Part 2 |Ananta Anindira|

53 27 2
                                    

*teng tong
*teng tong

"Permisi!!" Aku menekan bel itu berkali-kali, sesekali mengintip lewat jendela, namun tertutup oleh gorden. "Pak, permisi, saya Ara." Tegasku berdiri dengan lantang di depan pintu. "Eh, bodo pisan, eta yang punya rumah ndak tau saya siapa, malah sebut nama. Reuwas pisan." ucapku dalam hati.

   Akhirnya pintu itu dibukakan oleh wanita paruh baya. Sepertinya pekerja disini. "Eh, mba, ada apa ya? Maaf saya tadi dari dapur, jadi ga kedengeran." Ucap wanita itu sambil tersenyum. "Iya mba, saya dari Panti Asuhan Mawardhiyah, ingin bertemu dengan Pak Fauzan." Jelasku. "Maaf, Pak Fauzan sedang tidak ada di rumah. Mba silahkan duduk di dalam, biar saya panggilkan anaknya."
   Kami pun masuk di dahului wanita itu. Dia mempersilakan aku duduk di sofa yang begitu empuk. Maa syaa Allah, luas sekali rumahnya belum lagi dilengkapi dengan furniture yang sepertinya mahal harganya. Aku menyukai tatanan buku di sudut sana, seperti elegan tampaknya. Mataku berkeliling. Suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga. Mataku membesar seperti ingin keluar dari tempatnya, sesegera mungkin aku menunduk dan memejamkan mata. Iya, itu lelaki yang di panti tadi.

"Ya, ada perlu apa?" Singkatnya.

"Iya Pak, saya disuruh Bu Sarah untuk memberi dokumen ini kepada Pak Fauzan." Ucapku.

"Eh kamu yang tadi kan? Yang.... " secepatnya ku potong pembicaraan lelaki ini karena aku merasa malu dan sangat malu atas kejadian di panti. "Iya Pak, saya yang tadi. Maaf Pak atas kelalaian saya, maaf banget." ucapku.

"Iya, gapapa. Saya dengar tadi kamu ingin memberi dokumen kan? Dokumen apa? Bisa saya lihat?" Aku memberi dokumen itu lantas lelaki ini duduk dan membacanya. "Siall!!!!" Bentaknya seraya memukul meja dengan dokumen itu. Aku terkejut dan refleks mengucap istighfar. "Ada apa Pak?" Tanyaku. "Tidak ada apa-apa." Nafasnya memburu.

"Bik, bibik!!! Tolong buatkan teh!" Teriak lelaki ini sehingga suaranya menggema. Memang, karena pengaruh rumah nya yang gede, terlebih lorong yang begitu luas.

"Gausah Pak, saya cuman nganter dokumen itu, lagian saya mau pulang sesudah ini."

***

   Saat minuman diberikan wanita itu, lelaki ini mempersilakan untuk diminum. "Eh ayo diminum. Silahkan." Aku pun mengangguk pelan.

"Kita seperti nya sudah bertemu sampai ketiga kalinya. Siapa nama kamu?"

"Iya Pak, hehehe. Nama saya Ananta Anindira, biasa kalo di panggil Ara."

"Oke, terimakasih. Ga nanya balik nih?" Ucapnya dengan memberi tawa. "Eh, iya. Silahkan Pak kalau berkenan."

"Faisal Haidar, kamu gausah panggil saya Pak. Panggil aja Isal. Karena sepertinya kita sebaya. Saya 26 kalau kamu?" Tanyanya. "24 Pak, eh iya 24."

" Ara, kamu mau berkerja sama dengan saya?" Tanyanya. Aku mengerutkan kening dan sedikit kebingungan. "Kerja sama apa Pak?"

   Tiba-tiba nada dering handphone di saku Pak Faisal berbunyi. "Assalamualaikum, iya Pah? Hehe iya, ini udah dateng. Oh, Papa udah jalan pulang? Kirain masih di Bandara, biar nanti Isal jemput. Iya, semenjak putus sama Salsa, ya Isal udah lumayan sih. Yaudah, hati-hati Pah. Waalaikumussalam." Menutup pembicaraan melalui handphone, Pak Faisal kembali duduk.
   20 menit berlalu, ketukan pintu dari luar terdengar. Sepertinya itu Ayahnya Pak Faisal. Langsung Pak Faisal beranjak dan berjalan ke arah Ayahnya. Menenteng tas dan menyalim tangan Ayahnya. Saat pandangan Ayahnya beralih ke sini, aku langsung menundukkan pandangan.

"Kamu ya? Maa syaa Allah cantik sekali. Ibunya Faisal masih ada urusan diluar, sayang sekali ga bisa lihat calonnya secantik ini." Ayahnya Pak Faisal menggeleng-gelengkan kepala dan terpampang senyum di wajahnya. Aku tersenyum kebingungan. Masih heran dengan ini semua. Pak Faisal pun datang dan meminta izin untuk berbicara 4 mata denganku di luar. "Pa, sebentar. Ical mau bicara sama Ara diluar. Tadi Ical udah suruh Bibi buatin teh." Pak Faisal memegang tangan kananku dan mengarah ke luar rumah.

"Maaf Ara sebelumnya. Mungkin kamu masih kebingungan dengan ini semua. Sebenarnya kamu saya ajak kerja sama tentang ini. Kamu pura-pura menjadi calon saya. Mau?" Aku merapatkan bibir dan menggeleng-gelang dengan pernyataan Pak Faisal. "Maaf Pak, saya tidak bisa. Saya mau pulang, permisi." Saat ingin berbalik badan, Pak Faisal mencegahku dan mengatupkan kedua tangannya. "Mohon, saya butuh bantuan kamu. Kali ini saja, kamu pura-pura mengiyakan segala apa yang saya sampaikan nanti. Ah begini, selepas ini, nanti akan saya jelaskan maksud saya sebenarnya. Mau ya? Saya mohon Ara."
  
   Entah mengapa, aku mengangguk setuju dengan permintaan Pak Faisal. Dia pun berterima kasih kepadaku dan menyuruhku untuk masuk ke dalam rumah. "Pah, maaf lama." Ucapnya.

"Iya gapapa. Sini-sini duduk." Dengan posisi Pak Faisal duduk disampingku dan Ayahnya yang duduk di ujung, jantungku masih berdegup kencang. Ya Allah, permudahkan lah urusanku.
"Naha kuring ngan nyebutkeun enya? Bodoh banget. Tau gini langsung pulang tadi. Dasar maneh, Ara."

"Begini Pah, ini namanya Ananta Anindira, biasa dipanggil Ara. Kami udah lama kenalan. Kira-kira 4 bulan lamanya. Isal pun udah mantap dengan ini semua. Tapi masih butuh waktu Pah, jangan secepatnya." Jelas Pak Faisal kepada Ayahnya.

"Oh, gitu, yaudah gapapa. Ara, kamu asalnya darimana Nak?" Tanya Ayahnya Pak Faisal. "Dari panti Mawardhiyah, Pak." Beliau terkejut dan mulutnya menganga. "Loh, itukan panti saya. Hahaha bener kata pepatah, ikan di laut, sayur di pasar ketemunya di warteg." Pak Fauzan tertawa begitupun Bibi yang datang dengan membawakan cemilan ringan. "Yah ternyata mba calonnya Mas Faisal. Kalau begitu cocok atuh. Mbanya juga cakep, buru atuh Mas kapan anunya. Masang cincin hehehe."

***

Assalamualaikum, terimakasih sudah mau membaca. Jadikan Alquran sebagai panduan dan pedoman untuk dibaca terlebih prioritas. Adapun kesalahan kata dan lain-lainnya, saya meminta maaf, dan akan diperbaiki. Baiknya teman-teman mau meninggalkan vote dan komentar apapun itu, baik kritik saran dan harapan, agar karya tulis saya dapat berkembang, terimakasih, matur nuwun.



Ananta AnindiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang