Chapter 7 : Materials

37 9 4
                                    

Walaupun memiliki penghuni, rumah tua itu terlihat tak terurus. Ilalang tumbuh di halaman depan. Pagar kayunya rusak sehingga siapapun yang lewat bisa masuk begitu saja. Tak hanya itu, debu dan sarang laba-laba menghiasi bagian teras rumah. Entah bagaimana rupa bagian dalam rumah tersebut.

Carol geram sekali, dia ingin membersihkan rumah itu dan menata kembali apa yang rusak. Tapi demi profesionalitas, dia mengurungkan niatnya. Di belakangnya ada Alita Hima, resepsionis gedung Nabastala yang pernah ditemui Jayce waktu itu. Selain menjadi resepsionis, dia juga adalah asisten Carol.

Alita maju ke depan dan mengetuk pintu itu dua kali. Tak perlu waktu lama, pintu langsung terbuka. Seorang perempuan muda bernama Emilie yang membuka pintu itu. Begitu melihat Carol dan Alita yang mengenakan baju bertudung warna coklat, dia langsung sadar bahwa merekalah yang telah dia tunggu. Emilie mempersilakan mereka masuk.

Di rumah itu lampu tidak menyala sama sekali. Emilie membiarkan jendela terbuka sebagai pencahayaan. Seperti dugaan Carol, rumah ini memang berantakan. Tetapi setidaknya funiturnya tertata rapih. Piring bergaya eropa klasik menghiasi rak-rak paling tinggi. Terdapat botol-botol anggur yang tersimpan rapih di dalam lemari kaca. Dan juga di atas meja nakas ada figura tanpa foto di dalamnya.

"Dia ada di dalam," ungkap Emilie dengan suara datar. Tangannya terlihat kurus kering, namun entah kenapa badan dan bahunya terlihat gemuk. Bahkan kaos lengan pendeknya terlihat kekecilan untuknya.

Emilie memberikan pelita ukuran kecil sebelum Alita dan Carol masuk ke dalam.

Mereka bisa melihat alasannya, ruangan itu sangat gelap. Tidak ada cahaya matahari yang berhasil masuk. Pelita itu dibutuhkan untuk pencahayaan mereka.

Carol masuk terlebih dahulu, sementara Alita yang membawa pelita. Mereka melangkah secara perlahan. Di ujung ruangan, terlihat punggung seorang pria yang sedang meringkuk. Dia mengenakan baju putih lusuh penuh noda. Wajahnya tak mau ditunjukkan, dia terus saja menghadap ke belakang.

Mendengar suara langkah kaki, pria itu mengerang. "Pergi! Kau pasti salah satu dari mereka, jangan tambah penderitaanku."

Carol mendekat lalu berlutut, agar suaranya bisa terdengar jelas oleh pria itu. "Tenanglah Edmund. Kami dari Chaozer, putrimu yang memanggil kami." Mendengar penjelasan Carol, pria itu terdiam. Posisi tubuhnya diubah, dari meringkuk menjadi duduk. Namun tetap membelakangi lawan bicaranya. Carol menghela napas, "Katakan apa yang terjadi, kami akan berusaha untuk membantu."

Edmund mulai berbicara. "Setahun yang lalu aku punya hutang dengan Oman Group. Lalu kemarin mereka mendatangiku untuk menagihnya, namun aku tidak punya sepeserpun." Napasnya terengah, dia batuk beberapa kali sebelum melanjutkan perkataannya. "Akhirnya mereka memanggil seorang Graven, dan dia mengutukku. Jika aku melihat cahaya sedikitpun, mataku akan kesakitan hingga mengeluarkan darah!"

Cerita Edmund dapat menjelaskan alasan minimnya cahaya di rumah ini. Carol mengusap punggungnya perlahan. "Aku turut sedih atas apa yang terjadi padamu, tetapi kenapa kau sampai tidak membayar hutangmu?"

"Kau sungguh menanyakan hal itu? Kau ingin membela mereka begitu kah? Mereka benar dan aku salah? Apa aku salah karena terlahir menjadi orang miskin? Kau bilang ingin membantuku maka lakukan pekerjaanmu dengan benar!" Edmund berdecak kesal ketika mendengar pertanyaan Carol. Perempuan itu menggelengkan kepala dan menghela napas lagi. Edmund pikir Carol tidak bisa melihat semewah apa rumahnya dalam kegelapan. Begitu banyak barang mahal yang tertutup debu dan kain putih. Edmund tidak terlahir miskin, malahan dia sempat kaya kalau berdasarkan cerita Emilie.

Carol sejujurnya merasa kesal karena harus membantu orang yang menyebalkan seperti dia. Dia sudah berbohong, tidak membayar hutang, berfoya-foya dan tidak berusaha sama sekali. Ketika dia dikutuk barulah merengek putus asa.

Chaozer : Curse & BlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang