❏; Ada yang Patah

171 46 55
                                    

21 | 𝙰𝚍𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙿𝚊𝚝𝚊𝚑

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

21 | 𝙰𝚍𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙿𝚊𝚝𝚊𝚑

⇠⇢

Katanya, kalau patah satu, nanti juga tumbuh seribu.

⇠⇢

Pundak kanan dan kirinya terasa berat, bebannya seolah bertambah, padahal ia tak sedang dirundung banyak masalah. Mungkin, perihal pujaan yang kini telah bertemu dermaganya, adalah salah satu pencetus berat pundak milik Markus.

Laki-laki itu melempar asal tasnya ke atas sofa, membanting tubuhnya sendiri di samping Janus yang tengah menatap kosong layar televisi. Mark memang tahu, kalau sekuat apa pun ia berusaha menggapai, restu semesta tak akan pernah dicapai. Dia dan Kejora berbeda, terbentang jarak sedemikan panjang. Maka hatinya akan berusaha menerima, walau Mark tak pernah terbayang, jika akan selayu ini tubuhnya.

"Kenapa lo?" Janus mengawali tanya, melihat kakak tirinya seperti tak bernyawa.

"Mundur aja."

"Hah?"

Mark menoleh ke samping. "Kejora udah ketemu bahagianya."

"Maksudnya?"

Sebelum menjawab pertanyaan Janus, Mark menyempatkan rongga dadanya mengais udara banyak-banyak, sampai akhirnya ia lepaskan karbon-karbon dioksida dari tubuhnya. "Kejora jadian sama Rendi."

Yang semula diam, kini makin diam. Hening ruang menjadi saksi bisu atas patahnya hati dua anak manusia. Janus dengan tekadnya yang coba ia pupuk untuk mendekati Kejora perlahan, justru dipatahkan realita sebelum ia berjalan. Mark pula yang sejak awal sudah menyadari, ia pikir akan baik-baik saja, tapi nyatanya rapuh seperti ditimpa baja.

Ludahnya ia telan bulat-bulat, meski sulit karena tenggorokannya seakan tercekat. Diusaknya rambut itu ke belakang, sebuah tanda bahwa sang empu tengah dilanda frustrasi berapi-api. Kepalanya menoleh ke samping, di mana kakak laki-lakinya juga masih menatap ke arahnya.

"Ya udah." Helaan napas panjang terdengar. "Kalo itu bahagianya Kejora, yang lain bisa apa?"

Mark hanya diam. Dia masih berusaha merelakan, walau dalam dadanya berteriak kesakitan. Ada suara yang ingin diutarakan dengan lantang. Namun suara-suara itu hanya berakhir di dalam hatinya, berlari ke sana dan ke sini mengitari relung paling dalam. Suara yang memaksa untuk keluar, tapi sang pemilik raga tak mau membuka pintu keluar.

Janus tersenyum, samar. Ditepuk tiga kali pundak laki-laki yang duduk di sampingnya. Dia bukan tipe manusia yang peduli terhadap sesama, entah bagaimana cara menenangkan orang lain, ia tidak paham. Tapi mungkin, sedikit kata-kata dan sentuhan pada tubuh kakaknya mampu membuat pria itu merasa dipedulikan.

"Relain. Dari awal juga lo udah sadar, kalian nggak akan bisa jadi satu." Janus tetap Janus. Kata-kata pedas akan selalu menjadi title dalam setiap jalan yang ia tempuh.

[✓] Astrogeo┆Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang