Cash

251 26 4
                                    

Kata orang, jatuh cinta itu mudah dan bisa di alami siapa saja. Lagipula semua orang di dunia ini pasti pernah merasakan apa yang dinamakan jatuh cinta, sebuah perasaan yang menurut Shakespeare adalah sebuah perasaan luar biasa yang di rasakan semua manusia di bumi.

Tapi paling tidak ada satu manusia yang masih mengernyit heran saat ada orang lain yang mengucapkan sebuah kata cinta dengan sebegitu mudahnya, dan itu adalah aku.

Umurku sudah memasuki dua puluh tahun, and-not-so-proud aku bilang aku belum pernah merasakan jatuh cinta atau tertarik dengan lawan jenis manapun. Dan hal ini sempat membuat Mom panik dan akan membawaku ke psikiater untuk mengecek orientasi seksualku.

Tapi aku berani menjamin, aku normal seratus persen dan masih menyukai lelaki sebagai pasangan hidup. Hanya saja, sampai sekarang aku belum menemukan siapa yang bisa membuatku jatuh cinta sedemikian hebat dan membuatku berani mengatakan kalau aku sudah jatuh cinta pada sosoknya.

Aku masih berkutat dengan segala jenis tugas yang berserakan di atas mejaku saat Cash mengetuk jendelaku dan menyeringai lebar sembari mengangkat bola basketnya. Aku tersenyum lebar dan mengangguk singkat sebelum membereskan mejaku dan melompat keluar jendela kamarku.

Hari ini aku sama sekali tidak berminat untuk bermain basket atau melakukan kegiatan apapun, tapi aku memang selalu tidak bisa menolak Cash, atau dia akan menyerbu masuk ke dalam kamarku dan menyeretku untuk mengikutinya dan mendudukanku di pinggir lapangan sembari ia bermain sendiri dengan bola basket kesayangannya.

"So, Robin Hood, aku sedang tidak ingin bermain jadi aku akan menontonmu dipinggir lapangan, Okay?"

Cash mengenyit tidak setuju dan membungkukkan badannya, membuat matanya sejajar dengan mataku dan menatapku lurus-lurus.

"Aku harus tahu alasannya."

Aku terkekeh geli dan mendorong bahunya menjauh. Cash menegakkan punggungnya dan masih mengernyit menatapku. Wajahnya berubah terlalu manis saat ia sedang berpikir atau mengernyit dan itu sangat berbanding terbalik dengan tampilannya di lapangan yang berubah sangar dan cenderung kasar. Bagiku, Cash adalah seorang anak lelaki yang manis walau dia tiga tahun lebih tua dariku.

"Jangan mengernyit." Aku mengusap sebuah garis di antara dua alisnya. "Aku hanya tidak ingin. Itu saja."

"Apa kau ingin jalan-jalan?"

Kini giliran aku yang mengernyit heran. "Perlombaan sebentar lagi, Cash. Aku tahu Jayden dan Bryan sedang panik menghadapi kompetisi ini dan kalian harus berlatih, paham?"

Cash menghela nafas. "Okay. Tapi setelah ini kau harus mau pergi denganku."

Aku tertawa geli dan memukul bahunya. Lagipula, sejak kapan Cash meminta ijinku saat dia mau mengajakku pergi? Bukannya sejak sepuluh tahun lalu, saat ia pindah dari Atlanta ke Idaho Falls dan menjadi tetanggaku, yang bisa ia lakukan hanya memaksaku menuruti semua keinginannya dan membuatku melompati jendela kamarku bukannya menggunakan pintu sebagai media keluar masuk rumah?

Aku mengikuti langkah Cash yang masih berceloteh tentang pertandingan yang akan datang dan lawan yang akan ia hadapi termasuk lawan yang cukup berat tapi itu sama sekali tidak membuat ia gugup. Aku menoleh ke arahnya dan hanya tersenyum geli. Ekspresi gugup memang tidak terpancar dengan jelas, dan mungkin orang yang baru mengenalnya akan mempercayainya begitu saja, tapi sayangnya Cash tidak bisa membohongiku. Bibir bawahnya bergetar saat mengatakannya dan itu artinya dia sedang gugup, tapi aku memilih diam dan seolah-olah mempercayainya.

Sekitar dua jam aku menontonnya latihan dan aku tahu, Cash sedang dalam keadaan emosional tinggi. Entah sudah berapa kali Cash dan Bryan beradu mulut dan membuat pemain yang lain berusaha memisahkan mereka. Tapi sebenarnya, itu sudah biasa terjadi mengingat Cash yang selalu serius bermain dan Bryan yang menganggap sebuah pertandingan basket hanya arena bermain dengan penonton yang berjumlah banyak. Tapi sorot mata Cash sangat mencerminkan kalau dia sedang dalam keadaan frustasi. Dan aku harus mencari tahu.

"Kau baik-baik saja?" aku mengangsurkan sebotol air dan handuk ke tangannya yang sedang mengernyit menahan emosi.

"Bryan harus mulai belajar kalau sebuah pertandingan itu penting! Bukan arena bermain untuknya!" giginya menggertak di setiap perkataannya.

"Dia serius, Cash. Hanya gaya bermainnya santai." Aku mengusap-usap punggungnya dan itu selalu berhasil untuk menurunkan emosinya.

Cash menghela nafas dan meminum sedikit airnya. "Maaf." Ucapnya pelan.

"Untuk?"

"Terlihat mengerikan tadi."

Aku tergelak dan mengacak-acak rambutnya. "Hey! Kau tidak menakutkan Cash Nolan, kau akan selalu dan selalu menjadi Cash Nolan yang manis untukku."

Pipi Cash memerah sedikit dan ia kembali meminum air di botolnya. "Kau harus menceritakan apa yang terjadi, Sadie."

"Kau mengalihkan pembicaraan?" aku mengangkat sebelah alisku.

"Tidak, hanya sedang mengingatkan kalau kau harus menceritakan sesuatu yang penting padaku."

Aku menghela nafas dan terdiam. Mom khawatir denganku, itu yang aku tahu. Dan dia sama sekali tidak senang dengan omongan orang-orang yang menganggap aku memiliki orientasi seksual yang salah karena tidak berkencan seperti gadis-gadis seusiaku. Aku bukannya tidak bisa berkencan, hanya saja aku tidak mau. Aku sering mendapat ajakan kencan tapi aku belum siap. Aku hanya ingin di ajak berkencan dengan lelaki yang mungkin aku bisa saja jatuh cinta padanya, dan bukan dengan lelaki sembarangan.

"Jadi, ceritakan." Tuntut Cash semabri mengangsurkan Orange Juice, dan ternyata lapangan sudah sepi dan hanya menyisakan aku dan Cash yang terduduk di bawah pohon apel. Berapa lama aku melamun?

Aku menghela nafas. "Kau pasti tau desas-desus tentangku, kan?" aku menoleh ke arahnya yang sedang membuka kaleng minuman isotoniknya. "Apa komentar Mrs. Nolan?"

"Kau tahu bagaimana ibuku, Sadie. Dia sama sekali tidak percaya dan tidak peduli. Dia masih menganggapmu sebagai gadis kecil manisnya."

Aku tersenyum tipis. Iya, aku tahu bagaimana Mrs. Nolan menyayangiku. Dan memang tidak seharusnya ia panik atau merasa terganggu karena aku bukan anak perempuannya.

"Aku harus menemukan seorang lelaki secepatnya." Cash langsung menoleh dan melotot ke arahku.

"Maksudmu?"

"Ibuku panik dengan segala macam omongan nyinyir tetangga."

"Lalu jalan keluarnya kau berkencan dengan orang lain dan itu selesai begitu saja?" tuntut Cash yang membuatku bingung.

"Paling tidak, rumor itu sedikit mereda."

"Bagaimana kalau lelaki itu brengsek?"

"Aku yakin dia tidak seperti itu."

"Seyakin itu?"

Aku mengangguk. "Aku mengenalnya dalam jangka waktu cukup lama dan aku tahu dia bukan lelaki brengsek."

"Aku mengenalnya?"

Aku menggangguk dan tersenyum ragu. "Tapi aku ragu dia setuju dengan ideku ini."

"Kau menyukainya?" aku melihat Cash menelan ludahnya gugup.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Sepertinya. Yang jelas aku tidak suka melihatnya dekat dengan gadis lain."

"Siapa namanya?"

"Cash Alexander Nolan."

Seringaian muncul dibibirnya. "Oh, sepertinya aku kenal dengan anak lelaki keren itu."

Aku memutar mataku sebal. "Jadi bagaimana menurutmu, apa dia akan menyukaiku?"

"Dia bahkan sudah mencintaimu sejak pertama kali kalian bertemu dulu."

Sekarang giliran mataku yang membulat tidak percaya. "Eh?"

"Kau tahu? bahkan ibunya sudah merencanakan akan melamarmu di malam Thanksgiving ini."

Sebentar... Thanksgiving itu kan... "Malam ini?!"

"Jadi bersiap menjadi Mrs. Nolan?"

-o0o-

StorageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang