Dua semester telah berlalu. Dari status mahasiswa baru yang masih malu-malu kini berubah jadi mahasiswa semester 3 yang mulai sibuk seperti mentri negara.
Tak seperti mahasiswa lain yang sibuk memilih organisasi atau mengikuti seminar di kampus, alih-alih menghabiskan waktu luang dengan bersosialisasi, Alya memilih bekerja paruh waktu.
Sejak semester 2 lalu, ia terbiasa membagi waktu dengan bekerja. Entah itu di restoran, kafe, pelayan di warung makan pinggir jalan atau penjaga warnet sekalipun. Semua sudah ia coba.
Uang yang dibawanya dari hasil tabungan selama SMA sudah habis untuk kebutuhan enam bulan pertama.Gaya hidup di Jakarta sangat tinggi. Dari biaya makan sehari-hari, pakaian, buku-buku sampai sewa tempat tinggal. Untunglah, Alya mendapatkan tempat tinggal dengan sewa tergolong murah. Hanya 200.000 saja perbulannya. Namun, hanya seadanya. Meski kadang, keluhan demi keluhan keluar dari mulutnya.
Hari ini, Alya menerima gaji dari restoran tempat ia bekerja. Setelah beberapa kali pindah tempat mengais rupiah, kini ia nyaman bekerja menjadi pelayan di suatu restoran yang tidak terlalu mewah, tapi cukup ramai pengunjungnya karena berada di tengah kota. Sudah enam bulan, apron putih bertuliskan Family Resto ia kenakan setiap sore hingga malam.
Saat mencuci piring, tiba-tiba Alya tersenyum karena mengingat kejadian lucu tadi siang. Wajah baru yang ia lihat sukses membuat tawanya keluar. Saat ia menjaga stand makanan di bazar kampus. Laki-laki berwajah tak familiar mendatanginya sambil tergesa. Karena terbiasa bekerja di restoran, Alya malah menawarkan berbagai macam makanan. Dan lucunya, mahasiswa itu sedang mencari toilet.
Alya tak henti cekikikan saat mengingat itu. Hal bodoh yang ia lakukan ternyata menyiksa seseorang. Namun, bukannya bertobat dan meminta maaf, Alya malah mengejek mahasiswa itu di setiap kesempatan bertemu.
Seperti pagi ini. Alya menghampiri mahasiswa itu saat melihatnya mondar-mandir di area parkir.
"Ngapain, Mas? Masih nyari toilet?" Sekuat tenaga ia menahan senyum. Sedangkan lawan bicaranya menoleh tanpa ekspresi apa pun.
"Aku lagi nyari apa aja selain masalah," jawabnya. Jutek.
"Galak amat, sih. Lo mahasiswa baru, ya? Sori deh, kalau dulu gue malah nawarin tongseng pas lo nyari to—"
"Stop, stop! Bisa nggak sih lupain aja kejadian itu? Bisa, 'kan?" tanyanya.
Alya mengangguk dengan mulut yang spontan terkatup.
"Itu juga, baju kamu sisa kain taplak meja ruang administrasi atau gimana? Sama banget. Kotak-kotak hitam putih."
Alya mendelik. Gadis itu langsung memperhatikan baju yang ia kenakan. Baju baru yang susah payah ia beli dengan menghemat uang hampir dua bulan, lalu disamakan dengan taplak meja? Niat damai kembali Alya buang. Tampaknya si curut satu ini lebih senang mencari perkara ketimbang perdamaian.
Alya mengembuskan napas kuat-kuat. Beberapa helai poninya ikut terangkat. Sambil berkacak pinggang, ia berkata, "Udah deh, lo ke toilet aja sana! Jangan sampe ada bau-bau aneh lagi. Lain kali kalau ke kampus bawa 2 celana. Buat jaga-jaga!"
Ejekkan Alya sukses membuat mahasiswa itu berteriak protes, tapi ia malah tertawa puas.
Hari-hari setelahnya, Alya jadi sering bertemu dengannya. Namanya Rendy. Mahasiswa baru stok lama. Pindahan. Seangkatan dengan Alya. Dan luar biasanya, Rendy akrab dengan Inu dan Bagus. Teman satu kontrakan sekaligus teman sekelas Inu. Karena itulah, Alya juga mendadak akrab dengan Rendy.
Walau kadang hanya dengan tatap-tatapan mereka spontan tertawa kegirangan karena mengingat hal-hal yang sepakat mereka rahasiakan. Hal itu membuat Bagus, Inu serta Anye jadi bingung cenderung takut. Khawatir kalau Alya dan Rendy kerasukan hantu pohon mangga kepunyaan Pak RT, tetangga kost mereka.
Pertemanan mereka kian akrab hingga mendekati tahun ke-4. Setiap ada kesempatan, di sela menunggu jadwal kuliah, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Sekadar mengisi perut atau bersantai di perpustakaan dengan kedok ingin belajar, tapi berujung diusir karena cekikikan.
Nama The Rangers semakin dikenal. Berawal dari celetukan spontan Bu Dora pemilik warung tempat mereka mengisi perut yang disambut meriah oleh mereka berlima terutama Bagus.
Jalan Alya kian mulus. Tidak ada bayang-bayang masa lalu yang mengikuti. Semua seakan telah terkubur dalam-dalam. Alya seperti lahir kembali dengan nasib yang berbeda.
Kebohongan demi kebohongan yang ia ciptakan mampu mengubah image-nya. Mahasiswi cantik, pintar, bahkan semakin terkenal sejak menjadi model foto Inu dan menang kontes lomba.
Sampai ketika Alya lupa akan siapa dirinya. Jika dulu mendapat teman adalah hal mewah, kini Alya ingin lebih dari itu. Menaruh rasa pada Inu, jadi titik balik berakhirnya bahagia di antara mereka.
Sore itu, di dalam bus kota, Alya tampak lesu. Kejadian tadi siang menjatuhkan moodnya sampai ke jurang. Melihat Anye dan Inu duduk bersisian memandangi laptop dengan mata berbinar. Ia merasa seperti sedang ditampar habis-habisan agar tersadar. Mengharap cinta sungguh pekerjaan yang sia-sia. Tak dapat menghasilkan rupiah. Hanya sakit hati karena penolakan yang begitu nyata.
Bus yang ia tumpangi tak lagi melajukan roda. Beberapa penumpang mulai turun saling mendahului. Sedangkan Alya, terlalu malas untuk melangkah pergi.
Kembali ke rumah. Berarti kembali pula kesedihan dan kesendiriannya. Tawa dan bahagia yang singgah seharian akan sirna.
Sejenak, Alya memandangi bangunan 4 tingkat di hadapannya. Indekos mewah, dengan beberapa mobil di garasi. Ia mencebik. Muak dengan kebohongan demi kebohongan yang ia timbun. Semakin menggunung. Entah harus mulai dari mana untuk meluruskannya.
Perlahan Alya melangkah lagi. Menelusuri gang sempit yang membawanya ke jalan setapak penuh kerikil.
Tepat di hadapan pintu kayu berlapis seng yang dicat hijau, ia berhenti. Menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Mencoba menyimpan udara sebanyak mungkin di paru-paru.Namun, tapak kaki yang berhenti tepat di belakangnya membuat Alya geming.
Ada debar tak biasa di dada yang membuat ia berkeringat.Walau ragu, Alya berbalik.
Sungguh, ia harap matanya salah terka atau laki-laki di hadapannya hanya ilusi saja.Namun, sial. Semua itu nyata. Mereka bersitatap, tanpa kata.
Ribuan tanya seolah terpancar dari sorot mata laki-laki di hadapannya
Detak jantung Alya kian melambat, nadinya melemah.
Sekian detik Alya membeku dalam keterkejutan.
Dan mimpi buruk itu ... datang lebih cepat di luar dugaan.
Note:
Ini part pendek, cuma 900 kata. Nyaris nggak ada dialog. Karena fokus dengan narasi Alya. Sengaja dibuat pendek, biar jatah jumlah katanya bisa dialihkan untuk part selanjutnya. 🤣Sampai ketemu Rabu depan depan dengan Theatrica bagian 4 dan 5.
Salam,
Rangers Kuning. 💛
KAMU SEDANG MEMBACA
THEATRICA
Chick-LitAlya Indira Biantari tak pernah menyangka dapat menikmati hidup sebahagia ini. Bayang-bayang masa lalu yang ia anggap aib selalu ingin dikuburnya dalam-dalam. Berawal dari satu kebohongan yang tak sengaja ia buat, kini hidupnya lebih sedikit berwarn...