan menguasai kepalanya saat ini.

Rasanya aneh sekali mencari username Vero di sosial media. Kevin dapat dengan mudah menemukan profil cewek itu karena ia telah meninggalkan jejak like di hampir semua fotonya.

Lebih aneh lagi, saat ia mengetikkan kata-kata panjang kali lebar yang menanyakan—sekaligus menjelaskan, menegaskan—bahwa perilaku Vero kali ini benar-benar mengganggu.

Mengganggu? Apa nggak terlalu keras? Kevin memikirkan kembali kata-kata yang sedang diketiknya.

Namun saat tengah menimbang-nimbang aksinya, mendadak jendela direct message itu menyala dengan satu pesan dari ujung sana. Veronica Putri baru saja online.

[veronica.p] : Ngetik apaan tuh, kok dari tadi typing terus?

Deg. Jemari kevin membeku. Dia tertangkap basah. Harusnya gue ketik dulu di note, terus copy paste, rutuk cowok itu dalam hati. Mau tak mau, Kevin meng-copy semua hasil ketikannya untuk digunakan nanti. Saat ini, dia akan meraba arus pembicaraan dengan Vero.

[kevin.tjd] : lo kemarin ke rs?

Hanya butuh beberapa detik sebelum Vero membalas.

[veronica.p] : Ooh, itu. Iya, gue jadi satpam di sana. Kebetulan aja lu dirawat juga.

[kevin.tjd] : serius, Ver. maksud lo apa sih? tujuan lo tuh apa, nyamper-nyamperin ke rs segala.

[veronica.p] : Oke, oke. For real nih, ya? Gue tau kok, lu nge-DM gini pasti nyuruh gue jauh-jauh lagi. Ya kan?

[kevin.tjd] : ....

[veronica.p] : Gue tau pola lu, Kev. Udah hafal.

[veronica.p] : Oke, gue bakal tuntasin semuanya. Gue bakal pergi dari lu, bener-bener pergi. Tapi, sebelum itu, gue bisa minta ketemu sekali? Kasih gue kesempatan buat jelasin ini semua sama lu. Dan buat pamitan juga. Oke?

Kevin berpikir sebentar, menimbang-nimbang apakah permintaan Vero ini merupakan jebakan atau semacamnya. Akhirnya, Kevin memutuskan bahwa tidak ada salahnya dicoba. Toh dia juga penasaran. Maka dari itu, sedetik kemudian gelembung kalimat virtual menyembul lagi di jendela direct message mereka.

[kevin.tjd] : ok fine.

___

KAFE dekat kampus mereka menjadi tempat Kevin dan Vero duduk berhadapan, berdua. Diam-diam, Kevin memperhatikan penampilan cewek yang menyeruput dolce latte di depannya itu.

Vero tampak benar-benar berbeda. Tak ada lagi eyeliner tebal yang menyerupai sayap lancip di sudut mata. Tak ada bibir merah yang biasanya merona. Pakaian juga, tidak lagi minimalis dan ketat seperti biasanya.

Cewek yang duduk di hadapan Kevin bagai bukan Veronica Putri, melainkan teman kampus dengan celana jogger dan hoodie kebesaran, yang jarang sekali—bahkan tak pernah—Kevin temui sebelumnya.

"Enak kopinya?" tanya Kevin saat melihat Vero menandaskan setengah isi gelas, tanpa sempat mengeluarkan sepatah kata pun padanya. Kevin curiga, Vero sedang meredakan gugupnya dengan tegukan kopi itu. Vero, gugup? Well, that's new.

Dunia Kevin (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang