Bagan 17 · Wajah Lain Vero

269 46 14
                                    

SEJAK kecil, Veronica Putri sudah terbiasa menjadi yang nomor satu. Yang utama. Sebagai anak tunggal, papa-mamanya kerap menuruti apapun yang Vero mau. Bagai menjentikkan jari, kata-kata yang keluar dari mulut anak semata wayang itu adalah titah yang bisa dituruti dengan mudah. Bisnis kelab malam keluarga membuat Vero sekeluarga tak pernah merasakan kesulitan yang berarti. Simpelnya, hidup Vero itu mudah dan menyenangkan.

Tapi, baru pertama kali dalam dua dekade setelah lahir ke dunia ini, Vero merasakan dia ingin sesuatu namun tak dapat mewujudkannya. Keinginan itu adalah Kevin.

Vero, untuk pertama kali juga, berubah dari yang 'diutamakan' menjadi yang 'mengutamakan'. Lagi, obyek utama di hidup Vero adalah Kevin. Yah, meskipun tadinya Vero berpikir dia sudah merelakan Kevin, melepaskannya dari cengkeraman, walaupun harus menahan sekuat diri. Sempat Vero merasakan kaburnya garis antara cinta dan obsesi. Kini, sepertinya garis itu menjadi jelas dan kentara sekali.

"Buset, cepet banget nyampe ke sini," komentar Melvin malam itu. Tak sampai 30 menit setelah Melvin mendapat kabar adiknya kecelakaan, Vero sudah menyusul ke rumah sakit tempat Kevin dirawat. Bahkan anggota keluarga Kevin yang lain saja belum tiba.

"Kevin?" tanya Vero tanpa ba-bi-bu saat itu. Melvin menunjuk satu bilik UGD, menampakkan sosok Kevin yang tampak dari kaca di pintu. Sang bungsu Tjahyadewa itu tak sadarkan diri. Beberapa tenaga kesehatan sudah menanganinya, membuat Vero setidaknya bisa mengembus napas lega.

"So, now that you're here ...." Melvin memulai orasi sambil menatap Vero lekat-lekat. "Apa yang bakal lo lakuin ke adik kecil gue itu?" Melvin mengedikkan kepala ke arah pintu UGD. Vero berkedip refleks.

"Ng—nggak tau." Nada suara Vero melemah. Cewek itu mendudukkan diri di kursi tunggu, merasakan besi dingin yang menggigit belakang pahanya yang berbalut celana hot pants. Mendadak tubuhnya menggigil.

"Kayaknya, for now ... gue bakal nunggu," putus Vero akhirnya, sambil memeluk lengan sendiri. Pikirannya tersebar ke mana-mana saat ini.

Tiba-tiba, sekelebat kain jas tersampir di paha polos Vero. Melvin melemparkan luarannya itu sebelum pamit, "Gue nelpon bokap-nyokap dulu."

Maka dengan itu, Vero mengangguk. Seakan menyetujui jabatan barunya menjadi satpam Kevin sejak malam itu, malam petaka di mana Kevin kehilangan kesadaran selama dua minggu penuh, malam di mana Vero melewati dingin bersampir jaket yang dipinjamkan abang Kevin itu; menunggu perawat jaga membawa berita, menunggu proses operasi yang mengguncang dada, dan menunggu Kevin kembali terjaga.

Satu hal yang sangat disyukuri Vero dalam hari-hari lamban dan mencekam itu adalah kesempatan baginya memandangi Kevin dari dekat. Wajah terpejam bungsu Tjahyadewa itu memang terlihat pucat, namun pesonanya sama sekali tidak luntur. Diam-diam, Vero sempat mengambil gambar Kevin dari dekat. Cewek itu langsung merasa miris sendiri. Sejak kapan dia berubah menjadi seorang stalker yang menjijikkan? Ah, ini tidak benar. Rasa bersalah menang atas obsesi. Sepuluh menit setelah menjepret gambar itu, Vero menghapusnya dari memori ponsel.

Dan kini, saat cowok itu sudah membuka mata, Vero mendadak gamang. Kakinya seakan tak mau diajak kerja sama. Kepalanya meronta. Akal sehat tidak bekerja.

Ada yang salah nih. Gue kenapa, sih? Buat apa gue nungguin Kevin berminggu-minggu, kalau pas dia sadar aja, gue nggak berani ketemu?

___

NYONYA Tjahyadewa membenarkan posisi kacamata bacanya. Tablet yang membuka file artikel mentah sedang berkedip di genggamannya. Anaknya, Kevin, sedang tertidur di ranjang di sampingnya.

Si bungsu itu tampak sedih dan murung setelah beberapa jam terjaga, dia tak juga mendapatkan apa yang dia cari dari ponsel barunya. Saat sang mama menanyakan pada Kevin, cowok itu hanya menjawab, 'teman aku lost contact ma, chat-nya centang satu'.

Dunia Kevin (𝘌𝘕𝘋)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang