Bagian 4 - Titik Balik Kehidupan

45 14 30
                                    

Setiap orang pasti mempunya titik balik dalam hidupnya. Suatu peristiwa penting yang dapat mengubah kehidupan seseorang dari kondisi yang terburuk lalu mendapat semangat baru untuk memulai hidup.

Namun, titik balik kehidupan bagi Alya sangat berbeda. Berbanding terbalik dari biasanya.

Sejak beberapa hari lalu, Alya kembali merasa cemas. Tidurnya tak lagi nyenyak. Kepercayaan dirinya berkurang. Tak punya nyali untuk sekadar tertawa bahkan mengajak teman-temannya bicara. Terlebih dengan Bagus.

"AIB! AIB, Alya!" Bagus menarik lengan Alya merapat ke sudut kelas yang sudah sepi.

"Apa, sih!" Alya menepis lalu membuang pandang. Belum siap kontak mata terhadap siapapun. Apalagi dengan Bagus. Sekelas dengannya membuat Alya tak bisa menghindar sedikit pun.

"Kamu kenapa, sih? Sudah tiga hari lho, kamu ngehindarin aku. Salahku apa?"

Alya mendongak perlahan. Menatap Bagus dengan perasaan campur aduk. Marah, malu, rasa berasalah melebur jadi satu. Bagus tak salah apa-apa. Hanya saja, Alya belum siap menjelaskan atau sekadar menjawab pertanyaannya.

"Jawab, AIB! Maksudku ... Alya. Bagus salah apa sama kamu? Sampai kamu menghindar terus? Apa ... karena itu?"

Spontan Alya menunduk lagi. Memejam mata kuat-kuat. Berharap Bagus menghilang setelah ia membuka mata. Namun, sial! Itu hanya harapan konyol yang tak mungkin terkabulkan.

Alya melirik ke sudut kelas yang lain. Masih ada dua teman sekelas mereka yang menatap Alya sinis seolah ia hama yang harus dibasmi.

"Kalian berdua keluar dulu deh! Ada yang mau aku omongin sama Alya!" hardik Bagus. Mereka keluar dengan raut masam. Saling berbisik satu sama lain. Membuat Alya semakin tak nyaman.

"Aku enggak maksa kamu buat cerita sekarang. Semua orang pasti punya rahasia dan alasan. Kalau kamu belum siap, ya enggak apa-apa. Cuma satu yang aku minta, jangan menghindar terus," pinta Bagus.

Alya terduduk lemas memeluk lutut. Air mata sudah siap tumpah. Namun, sekuat mungkin ia tahan agar tak tampak lemah di hadapan Bagus.

Sejak saat itu, pelan-pelan Alya membuka diri. Topeng yang selama ini ia pakai, perlahan dilepas kembali. Wajah aslinya terlihat seiring cerita masa lalu yang kelam ia tuntaskan.

Tidak ada yang ingin terlahir dengan sebutan anak haram, bukan? Sungguh! Jika Alya bisa meminta kepada Tuhan, ia ingin dilahirkan di keluarga biasa. Punya orang tua lengkap dengan status yang jelas, meskipun hidup pas-pasan. Pasti rasanya bahagia.

Tidak seperti ini. Terlahir dari rahim seorang biduan. Wanita penghibur lelaki hidung belang. Tak tahu lelaki mana yang jadi ayahnya, sangking banyaknya yang menikmati setiap lekuk tubuh ibunya.

Alya mencebik. Air matanya berderai. Merantau ke Jakarta karena ingin mengubah takdir dan pandangan orang terhadapnya, hanya dengan modal nekat membuat Alya harus bersandiwara. Sekadar ingin menutup aib yang selama ini menghantuinya.
Sekadar ingin mendapat teman dan hidup normal seperti remaja lainnya.
Sekadar itu.
Namun, kini ketakutan itu datang lagi. Alya kembali tak percaya diri.

"Ayo kita ke kantin dulu. Makan dulu deh. Udah siang, nih," ajak Bagus. Seolah tak memedulikan kisah panjang yang Alya ceritakan.

Sambil mengelap air mata dengan telempap, Alya bertanya, "Lo masih mau temenan sama gue?"

"Lah, emang kenapa harus musuhan? Kamu pembunuh? Kamu psikopat? Kamu koruptor yang nyusahin rakyat? Enggak, 'kan? Udah deh, ayo kita makan. Bagus laper. Cacingnya udah pada demo ngalahin demo mahasiswa."

Alya tersedak lalu tersenyum tipis. Ia tak menyangka, ternyata Bagus sedewasa itu. Di balik tingkahnya yang kekanak-kanakan dan sering menyulut pertikaian, ternyata Bagus sangat pengertian. Alya tersenyum lebar saat mengekori Bagus menuju kantin.

THEATRICATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang