Alya menatap layar ponsel untuk memastikan waktu. Pukul 23.20 tepat saat ia membuka pintu pagar indekos. Sudah lewat dari jam malam yang dibatasi ibu kos. Dan sialnya, Alya tidak sempat mengabari kalau pulang terlambat.
Untung saja pintu pagar tidak dikunci. Ia hanya bisa mengendap-endap sambil jalan berjingkat. Sepatu hak tinggi sudah ia lepas sebelum menginjak teras.
Bersyukurnya lagi, kamarnya berada di lantai 1. Tidak perlu menaiki tangga dan menahan napas lebih lama. Setelah masuk ke dalam kamar, Alya berdiri di belakang pintunya yang menutup dengan pelan. Napasnya mulai tersengal. Ia duduk merosot lalu mendekap lutut. Berusaha sekuat mungkin menahan tangis. Namun, percuma. Air mata itu tetap ada.
Abian. Satu-satunya orang yang ia percaya akan selalu mendukungnya. Namun, bukan seperti ini caranya. Alya tidak butuh belas kasihan. Percuma memiliki jabatan tinggi, tapi didapatkan karena koneksi. Bukan karena potensi atau prestasi. Ini bukan soal gengsi. Namun, prinsip hidup yang ia pegang teguh setengah mati.
Hari Senin datang. Biasanya Alya sudah bangun sejak subuh. Namun, sekarang ia masih rebahan di kasur kebanggaan. Cuaca dingin karena hujan membuat kemagerannya meningkat pesat. Melihat-lihat media sosial jadi pekerjaan sampingannya selain rebahan.
Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar. Masih dalam posisi rebahan, Anya menjawab, "Hallo."
Hampir dua menit berlalu dengan hening. Tidak ada jawaban dari lawan bicaranya.
"Hallo, Mbak Vin. Mbak Vina kenapa? Suaraku kedengaran, 'kan?" tanya Alya memastikan.
Helaan napas akhirnya terdengar. "Kamu yakin resign dari Family Resto, Al?" Mbak Vina membuka suara setelah diam beberapa lama.
Alya mengangguk, "Iya, Mbak. Toh, buat apa tetap kerja di sana kalau karyawan lain terus berbisik di belakangku. Menunduk penuh hormat di depan, tapi bergunjing mencemooh di belakang."
"Tapi kan kamu diangkat jadi asisten manajer juga semata-mata karena potensimu, Al. Bukan hanya karena Mas Abian."
"100% bohong itu, Mbak. Coba Mbak Vin pikir. Anak magang mana yang bisa jadi asisten manajer dalam waktu satu tahun? Aku baru lulus tahun kemarin, lho, Mbak. Tapi sudah gantiin posisinya Bu Adina yang pengalamannya sudah luar biasa."
"Kan Bu Adina yang minta mutasi ke Bandung, Al. Jadi bukan sepenuhnya salah kamu. Anggep aja rejeki karena kerja keras kamu."
"Nggak tahulah, Mbak. Aku jadi nggak kerasan kalau kembali kerja ke sana. Gak nyaman aja setelah tahu kalau ternyata Abian ownernya."
Helaan napas Mbak Vina terdengar lagi. Kali ini lebih panjang dari sebelumnya. "Ya terus, sekarang kamu mau gimana? Hidup harus punya rencana, 'kan? Mau jadi pekerja paruh waktu lagi? Mau ngelamar jadi karyawan kantoran? Atau operasi plastik terus apply lamaran ke Family Resto lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
THEATRICA
ChickLitAlya Indira Biantari tak pernah menyangka dapat menikmati hidup sebahagia ini. Bayang-bayang masa lalu yang ia anggap aib selalu ingin dikuburnya dalam-dalam. Berawal dari satu kebohongan yang tak sengaja ia buat, kini hidupnya lebih sedikit berwarn...