PIMPINAN BERBUDI

28 7 6
                                    



"Kita harus mempunyai jiwa yang bersih. Hati yang murni. Lingkungan yang jauh dari korupsi. Menjadi insan yang bermartabat dan berhati mulia. Jangan pernah membawa uang haram dan memberikannya kepada keluarga kita. Itu sama saja membiarkan anak-anak kita tumbuh dari hasil yang haram. Untuk itu, mari Bapak dan Ibu kita sama-sama membersihkan diri, memurnikan lingkungan kita dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Semoga program-program yang kita jalankan dapat berhasil serta memperoleh keberkahan." Demikian pidato sambutan Pak Budi pada acara "Seminar Anak Bangsa Anti Korupsi" yang digelar instansinya.

Hanah menyimak pidato yang disampaikan pimpinannya. Sore ini peserta seminar terbilang cukup banyak. Undangan yang disebar sebanyak 300 orang, sudah memadati aula gedung yang disewa untuk lima jam ini. Sebagai karyawan yang ditugaskan membantu Pak Budi, Hanah bertanggung jawab untuk memastikan segala urusan berjalan lancar. Mulai dari dekorasi, pembicara pendamping, dokumentasi, hingga urusan konsumsi. Tugas yang tumpang tindih sudah terbiasa dijalankan Hanah sebagai sekretaris Pak Budi. Ponselnya harus aktif 24 jam tujuh hari non-stop. Bukan hal baru jika Pak Budi akan meneleponnya di Sabtu pagi yang mendung, saat hujan turun yang seharusnya hanya dapat dirasakan nikmatnya dengan bermalasan di kasur dan menarik selimut kembali. Tidak ada hari libur bagi Pak Budi jika dianggapnya ada hal yang mendesak dan segera menelepon Hanah—bahkan saat Hanah merasa itu adalah waktu "me time"- nya dengan novel kesayangan dan secangkir kopi. Pak Budi yang terkenal workaholic tak peduli akan hal itu.

Segudang prestasi telah ditorehkan pimpinan Hanah yang memililki nama lengkap "Budi Baik Anugrah" ini. Tentu saja hal ini berimbas dengan sederatan gelar dan apresiasi tersemat dalam namanya. Lemari kaca yang berisi piala, plakat, dan piagam penghargaan dari berbagai instasi, ataupun lembaga nirlaba, seolah telah berdesakan meminta tempatnya yang makin hari makin terasa sesak. Tampaknya, kebutuhan inventaris untuk benda yang satu ini perlu diajukan penambahan pengadaannya lagi.

"Pak, maaf, apakah saya boleh mengajukan proposal penambahan pengadaan lemari kaca ke bagian inventaris? Sebab piala Bapak makin banyak. Hampir tidak muat," ucap Hanah seraya menyerahkan selembar kertas yang memerlukan persetujuan dan tanda tangan atasannya ini.

"Oh, tentu saja boleh, Han. Kamu memang jeli. Memang lemari ini perlu ditambah lagi. Piala dan plakat penghargaan yang saya peroleh makin berebutan tempat," kekeh Pak Budi sumringah. "Belum lagi, bulan depan akan ada supervisi pimpinan terbaik se-Jawa Barat. Tentu akan menambah jumlah piala saya," sahut Pak Budi yakin.

Supervisi yang disebutkan Pak Budi memang masih bulan depan, tetapi dari tahun ke tahun, hanya nama Pak Budi yang selalu terdengar melalui mikrofon yang mengumumkan kandidat terbaik. Seolah piala-piala tersebut adalah sebuah eigendom bagi Pak Budi. Peserta lainnya? Duduk manis dan bertepuk tangan saja seraya terus mengamini kesuksesan Pak Budi. Sebagai sekretaris yang telah mengabdi selama satu dasawarsa, Hanah hafal betul apa saja yang perlu dilakukannya.

***

Matahari tampaknya enggan untuk meredup barang sekejap. Bulir-bulir bening seukuran biji jagung berjatuhan di pelipis Pak Budi. Sapu tangan segi empat yang tak pernah lupa dibawanya, basah hingga hampir bisa diperas. Melihat hal itu, Hanah dengan sigap memberikan botol yang berisi infuse water yang sudah disiapkannya sejak pagi tadi. Sudah menjadi keseharian Hanah untuk menyiapkan minuman kesukaan ayah dari dua anak itu. Hari ini paduan semangka dan kurma menjadi bahan dasar minumannya. Kemarin buah nanas dan daun mint yang memberikan kesegaran bagi Pak Budi. Setiap pekan, Hanah harus memutar otak untuk meramu buah dan sayuran yang akan disuguhkan untuk minuman laki-laki tinggi besar berkulit sawo matang tersebut. Perfeksionis. Itulah gelar yang tersemat di benak Hanah untuk Pak Budi.

"Selamat siang, Mbak Hanah. Kami dari Yayasan Empat Musim yang bergerak di bidang jasa, ingin bertemu Pak Budi." Hanah terkejut ketika ada dua orang sudah berdiri di depan mejanya. Mengapa pihak resepsionis tak memberitahunya terlebih dahulu. Ini sudah menyalahi prosedur penerimaan tamu.

"Han, tamunya suruh masuk saja," pinta pak Budi yang tiba-tiba bersuara melalui saluran interkom. Ah, ternyata ini tamu Bapak. Pantas saja langsung masuk tanpa aba-aba dari resepsionis. Hanah mempersilakan kedua orang tersebut masuk ke ruangan Pak Budi. Kehadiran keduanya membuat distraksi sejenak terhadap tugas listing daftar tamu yang akan menghadiri acara peluncuran buku Pak Budi dua pekan lagi.

Terdengar sayup-sayup suara tertawa dari arah dalam. Pak Budi terkekeh dengan nada yang sudah Hanah kenal. Ini pertanda bos-nya yang terkenal suka melintingkan kumis, sedang bahagia. Office boy yang bertugas hari ini, memasuki ruangan Pak Budi dengan membawa tiga cangkir teh lengkap dengan kudapannya.

"Anda jangan sembarangan. Saya sudah peringatkan Anda." Suara Pak Budi tiba-tiba terdengar meninggi. Office Boy yang baru saja masuk, segera bergegas keluar dengan air muka ketakutan.

"Iya, Pak. Maksud kami... ." Suara lawan bicaranya terdenger sayup. Hanah tak mendengar jelas kalimat yang diucapkan orang tersebut. Seketika interkom yang bertengger di atas mejanya, berdering. Pak Budi memerintahkannya untuk memanggil petugas keamanan kantor. Entah apa yang terjadi barusan.

Sebelum petugas keamanan tiba di ruangan, kedua tamu tersebut sudah keluar hendak meninggalkan ruangan yang baru saja tersiram bensin dan jilatan api. Apa yang dilakukan mereka sehingga membuat Bapak marah?

***

Peserta launching dan bedah buku karya Pak Budi yang berjudul "Generasi Anti Korupsi" dihadiri para pejabat daerah. Bapak Gubernur hadir memberikan sambutan dan apresiasi atas buah pikiran Pak Budi yang berhasil dituangkan dalam buku setebal 250 halaman. Tema korupsi seolah sudah akrab dengan nama Pak Budi. Menurutnya, tema seperti inilah yang seharusnya menjadi perhatian banyak pihak. Semua elemen masyarakat turut andil dalam pemberantasan "penyakit" yang sebenarnya menjadi bahaya laten bagi perkembangan sebuah peradaban.

Pungli-pungli yang bertebaran di banyak tempat, membuat permasalahan ini alot untuk diberantas. Lagi-lagi, dengan gaya karimastiknya, Pak Budi mampu menyedot konsentrasi para undangan pada acara ini.

"Inilah alasan saya mengapa saya harus menuliskan buku tentang anti korupsi. Semoga dengan hadirnya buku ini, kita sama-sama dapat menjalankan misi mulia. Memberantas KKN, Mark Up, pungli, apapun bentuknya. Jadikan negara ini lebih bersih dan bermartabat. Terima kasih atas dukungan dan kehadiran Anda semua." Suara bas Pak Budi menggema mengaliri seluruh sudut aula. Riuh rendah tepuk tangan para hadirin yang terpukau, membuat suasana aula semakin memancarkan semangat. Pak Budi dengan elegan menuruni anak tangga panggung. Beberapa awak media yang sengaja diundang melemparkan sinar blitz kamera yang membuat wajah Pak Budi makin bercahaya. Bermandikan jepretan kamera dan pertanyaan yang dilontarkan wartawan, Pak Budi bak aktor Hollywood kenamaan yang singgah di negeri terpadat di muka bumi. Hanah bersiap untuk menyambut pimpinannya di akhir karpet merah. Tampak di sebelah Pak Budi, dua orang tamu yang pernah datang ke ruangannya beberapa waktu lalu.

"Han, setelah ini masih ada jadwal apa?" tanya Pak Budi yang diikuti gerakan Hanah membuka gawai untuk mengecek jadwal. Sambil menuju area parkir, Pak Budi dan kedua tamu tersebut berbincang. Sopir pribadi dengan sigap membukakan pintu untuk Pak Budi. Hanah berjalan berada di belakang ketiganya. Setiba di depan mobil, salah satu di antara kedua tamu tersebut menjabat tangan pimpinanya.

"Terima kasih banyak, Pak, atas bantuannya. Tanpa bantuan Bapak, saya tak mungkin bisa mendapatkan jabatan yang saya idamkan sejak dulu. Sekali lagi, terima kasih, Pak," ucapnya seraya memberikan bingkisan dalam kotak kecil di tangan Pak Budi. Sebuah kunci Mercedez Benz Seri E terbaru mulus mendarat di tangan pejabat, penulis, sekaligus atasan Hanah yang giat menggembar-gemborkan gerakan anti korupsi.

Pak Budi terkekeh dan membalas ucapan terima kasih mereka. "Han, saya besok tidak datang ke kantor ya. Istri saya ingin ditemani ke mall seperti biasa. Masih pukul dua siang. Saya pulang dulu, istirahat. Nanti mendekati jam kepulangan kantor, saya kembali lagi untuk absen sidik jari. Kwitansi yang kemarin jangan lupa diubah nominalnya ya, Han. Sebelum masuk di kas negara, kamu rapikan dulu. Jangan sampai ada yang tahu. Apalagi masalah Mercedez tadi, ya." Inilah Pak Budi yang aku kenal. Bukan di panggung, juga bukan di buku.

RUANG BAWAH TANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang