Hening.
Itulah yang terjadi di antara kami saat ini. Di dalam mobil, hanya ada keheningan. Tak ada yang bersuara diantara kami. Hanya ada suara lalu lintas dan klakson yang terdengar.
"Dimana rumah kamu?" Tanya Bara masih lurus menatap ke arah depan.
Aku menoleh ke arahnya. "Berhenti di sini saja pak. Rumah saya deket dari sini kok." Ujarku. Kalian pasti tau kenapa aku tidak mengizinkan siapapun tau dimana alamat rumahku, kan? Ya karena aku masih tinggal di rumah Ayah. Dan Ayah menyuruh ku untuk merahasiakan hal itu dari siapapun.
"Masih hujan. Saya anterin pulang langsung aja. Nggak ada penolakan!" Tegasnya sembari menatapku tajam. Aku menahan nafas saat mata kami bertemu agak lama karena lampu merah.
"Pa..pak, Sebenernya....sa..saya..."
"Kenapa?" Potong nya. "Saya tidak suka basa-basi." Lanjutnya.
"Saya ingin pergi ke rumah teman saya. Jadi, hentikan disini saja. Disana ada rumah teman saya." Ucapku.
Tanpa basa-basi, aku memutar kenop pintu mobil itu, dan membukanya. Untung saja pintunya tidak dikunci.
"Khanza!" Aku mengabaikan panggilan nya, lalu berlari kecil di trotoar.
BRUKK!
Sial! Sepertinya hari ini adalah hari sial ku. Mengapa aku bisa lupa bawa aku memakai hils? Dan lihat, sekarang aku jatuh. Hiks...
Sakit sekali. Lututku terasa sakit. Rasanya kakiku tidak bisa dibuat berdiri. Bagaimana ini? Seharusnya aku tidak berlari tadi. Lihatlah, aku bagai pengemis jalanan yang kotor. Aku membuka mataku yang terpejam. Semuanya tampak terlihat buram. Kacamata ku hilang. Aku tak bisa menemukannya. Astaga! Dan kepalaku kini terasa pusing. Hiks!
***
Mataku perlahan terbuka. Hal yang pertama ku lihat adalah adalah sebuah langit-langit kamar, dan aku tengah terbaring di sebuah ranjang. Meski buram, aku masih bisa melihatnya.
"Akhirnya udah bangun."
Aku mengalihkan pandanganku ke arah suara yang sangat familiar di telingaku ini. Terlihat bayangan pria jangkung, namun buram. "D...dimana aku? Kamu....kamu Pak Bara?" Tanyaku memastikan.
"Menurut kamu?" Tanyanya. Aku mengenal nafas panjang.
"Dari suaranya sih emang kayak Pak Bara. Tapi saya kayak nggak yakin gitu." Ucapku ragu.
"Ya saya emang Bara, Khanza!" Dia menggeram kesal. Yah, ternyata dia Bos ku––Bara. "Nih. Kacamata jadul mu." Ucapnya sembari memberikan sebuah benda di tanganku. Aku menerimanya, lalu memakainya.
"Kacanya kenapa jadi retak-retak gini?" Rengekku ketika mendapati kacamataku ada yang retak.
"Ya itu karena ulah kamu sendiri." Ujarnya.
Aku melihat ke arah sekitar. Hal yang pertama kali aku lihat adalah dinding bercat silver dengan aroma yang maskulin. Ranjang king-size dengan seprai hitam, dan sebuah meja rias laki-laki, dan jangan lupakan rak buku serta lemari besar bergeser. Yeah, satu lagi. Sofa besar merah itu terlihat anggun.
Sepertinya ini kamar Bara. Hey! Tunggu! Untuk apa aku di kamar Bara? "Aku dimana?" Tanya ku.
"Kamu tadi pingsan, jadi saya bawa di apartemen saya." Ucapnya datar. Aku menghela nafas gusar. "Kamu tenang aja, saya nggak ngapa-ngapain kamu. Saya nggak selera sama cewek jadul kayak kamu." Cibirnya.
"Dih! Saya nggak jadul ya, pak." Ucapku. "Emang tampilan saya kayak gini." Lanjutku.
Rasa gatal kembali terasa di tubuhku. Mungkin karena alergi ku kambuh lagi. Aku menggaruk-garuk tangan dan kaki ku yang terasa sangat gatal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merajut Rasa [HIATUS]
RomanceKhanza bekerja di perusahan Atmajaya, karena ingin menjadi lebih mandiri daripada sebelumnya. Namun, tak disangka-sangka bahwa ternyata CEO perusahaan itu adalah teman masa kecilnya yang......juga masih ia sukai sampai sekarang. Namun, dirinya sesek...