❏; Masih Suka?

177 70 124
                                    

18 | 𝙼𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚂𝚞𝚔𝚊?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

18 | 𝙼𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚂𝚞𝚔𝚊?

⇠⇢

Kontaknya disematkan, tapi perasaannya belum tersampaikan. Katanya lakik? Jangan cemen, dong.

⇠⇢

Pukul lima sore pada sebuah ruangan, berisikan para peserta olimpiade yang akan berangkat minggu depan. Segala nasihat dari pembimbing sampai semua perlengkapan dan persyaratan sudah disiapkan. Secara mental dan fisik, mereka sudah siap bertanding.

Di sela-sela kegiatan yang berjalan, fokus mata Rendi mengarah pada Kejora. Isi kepalanya carut-marut, banyak rentetan pertanyaan yang berantakan, memaksa otak kecilnya untuk melahirkan jawaban. Tapi apa daya, sang empu tak sanggup jua.

"Liatin aja terus, sampe keluar itu bola mata." Sebuah suara dari belakang bangkunya membuat Rendi tersadar. Ia membalikkan badan, melempar tatapan tajam pada Nana. "Cemen."

"Diem."

Nana justru mencibir. Tangannya terulur, mendorong kursi Rendi sedikit. Yang duduk di atasnya jelas tidak terima, hampir saja bibirnya mengumpat dengan keras kalau otaknya tak bekerja tepat dan mengingat sedang berada di mana mereka saat ini.

"Na, lo kalo nggak diem gue pukul."

"Ren, lo kalo nggak confess juga biar gue yang bilang."

Rendi melotot, sebuah tanda bahwa lelaki itu terlampau kesal dengan Nana. Daripada bertengkar dengan Buana yang—sudah—pasti tak kunjung rampung, Rendi memilih mengalah daripada memperumit masalah. Dibalikkannya badan itu menghadap ke depan, memperhatikan pembimbing yang tengah memaparkan bekal.

Jangan panggil "Nana" kalau tidak membuat Rendi naik pitam. Belum ada satu menit Rendi berbalik badan, tapi Nana sudah merecokinya lagi. Kaki Nana mengarah pada kursi Rendi, dirorongnya kursi itu pelan sampai membuat si empunya terjengit.

"Na!" katanya tertahan.

Deretan gigi putih nan rapi itu terpajang sebagai respons, ditambah dua alis Nana yang sengaja dinaik-turunkan. Memang, niat laki-laki itu mengejek sahabatnya. Lagian—menurut Nana—apa susahnya, sih, minta maaf dan bilang suka? Toh, si target juga—terlihat—masih ada rasa.

"Karena udah sore banget dan bentar lagi juga mau magrib. Kita sudahi aja, ya? Besok istirahat pertama bisa kumpul lagi di sini. Minggu ini kita nggak akan banyak latihan, saya yakin kalian udah hebat-hebat. Persiapkan diri kalian aja, ya. Selamat sore, hati-hati di jalan."

Begitu pembimbing mengakhiri pertemuan sore ini, disahut dengan ucapan terima kasih dan selamat sore yang serupa, suasana di ruangan mulai ribut sedikit demi sedikit. Suara buku yang ditutup, kursi atau meja yang bergeser dari tempatnya, atau sahut-menyahut antar pemilik jiwa.

[✓] Astrogeo┆Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang