CHAPTER 01: First Meet

71 14 0
                                    

Kembali ke satu tahun sebelumnya, dimana Stella Audrey Wijaya yang kerap di sapa Stella atau Lala memulai masa ospeknya. Perempuan berambut panjang yang di kepang dua dan berstatus mahasiswi baru di salah satu kampus negeri di daerah Bandung, berkali-kali menghela nafasnya. Dengan baju kemeja putih panjang serta bawahan rok yang panjangnya hingga betis itu menggigit bibirnya gugup, menatap jam di tangannya yang jarum panjangnya sudah menunjukkan angka 8. Dimana dia sudah telat untuk pergi ke kampus.

Sebenarnya tidak telat malah bisa di bilang sangat awal, namun karna jarak kampus dan rumahnya yang lumayan jauh, akan memakan waktu lama baginya. Sekarang bahkan masih subuh, baru pukul 5 lebih 35 menit. Tapi ia harus berpikir bagaimana caranya agar bisa sampai di kampus sebelum pukul setengah tujuh.

Angkutan umum yang biasa seperti bus atau angkot saja belum beroperasi. Order ojek online adalah satu-satunya cara, tapi sampai saat ini tidak ada yang mengambil orderannya.

"Ini mamang ojol mau dapet uang gak sih sebenernya!?" Ia mengumpat pelan sembari berpikir lama.

Jalanan masih sepi, meskipun ia berada di depan jalan raya atau lebih tepatnya di halte bus depan kompleksnya. Inginnya sih perempuan itu kembali ke rumah dan membangunkan sang Papa yang masih tertidur pulas, tapi rasanya terlalu malas hanya untuk sekedar berjalan kembali ke rumahnya. Oh ayolah, jarak rumahnya dan halte bus di depan komplek itu lumayan jauh, hampir 1 km. Bisa gila ia di buatnya jika kembali lagi ke rumahnya itu.

Sedikitnya, Stella menyesal karna tak mengindahkan ajakan teman satu kelasnya saat SMA yang juga satu kampus dengannya itu untuk ngekos di kos-kosan dekat kampus. Di bayangannya, jarak rumahnya dan kampus hanya 22 km, tentu saja itu tak seberapa, naik gojek saja sudah cukup kok. Dari pada buang-buang uang untuk ngekos kan, padahal dekat. Tapi lihat sekarang, Stella bahkan ingin menangis saking tidak tahu harus bagaimana.

Ya Allah... Tolong kirimkan malaikat penolong untuknya. Setidaknya, yang bisa di boncengi atau menawarkan bantuan padanya. Meskipun itu mantan pacarnya sekalipun, tak apa deh.

Tak menyerah, perempuan yang bahkan belum genap berumur 18 tahun itu masih terus mencoba memanfaatkan aplikasi ojek online meskipun hasilnya akan sama, sia-sia. Lagian ojol mana yang mau mengantarkan di saat matahari saja belum terbit begini, sih??????

Matanya sudah berkaca-kaca, pilihan terakhir memang tak lain adalah kembali ke rumah dan memaksa entah sang Mama yang sudah repot masak di dapur atau sang Papa yang masih tertidur pulas untuk mengantarnya pergi ke kampus. Risiko sekali anak sulung sepertinya, adiknya bahkan masih duduk di bangku sekolah dasar, mana bisa ia babui untuk sekedar mengantarkannya pergi kemana-mana, ke kampus sekalipun.

KENAPA MAMA ATAU PAPANYA TIDAK MENGIJINKAN KALAU IA MENYETIR MOTOR SIH?

Stella kan iri pada teman-temannya yang kalau apa-apa selalu membawa motornya sendiri. Sejak kejadian ia yang tak sengaja menabrak mobil sampai ganti rugi, kedua orangtuanya melarang keras dirinya untuk menyetir motor. Padahal Stella sudah jelas-jelas memberi tahu bahwa mobil itu yang salah. Ingin belok tak pasang sen, ia yang kebetulan menyetir lurus jadi kaget dan oleng.

Ia kalah suara karna ternyata yang menyetir itu salah satu anggota polisi, aduh. Entahlah kalau mengingat kejadian itu lagi, ia rasanya ingin menangis saja.

Stella sudah mau nangis, ngomong-ngomong.

Perempuan itu ingat sudah sholat subuh tadi, masa doanya belum di kabulkan ya? Ah benar juga, dia kan bukan anak sholeh seperti Hanna, gadis pendiam di kompleknya dan rajin mengaji itu.

Sampai akhirnya satu motor besar- entahlah itu merk atau jenis apa yang jelas motornya memiliki style khusus laki-laki, di tambah satu laki-laki yang mengendarainya, menepi dan berhenti di halte bus, tepatnya di hadapannya langsung.

Tanpa repot turun, ia membuka kaca helm yang menutupi seluruh wajahnya, hanya tersisa mata yang sedikit runcing dan tajam, melirik Stella yang sebenarnya cukup menyedihkan tapi ekspresinya bingung. Kontras dengan matanya yang berkaca-kaca, ingin menangis.

"Lo anak hybe?" tanya laki-laki itu.

Mengangguk-angguk kecil menjawab pertanyaan si laki-laki, "Bareng gue aja, kebetulan gue juga mau ke sana." Laki-laki itu menatap Stella yang masih diam tak bergeming.

"Ya Allah cepet banget malaikat penolong datengnya. Ini rezeki karna tadi pagi sholat subuh apa ya," ceplos Stella membuat laki-laki yang masih terduduk di motor mengangkat alisnya tinggi.

"Lo kalo masih mau bengong gitu gue tinggal,"

Dengan kelabakan, perempuan yang di kepang dua itu dengan cepat berjalan panik. Perlahan menaiki motor besar itu, sebelumnya sempat meminta izin untuk memegang pundak laki-laki di depannya untuk membantunya naik keatas motor. Hanya anggukkan singkat yang ia dapat. Tak apalah, mungkin laki-laki itu tipe yang tak banyak omong di depan orang baru.

Sepanjang perjalanan, keduanya tak ada niatan untuk membuka suara, sekedar mengobrol basa-basi. Stella yang tak tau ingin berbicara apa, ia cukup pemalu, omong-omong. Dan laki-laki itu sepertinya juga tipe yang pendiam. Susah di dekati, sepertinya.

Perjalanannya lumayan memakan waktu yang cukup lama, hampir 30 menit lamanya. Tapi karna mengebut- Stella tak tau harus bicara apa mengenai ini pokoknya perempuan itu di buat hampir menangis karna cara menyetir laki-laki yang baik hati menawarkannya tumpangannya itu cukup cepat. Jalan di daerah Bandung tentu saja tidak sepi, banyak sekali motor atau mobil yang berlalu-lalang meskipun masih subuh seperti ini, di tambah banyak lampu merah dan jalan yang cukup berkelok-kelok, kalau boleh jujur Stella mau muntah.

Tapi tak apa, ia jadi datang ke kampus lebih pagi dari mahasiswi lain.

Sampai di parkiran kampus, Stella turun dari motor besar itu. Menunggu si pemilik motor sekedar membuka helmnya. Di sisi lain ia juga merogoh tas ransel berwarna putih gading miliknya, ingat kalau tadi malam sempat menaruh satu kotak milo ke dalamnya.

"Makasih atas tumpangannya, maaf banget ya udah ngerepotin. Sebagai gantinya tolong terima ini,"

Stella menyerahkan satu kotak milo itu ke hadapan laki-laki yang membantunya tadi. Memakai masker berwarna hitam, kontras dengan kulit putihnya juga rambut hitam tebalnya.

"Makasih ya sekali lagi heheh. Bye!" Stella melambai kecil kemudian berlari-lari kesetanan menuju tempat yang sempat di infokan melalui grup angkatannya.

Meninggalkan si laki-laki yang tengah menatap aneh kepergiannya dengan satu susu cokelat berkemasan hijau di tangannya. Ah, lumayan juga mengganjal rasa laparnya.

Saat hendak pergi dari wilayah parkiran, matanya tak sengaja melihat satu gantungan dan satu pulpen berbentuk wortel tergeletak tak jauh dari kakinya. Mulutnya berdecak, mau tak mau mengambil kedua benda yang ia yakini milik Stella tadi.

"Nyusahin banget."

iridescent; lee dinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang