Sudah beberapa hari hujan tampaknya enggan mampir di langit Jakarta. Debu yang berterbangan menempel pada kulit-kulit yang berkeringat. Angin yang menerpa ke arah wajah Jakarta justru melemparkan hawa panas.
Suasana bus kota hari ini tak kalah sadis. Hawa panas yang memancar di luar terserap melalui pori-pori bus. Lambung bus penuh sesak seolah ingin menumpahkan isinya, namun enggan. Aroma cologne yang bercampur asinnya keringat mengintimidasi penciuman para penumpang.
Sisi sebelah kiriku, diisi oleh seorang pemuda. Usianya mungkin baru memasuki awal dua puluhan. Padatnya bus kota membuat sebagian penumpang harus berdiri bergelantungan. Beruntung aku mendapatkan tempat duduk. Posisi di dekat jendela memang nyaman. Aku bisa leluasa menghirup udara luar dengan membuka jendela kaca bus yang usianya mungkin tak jauh berbeda dengan kakak tertuaku, tetapi cukup membuatku repot jika ingin turun dari bus.
Pojok pintu masuk, berdiri seorang bapak yang asyik mengepulkan asap rokoknya. Bulatan-bulatan asap yang keluar dari mulutnya, terasa makin membuat sesak udara dalam bus. Aku tak pernah habis berpikir saat melihat orang yang merokok di dalam bus kota yang penuh. Apakah konsep "indahnya berbagi" begitu terpatri dalam benaknya sehingga ia pun membagikan nikotin ini ke udara.
Bus berhenti. Seorang nenek tua dengan tas di tangan, naik. Belum sempurna telapak kakinya mendarat pada tumpuan, bus sudah maju mengejar waktu. Kulihat tak ada tanda-tanda orang yang akan merelakan kursinya untuk sang nenek. Kadang keegoisan memang cukup mendominasi di kota yang dipenuhi paham realis ini.
Aku berdiri. Kulewati pemuda yang duduk di sebelah kiriku. Berharap ia akan merelakan kursinya untuk sang nenek, tampaknya seperti menanti hujan di gurun pasir yang tandus. Wajahnya kusut masai, makin membuktikan keengganannya untuk berdiri. Kupersilakan nenek tersebut duduk.
Aku mengambil posisi mendekati pintu belakang. Sebelahku berdiri seorang pria yang mungkin berusia empat puluh tahunan. Tubuhnya harum. Sepertinya hasil racikan parfum branded versi isi ulang. Dia menatapku. Matanya indah berbinar. Kurasa ia adalah artis Korea yang sedang terjebak di dalam metro mini nan padat. Ah, kecepatan tanganku tak segesit miliknya. Tangan kananku tertangkap basah oleh tangannya.
"Kurang cepat, Mbak," ujarnya lirih seraya mengeluarkan tanganku dari saku celananya. Kedipan matanya makin membuat kegagalanku terbentang nyata.
Kulihat di barisan depan, temanku memberikan kode untuk segera turun dari bus ini. Misi kali ini gagal. Kami turun tanpa membawa sebuah dompet pun di tangan. Tepat saat kaki kiriku mendarat mulus di jalanan beraspal, ponselku berdering. Kulihat nama yang tak asing lagi.
"Kamu di mana?" tanya Rubi di ujung telepon.
"Masih tugas. Planet yang barusan gagal. Meluncur ke Saturnus, ya,"jawabku seraya melambaikan tangan untuk menyetop bus Patas AC jurusan Kampung Rambutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUANG BAWAH TANAH
General FictionKumpulan kisah dua tokoh, Rubi dan Hanah, tentang hal-hal yang mungkin terkadang tak muncul di permukaan, ataupun tabu untuk dituliskan. Hanya ketika berada di ruang bawah tanah, keduanya bebas menuliskan dan menceritakan apa saja yang mengganggu ra...