Malam terasa lebih hening saat itu. Diam-diam, Abian memandang Alya yang tampak sendu. Sejak lima belas menit lalu, Alya geming. Tatapannya kosong. Bahkan, sudah beberapa kali Abian menanyakan keadaannya, tapi tidak ada jawaban juga."Hey, Al!" Abian berseru.
Kali ini diikuti dengan guncangan kecil di bahu.Alya terkesiap. Setelah membenarkan posisi duduk, ia memandang Abian. "Ada apa? Kenapa?" tanyanya, gelagapan.
Abian menghela napas. Tidak biasanya Alya melamun. "Kamu kenapa? Ada yang ganggu kamu di reuni tadi?"
Alya menggeleng pelan lalu menarik napas dalam-dalam. "Nggak ada. Cuma aneh aja rasanya, ketemu mereka lagi setelah sekian lama."
"Jadi sudah ketemu sama teman-teman kamu? Sudah ngobrol? Cipika-cipiki? Peluk-pelukan?"
"Bian apaan, sih! Nggak lucu, deh. Kayak anak kecil aja!"
"Nah, gitu dong. Senyum lagi. Ya namanya juga ketemu sahabat setelah sekian lama. Pasti ada rasa kangennya."
"Aku sih kangen. Tapi, kayaknya mereka nggak."
"Tuh, kan. Jangan suka menilai perasaan orang lain lewat sudut pandangmu. Aku yakin, mereka juga kangen sama kamu. Ya, walaupun ada rasa kecewa. Karena kamu mutuskan hubungan begitu aja sama mereka."
Alya mencebik. "Jangan suka menilai perasaan orang lain lewat sudut pandangmu." Alya menyindir. Mengulang perkataan Abian. Lalu spontan tertawa bersamaan.
"Udah deh, jalan aja. Mau sampai kapan di sini? Keburu bensinnya abis karena mesin hidup terus, tapi nggak jalan-jalan."
"Iya, iya. Sori. Kita pulang sekarang ya, Tuan Putri."
Tawa keduanya kian renyah, deru mesin mobil tak menganggu sama sekali. Abian meraih telempap Alya lalu menautkan dengan jemarinya. Genggaman itu menguat, menghadirkan hangat. Melenyapkan gelisah yang tadi sempat mampir sebentar di benak Alya.
Sepanjang jalan, Alya terus menatap Abian. Sekilas, hatinya bertanya. Apa jadinya ia jika tidak bertemu dengan lelaki itu di masa lalu? Lelaki yang mampu menyembuhkan lukanya sedikit demi sedikit. Bahkan, diamnya saja dapat menenangkan hati yang kian rumit. Membangkitkan semangat yang sempat hilang dimakan ragu. Menghadirkam kepercayaan diri yang lenyap entah ke mana tertutup malu.
Lampu lalu lintas berubah jadi merah. Abian menginjak rem. Begitu pun dengan pengemudi lainnya. Alya tersenyum kecil saat genggaman tangan terlepas, tapi Abian berusaha meraih tangannya lagi.
Detik berikutnya, ada satu hal yang menyita atensi Alya. Pandangannya tertuju pada dua bocah yang menjajakan makanan tanpa alas kaki. Bocah perempuan berumur sekitar 7 tahun dengan bocah laki-laki yang bertubuh sedikit lebih tinggi. Raut wajah Alya berubah. Tampak iba, tapi juga bahagia.
Iba karena mengingat masa lalu yang hampir sama dengan mereka dan bahagia karena setidaknya bocah perempuan itu tidak berjuang sendiri dengan keluh. Walau tanpa alas kaki, setidaknya ia punya tempat untuk berbagi. Senyum tulus yang terpancar dari wajahnya seolah mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tidak seperti Alya di masa lalu, yang hanya diselimuti senyuman palsu.
"Dik, sini!"
Alya mengerjap saat Abian berteriak. Dua bocah yang sedari tadi ia perhatikan, berlari penuh semangat.
"Mau beli apa, Om?" tanya si bocah laki-laki.
"Ini sudah malam banget. Lewat jam 9. Kalian nggak pulang?" Abian bertanya sambil memilih dagangan yang mereka bawa.
"Dagangannya belum abis, Om. Belum boleh pulang." Sekarang bocah perempuan yang menjawab.
"Belum boleh pulang?" Alya menyondongkan kepala. Tertarik dengan obrolan.
Serentak, dua bocah itu mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
THEATRICA
ChickLitAlya Indira Biantari tak pernah menyangka dapat menikmati hidup sebahagia ini. Bayang-bayang masa lalu yang ia anggap aib selalu ingin dikuburnya dalam-dalam. Berawal dari satu kebohongan yang tak sengaja ia buat, kini hidupnya lebih sedikit berwarn...