Prolog

60 12 2
                                    


The Journal Of Rangers

— T H E A T R I C A —

Jakarta, Januari 2020.

Sorak sorai pergantian tahun telah usai. Namun, gemerlap kembang api masih mewarnai langit Jakarta.

Reuni Akbar yang diadakan Universitas Buana Megantara berlangsung mulai petang hingga malam. Raut wajah bahagia terpancar dari mereka yang mengaku sebagai mantan mahasiswa. Begitupun dengan kelima sahabat yang kini tak lagi remaja.

Sejenak, perasaan rindu menyeruak ke dalam hati mereka saat menyusuri setiap sudut gedung kampus. Ada banyak kenangan menyusup tanpa perlu izin pemiliknya.

Alunan musik bertema nostalgia memenuhi rungu para tamu undangan yang berdatangan. Gedung Serba Guna kampus didesain sedemikian indah yang dipenuhi bunga-bunga cantik dan dekorasi bernuansa ungu muda.

Ada begitu banyak perasaan yang sulit dideskripsikan dengan kata-kata.

Tak jauh dari pintu masuk, Inu terlihat ragu-ragu. Matanya memandang sekeliling.
Ke mana Rendy? Bukannya sudah janji akan bertemu di pintu masuk sebelah selatan?

"Inu, sendirian aja? Pacarnya mana, kok nggak dibawa?"

Entah siapa yang bertanya sambil menyalaminya, Inu hanya bisa meringis. Percuma saja dijawab karena si penanya sudah berlalu sambil tertawa. Menyebalkan.

Sementara itu, Bagus baru saja memasuki gedung. Jas hitam yang dia pakai membuatnya terlihat berwibawa meski tidak formal. Di sampingnya ada sosok gadis mungil yang dulu hanya lewat di kisah masa kuliahnya, Hayun.

"Hei, Gus. Sama Hayun sekarang? Sukanya sama siapa, gandengannya sama siapa!" Bagus hanya tersenyum kikuk, lalu ia melirik Hayun. Merasa lega karena Hayun masih dengan senyum manisnya.

Lagian itu sudah menjadi masa lalu, walau sebenarnya kisah dan rasa itu masih tertinggal di dasar hatinya. Tetapi, Bagus bisa apa? Cerita hidupnya tidak sesuai dengan kehendaknya.

Selang lima belas menit kemudian, Rendy tiba. Ia melirik jam di pergelangan tangan. Sudah dipastikan ia terlambat. Ada hal tak terduga yang terjadi dan mengharuskannya tak menepati janji dengan Inu.

"Rendy, naik apa ke sini? Masih nggak ada yang diboncengi?"

Rendy hanya menjawab dengan senyuman sambil jalan menjauh. Banyak wajah-wajah yang terasa asing menurutnya. Terutama untuk para gadis yang tak lagi belia. Polesan make up tebal, gaya rambut yang berubah serta dress yang terkesan mewah. Seolah-olah reuni dijadikan ajang untuk saling berlomba. Memamerkan seberapa besar kesuksesan yang didapat dan pundi-pundi rupiah yang diterima.

Sementara itu di pintu masuk yang berbeda,  Anye melangkahkan kaki dengan anggun. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling sudut gedung, berharap ada yang dikenalnya. Entakan sepatu hak tinggi yang seolah seirama dengan alunan musik membuatnya jadi pusat perhatian.

Sebuah suara tiba-tiba mengintervensi langkahnya, "Anye, apa kabar?"

Anye yang disapa dadakan hanya bisa tersenyum dan menjawab singkat. Kakinya hendak melangkah kembali, tetapi gadis di depannya kembali berkata, "Calon udah ada, kan, Nye? Karier udah bersinar juga. Terus, kapan kamu nikahnya? Jangan lupa undang aku, ya!"

Beberapa pertanyaan yang sama terus terlontar. Seakan tak ada habisnya, Anye tampak lelah karena harus berbasa basi menjawab pertanyaan yang ujung-ujungnya bermaksud memanfaatkan dirinya. Seperti, ingin menjadi partner bisnis. Ingin bekerja di perusahaannya dan juga ... ingin dikenalkan pada pengusaha-pengusaha muda yang lajang juga tampan. 

Berbanding terbalik dengan Anye, Alya  memilih menghindari kerumunan dan menyibukan diri dengan ponsel yang hampir kehabisan daya. Ada rasa khawatir bercampur malu yang masih menyerang hatinya. Nyatanya, sesukses apa pun ia sekarang, kepercayaan diri itu tetap tidak ada.

“Ya ampun, Alya. Beneran Alya, ‘kan?”

Alya hanya mengangguk kikuk. Disimpannya ponsel di tas. Lalu meraih mocktail yang dibawa pelayan di depannya.

“Berlian, nih? Seriusan?” celetuk Risa saat melihat cincin yang melingkari jari manis Alya.

“Lo udah nikah? Atau tunangan? Lo kerja di mana sekarang? Ini tas juga brandeed, ‘kan?” Risa meraih lengan Alya tanpa persetujuan. Tentu saja, Alya tak suka. Raut wajahnya seketika masam lalu kembali semringah saat melihat Anye dari kejauhan.

“Sori, gue ke situ dulu.”  Seakan mendapat kebebasan, Alya menghirup udara sebanyak mungkin. Melangkah tenang untuk menetralisir khawatir. Mengabaikan sapaan-sapaan yang menghampirinya karena ia tahu, di balik sapaan manis ada obrolan dan tawa yang pernah membuat hatinya menangis.

Selang beberapa meter dari Anye, matanya mendapati Inu juga mendekat dari sudut lain. Langkah Alya spontan terhenti. Ia menggigit bibir. Mengurungkan niat untuk menyapa Anye. Namun, belum sempat ia berbalik, lengannya sudah kembali ditarik.

Bagus tersenyum tepat di hadapannya. Rendy juga melakukan hal yang sama.

“Jangan kabur-kaburan lagi. Enggak capek kabur terus?” tanya Bagus. Alya tertunduk malu.

“Apa kabar, Alya. Aku senang bisa ketemu kamu lagi.” Rendy menyapa lalu mengusap bahu Alya dua kali. Bagus juga ingin melakukan hal yang sama. Namun, urung. Saat Hayun kembali melingkarkan tangan di lengannya. Rendy hanya menahan tawa melihat kejadian itu.

“Inu!!!” Bagus mencairkan suasana. Dipanggilnya Inu sembari melambaikan tangan. Anye ikut melambai saat melihat lambaian tangan Bagus.

Senyum kelimanya merekah saat berhadapan satu sama lain. Seakan bernostalgia dengan kenangan lama, ketika tak ada jarak di antara mereka.

Rasa bahagia menutupi segala kecewa. Saat Inu pulang ke kampung halaman tanpa pamit, kemudian Alya memilih pergi dan melepas persahabatan yang terbangun sejak lama. Saat rasa cinta hadir di antara mereka dan memilih menjauh setelah mengakuinya. Saat alasan untuk mengejar cita-cita membuat mereka terpisah cukup lama.

Dan kini, mereka kembali tertawa di bawah atap yang sama.

Dan kini, mereka kembali tertawa di bawah atap yang sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THEATRICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang