Oh!

317 24 1
                                    

Banyak orang yang menyuruhku secara khusus, agar aku banyak-banyak membaca novel romance atau semacamnya agar kepekaan hatiku agak sedikit bisa timbul di permukaan dan tidak terus menerus tersembunyi oleh logika –hal yang selama ini aku junjung tinggi- dan hal itu selalu membuatku mengernyit heran. Apa yang salah dengan pola pikirku? Maksudku, kenapa mereka harus terus memperjuangkan orang yang menyakiti mereka kalau pada kenyataannya mereka bisa mendapatkan pengganti yang lebih baik? Dan apa esensi dari membuang waktu untuk orang yang sama sekali tidak penting?

Dan karena itu mereka menjulukiku seseorang yang tidak punya hati.

Oh aku tidak peduli. Toh setiap orang pasti punya pendapatnya masing-masing.

Aku masih ingat ketika Mandy menangis tersedu di apartemenku pada pukul dua pagi hanya karena mendapati kekasihnya mencium perempuan lain dengan mesra di Bar, dan itu membuatku mengernyit heran. Apa yang salah? Bar tempat orang mabuk dan tidak ada yang salah dengan mencium seorang wanita yang mau di cium, kan? Maksudku, mereka berdua sama-sama di bawah pengaruh alkohol yang menjadikan mereka sedikit tidak bisa mengendalikan diri, kan? Dan kalau memang Mandy marah dan merasa terkhianati, kenapa dia tidak meninggalkan kekasihnya?

Dan Mandy bilang dia masih mencintai kekasihnya dan akan berpikir untuk memaafkannya.

Oh Tuhan, apa ini salah satu kisah Roman terbaru dari Shakespeare?

Aku masih ingat ketika Mandy berbalik memarahiku karena aku memilih menggunakan ‘logika lelaki’ ku dari pada ‘hati perempuan’ku untuk menangani masalah percintaan seperti ini. Ya ampun! Bagaimana Mandy bisa mengharapkan aku menyingkirkan logikaku?

Aku menghela nafas di depan cermin dan menatap tubuhku yang kini berbalut kemeja biru polos, jeans hitam dan sneakers putih dengan rambut coklatku yang di kuncir kuda. Masih normal dan terlihat seperti gadis pada umumnya walau tidak memakai pakaian super seksi seperti rok mini atau kamisol untuk pergi ke kampus.

Mandy pasti akan bersorak kegirangan kalau aku memakainya.

Aku menyeringai kecil dan mengambil kunci mobilku yang tergeletak begitu saja di atas nakas, di sebelah tempat tidurku dan memutuskan untuk segera berangkat menemui Mr. Ryan untuk menyerahkan tugas akhirku sebelum tiga bulan mendatang menghadiri wisudaku sendiri.

-o0o-

Aku berjalan menuju ruang Mr. Ryan sembari menyapa beberapa orang yang ku kenal. Pagi ini super cerah dan tidak ada awan sama sekali di langit yang biru. Dan anggap saja ini salah satu alasanku untuk tersenyum cerah pada semua orang.

Hei! Tidak ada yang membenci cuaca cerah kan?

Aku berjalan memasuki ruang Mr. Ryan yang saat itu sedang menatap entah apa di komputernya. Aku menyapanya dan sedikit berbasa-basi sebelum menyerahkan tugas akhirku, dan setelah mengucapkan terima kasih, aku berjalan keluar dari ruangannya.

Perutku lapar, dan aku membutuhkan makanan! Dengan langkah panjang-panjang aku berjalan menuju kantin kampus tapi tiba-tiba ditengah jalan Mandy menghadangku dan menatapku sebal.  

“Wow, ada apa?” tanyaku heran saat Mandy menyipit menatapku.

“Blaire Madison, ada apa denganmu sebenarnya?”

Aku mengernyit bingung menatap Mandy yang semakin menatapku dengan wajah menyelidiknya.

“Aku? Aku hanya menyerahkan tugas akhirku pada Mr. Ryan. Memangnya kenapa?”

“Oh, aku tidak bertanya tentang itu!” Mandy mengibaskan tangannya tidak sabar. “Tapi aku bertanya, kenapa kau menyembunyikan sebuah fakta kalau kau mempunyai seorang kekasih yang sudah setahun belakangan ini kau kencani, Hah?”

StorageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang