Part 7 |Ananta Anindira|

62 18 3
                                    

"Ara!!! Sebentar. Kamu mengenakan hadiah yang saya beri ya? Maa syaa Allah, cantik."
   Kalimat itu selalu menghantui ku. Terlebih saat aku bercermin. "Ya emang bagus sih jilbab yang dikasih Pak Faisal." Gumamku pelan saat meraba sekitar kainnya. Tapi tentang wanita yang semalam itu, jauh membuat ku kepikiran terus. Apalagi acara pernikahan itu. Iya, aku menjadi calon istri dadakan Pak Faisal. Ingin sekali rasanya memutar waktu untuk menolak perintah Bi Nurul. "Kamu bodoh Ara, ngapain juga mauan." Ucapku dalam hati. Seperti ada dua karakter dalam diri, yang satu menolak dan yang satu berkata, "bagaimana dengan Panti Asuhan?". Huffttt sebal.

   Aku membuka dan menutup handphone. Berulangkali melakukannya tanpa sebab. Tidak, aku ingin mengirim pesan kepada Pak Faisal, namun rasa canggung selalu hadir di tengah-tengah keadaan genting.

Faisal
Assalamualaikum Ara. Maaf mengganggu waktu kamu, saya ingin kamu datang di cafe kemarin, kita berbicara tentang hal yang saat ini kamu pertanyakan.

Ara
Waalaikumussalam, baik Pak. In syaa Allah saya datang.

  
***

   Aku datang menemui Pak Faisal, tepatnya cafe yang kemarin kami kunjungi. Dari kejauhan tampak Pak Faisal duduk bermain dengan gadget. Perawakan Pak Faisal memang keren. Punya kumis tipis di sekitar atas bibir, hidung yang mancung, terlebih saat mengenakan jas, lebih berwibawa. Tapi Pak Faisal saat ini memakai kaos putih polos ditutupi jaket yang dimana kancingnya dibiarkan terbuka dan celana jeans. Tidak, aku bukan berarti suka kepada Pak Faisal, namun mendeskripsikan bagaimana seorang lelaki yang tidak kukenal, menjadikan ku calon istri dadakannya. Tidak lain aku menurutinya karena Panti Asuhan Mawardhiyah.

*Klining klining (suara lonceng di atas pintu cafe akan berbunyi kalau ada orang yang masuk.)

   Sebenarnya aku canggung jika memanggil Pak Faisal dengan sebutan Faisal atau Mas Faisal. Aku tersenyum jika memanggil dia dengan sebutan Mas Faisal. Aku benar-benar canggung semalam saat mengatakan "Mas Faisal." Ah, sudahlah, lagian dia menginginkan sebutan nama, tanpa diawali dengan Pak. Umurnya juga tidak terlalu tua untuk ku sebut Pak, beda dua tahun saja.
   Pak Faisal menoleh ke arahku. Matanya tidak tertuju padaku, tapi seolah-olah melihatku. Iya, posisinya Pak Faisal membelakangi pintu cafe. Sesaat itu, dia memanggil waiter kembali dan memesan beberapa makanan serta minuman. Aku segera berlari dan menyuruh waiter itu untuk tidak membuat pesanan ku, karena dari rumah perutku sudah ku ganjal dengan sepotong roti dan teh manis. "Mba, mba!!! Punya saya gausah ya, punya Mas ini aja." Waiter itu pun mengangguk. Aku duduk dan tertunduk melihat lantai. "Ekhm, maaf Ara, pesanan itu buat saya seorang." Betapa malunya aku mendengar perkataan Pak Faisal. Segera ku tutup rapat mukutku dan berkata dalam hati, "bodo. Ara sok-sokan nolak, padahal Pak Faisal ga nawarin kamu."

"Oke, kali ini kamu ingin bertanya soal apa?" Ujar Pak Faisal.

"Begini Pak, saya....." Belum sempat ngomong, perkataan ku di potong Pak Faisal.

"Eh Ara, saya sudah bilang. Panggil saya Faisal saja, jangan Pak. Tadi saya denger kamu manggil saya dengan Mas. Itu aja." Ucapnya tertawa kecil.

"Iya Mas. Gini, tolong jelaskan ulang masalah Panti. Kedua, siapa wanita yang pernah Mas bawa kedalam mobil, dan yang ketiga, kenapa Mas Faisal tidak mencari wanita lain saat itu untuk dijadikan calon istri dadakan?"

"Hahaha oke-oke. Kaya wartawan, ya. Banyak pertanyaanya, tapi gapapa. Saya bilang di awal, kalau pernikahan menyangkut tentang panti asuhan. Saat itu saya mendadak bingung siapa yang harus jadi pasangan saya, apalagi Salsa, orang tua saya ga suka sama dia. Eemmm sebentar, saya mau ke toilet." Mas Faisal pergi ke toilet dan meninggalkan handphone miliknya di atas meja.

Ananta AnindiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang