Lahan Parkir di Gang Senggol

2 0 0
                                    


"Aduh." Terdengar teriakan seorang perempuan. Hanah memutuskan keluar kedai dan mencari sumber suara yang seperti dikenalnya. Benar saja, di radius beberapa meter, Nyak Saudah terjatuh dari sepeda motor yang dikemudikan Rubi. Barang belanjaan yang dipangku sejak tadi, berceceran di jalan. Wortel, salak, dan sayur-mayur semuanya tumpah ruah di jalan beraspal itu.

"Huh, gara-gara si pemilik mobil ini. Punya mobil berjejer lima tapi enggak punya garasi. Bikin sempit jalan. Kalau mau punya mobil, harus punya garasi dulu. Jangan pakai jalan umum," cerocos Nyak Saudah sambil mengambil satu per satu barang yang jatuh.

"Sudah, Nyak. Tak perlu mengumpat dan mengomel," saran Rubi sambil tersenyum dan memasukan wortel-wortel yang jatuh ke dalam plastik kresek.

Melihat pemandangan itu, Hanah tersenyum. Apa yang dikatakan Nyak Saudah memang ada benarnya. Belakangan, jalan di sekitar rumah mereka semakin sempit. Beberapa tetangga yang mampu membeli mobil, memarkirkan kendaraannya di sisi jalan. Alhasil, jalan yang hanya dapat dilalui satu buah mobil, makin sempit. Gang Senggol. Begitu warga di sana menyebutnya. Terlebih jika pedagang sayur yang mengendarai sepeda motor dan memodifikasi keranjang di kanan kirinya, hampir dapat dipastikan tak akan bisa melewatinya. Tak hanya pedagang sayur, Nyak Saudah pun kerap merasa terganggu. Wanita paruh baya yang sudah menjadi tetangga mereka puluhan tahun ini, sering mengomel akibat sempitnya jalan.

Bukankah termasuk hal yang dianggap zalim karena mengganggu pengguna jalan lain, mengingat jalan tersebut adalah jalan umum. Bukankah termasuk salah satu cabang keimanan agar kita menyingkirkan rintangan atau gangguan di jalan, bukan malah menghambatnya. Entahlah. Hanah kembali masuk ke kedai setelah memastikan Rubi dan Nyak Saudah tak memerlukan bantuannya.

RUANG BAWAH TANAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang