Agustus, 2011Hujan masih setia mengguyur ibukota sejak pagi. Genangan air sudah terlihat di mana-mana. Area parkir gedung belakang yang biasa hanya di huni kendaraan, kini beralih fungsi jadi tempat berteduh para mahasiswa. Termasuk Alya. Gadis yang kurang beruntung karena lupa membawa payung.
Hari-hari terakhir ospek malah jadi petaka baginya. Alya ingat betul kejadian kemarin siang. Saat matahari sedang panas-panasnya menyapa, ia malah kena hukuman kakak pembimbing.
Tentu bukan hal baru untuknya jika harus ditertawakan. Namun, kemarin Alya tidak sendiri. Ia bersama seorang laki-laki. Menari bersama. Memakai balon. Dan sialnya lagi, sepatu Alya terinjak.
Sol depan sepatunya terbuka.Lalu sekarang, hujan tak kunjung pergi. Ujung sepatunya kembali menganga. Padahal, semalaman ia susah payah memperbaiki. Mengeratkan dengan 2 tube lem super lengket. Namun, guyuran hujan mengacaukan usahanya. Sol sepatunya kembali terbuka.
Kampus sudah mulai sepi. Beberapa mahasiswa memilih menerebos hujan dengan berlari. Hanya Alya saja yang memilih bertahan. Bukan karena takut sakit. Bukan pula seperti kebanyakan gadis yang takut rambutnya akan lepek. Kalian pasti sudah tahu alasannya.
Perlahan, mobil putih yang tergolong mewah menepi tepat di hadapan Alya.
"Hey, belum pulang?" Seorang gadis cantik terlihat setelah kaca jendela diturunkan.
Alya menggeleng. "Nanti. Masih hujan.” Alya menjawab singkat.
"Dijemput?"
Alya menggeleng lagi.
"Ayo naik. Bareng aku aja. Keburu sore. Angkutan umum juga sudah jarang lewat sini."
Pintu mobil terbuka meski Alya belum menyetujui. Gadis itu semringah saat Alya memasuki mobilnya. Sedangkan Alya hanya bisa tersenyum canggung.
Ini kali pertama ia menaiki mobil pribadi. Apalagi mewah. Kalau angkutan umum, sudah sering. Di desa, ia hanya pernah menaiki mobil bak terbuka pengangkut sayur milik kepala desa. Itupun, saat ia masih kecil.
"Kamu tinggal sendiri atau bareng orang tua?" Gadis di sampingnya bertanya.
"Ngekos sendiri," jawab Alya. Ia mengeratkan genggaman pada tali tasnya. Diam-diam, matanya berbinar saat memperhatikan gadis cantik yang fokus menyetir mobil. Iri? Tentu.
Sempat beberapa saat, ia merasa Tuhan tidak pernah adil. Di satu sisi, ada orang yang diciptakan dengan gelimang kemewahan. Dan di sisi lain, ada orang yang diciptakan dengan sekelumit kesusahan. Seperti dirinya.
“Nama kamu Alya, ‘kan?”
Spontan Alya mendelik lalu mengangguk. Ada rasa tak biasa yang menyapa hati. Baru kali ini ada yang memanggil namanya dengan benar selain ibu, guru di sekolah serta dosen di kampus tadi. Agak canggung rasanya.
"Enak, ya. Bisa mandiri. Aku juga pengen tinggal sendiri gitu. Tapi nggak diboehin. Padahal aku kan sudah gede," lanjutnya dengan nada bercanda. Alya hanya bisa tersenyum kaku.
"Di depan belok kanan," seru Alya tiba-tiba.
Perlahan, mobil berbelok. Gadis itu terlihat riang menikmati alunan musik dari pengeras suara mobilnya. Ikut bernyanyi dan sesekali mengangkat tangan. Kepalanya manggut-manggut sesuai nada. Sedangkan Alya hanya bisa menikmati dengan mengetuk-ngetukkan jari pada telempapnya.
“Ngomong-ngomong, kamu tahu dari mana namaku Alya?” tanya Alya ragu-ragu.
Gadis di sampingnya tertawa lebar. "Dari absen di kelas tadi. Kita kan duduk sampingan."
KAMU SEDANG MEMBACA
THEATRICA
ChickLitAlya Indira Biantari tak pernah menyangka dapat menikmati hidup sebahagia ini. Bayang-bayang masa lalu yang ia anggap aib selalu ingin dikuburnya dalam-dalam. Berawal dari satu kebohongan yang tak sengaja ia buat, kini hidupnya lebih sedikit berwarn...