Chapter 15.5: Our Names

6 2 0
                                    

Twenty POV

Carol bertanya 3 kali setiap jamnya kemana Ago dan kenapa dia belum pulang juga. Hari sudah malam, harusnya dia di sini dan membuat makan malam. Apa kau sudah menelponnya, apa dia menjawab, sebaiknya kita mencarinya besok.

Dia baru bungkam setelah tidur. Mina saja tidak terlalu pusing tentang keberadaan kakaknya dan langsung tidur saat kembali dari luar.

Aku tidak tahu apa itu murni kepedulian Carol, atau dia hanya tidak ingin kehilangan pembantu gratisnya.

Ago. Dia bersumpah setia kepada Carol. Menjadi bagian dari Chaozer setelah aku. Kemudian Saka dan Mina masuk hampir bersamaan. Bisa dibilang aku seniornya, tidak ada yang tahu tentang perasaan sepihaknya itu lebih baik dari aku. Setelah kasus Saka yang menciptakan peraturan konyol 'dilarang mencintai' itu, perasaan Ago tidak padam begitu saja. Malahan sudah terlambat untuk dipadamkan. Terlanjur liar bagai api neraka.

Semua manusia normal bisa melihat dengan jelas mata Ago yang penuh cinta itu. Atau memang para Nayaka kepekaannya sangat minus sehingga mengabaikan fakta tersebut. Carol menyangkal hal itu dan fokus pada tujuannya sendiri.

Jika suatu hari dia kehilangan Ago, apa ia akan menyesal?

Sama seperti aku kehilangan Louis, tidak.

Sama seperti hari ini Ago kehilangan Tira, yang meski tidak ia cintai, ia terluka. Semua hal tentang pemuda itu terlalu rumit dan aku malah memperparahnya.

Sudah lama kutukan itu tidak aktif berkat usahaku mengurangi pergaulan. Tira datang entah darimana, dan mati begitu saja. Di depan mataku. Di depan Ago dan Jayce.

Jayce.

Dia orang yang unik. Aku melukainya saat kami pertama bertemu. Bukannya menjauh, dia terasa dekat. Akrab? Apa itu kata yang tepat? Setelah sekian lama, apa akhirnya aku memiliki hubungan baik dengan seseorang? Tanpa ketegangan? Canggung dengan Mina, benci dengan Carol, kesal pada Saka, kasihan dengan Ago.

Lalu dengan Jayce? Apa kira-kira kata yang tepat? Apa pun itu konotasinya pasti bermakna positif.

Dia memelukku-entah sudah berapa lama aku tidak merasa kehangatan itu lagi. Sangat memalukan, aku menangis di depannya. Tutur katanya baik, perangainya baik, perlakuannya baik, mau mencari kesalahannya juga sulit. Dia hanya naif dan bodoh.

Mata birunya terasa familiar dan hangat, senyumnya terlihat lucu ketika aku mengatainya bodoh, suaranya menenangkan dan menghibur.

Sial, kenapa juga tadi aku menangis di depannya.

Dia pergi tanpa pamit, aku dan Saka memutuskan untuk tidak menanyainya soal ayahnya. Yang ternyata adalah Tobias Rhomson. Pemimpin perusahaan Axelore, tempat aku bekerja sebagai buruh. Seharusnya sudah bisa kutebak ketika dia mengunjungi pabrik waktu itu. Dia berbohong saat bilang ingin beli beberapa hal seperti orang kaya. Aku tahu itu, aku hanya tidak bisa menebak motifnya.

Suara dering telpon membuyarkanku dari lamunan. Hampir saja aku terjatuh dari kasur ketika mendengarnya. Panggilan dari nomor tidak dikenal.

Biasanya aku akan langsung menolak panggilan seperti itu. Tapi hari ini tidak. Siapa tahu itu Ago dengan ponsel orang lain ingin memberi kabar. Walau sepertinya akan aneh jika dia menghubungiku dan bukannya Carol.

"Halo Twenty?"

Bukan, itu suara Jayce. Semoga dia panjang umur.

"Maaf menghubungimu tiba-tiba, nomormu sudah lama aku dapat dari Saka."

"Ada apa?" tanyaku hampir menyela perkataannya.

"Kau tahu, di markas ada banyak kamar"

Dia selalu menyebut tempat ini sebagai markas. Toh tidak ada nama resminya. Bukan rumah, hotel juga bukan. Hanya kediaman dengan banyak kamar dan juga fasilitas. Mina, Carol, dan Ago menyebutnya rumah karena mereka memang secara sah tinggal di sini. Saka selalu menyebutnya sebagai tempat penampungan dengan nada sarkastik. Sementara aku menyebutnya penjara.

Chaozer : Curse & BlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang