[8] Khanza dan kesialan nya

13 3 1
                                    

Bibik Wati kembali dengan kantung plastik di tangannya yang berisi dua air mineral. Dengan tangan yang satunya yang menggenggam tangan kecil milik Nina yang tengah memakan es krim.

Aku tersenyum menunjukkan kebahagian. “Bibik, Alhamdulillah.... operasi nya Ibu berjalan dengan lancar.” ucapku senang.

Wajah Bik Wati juga tak kalah senangnya. Terlihat kebahagian di sana. “Alhamdulillah.....mbak Ratna operasi nya lancar.”

“Apa boleh Bibik jenguk ke dalem?” tanya Bik Wati.

“Tadi kata dokternya, ibu disuruh istirahat dulu. Nanti akan di pindah ke ruang rawat, baru kita boleh liat.” jawabku.

“Buk, Nina mau pipis....” rengek Nina sembari menggoyangkan lengan Bik Wati.

“Eh, nih anak.” Bik Wati menghela nafas panjang. Bik Wati kembali menatap ke arahku. “Za, tunggu bentar ya. Nih air nya, Bibik mau nganterin Nina dulu.” ucap nya dan ku angguki.

Aku melihat kepergian bik Wati. Oh iya, aku harus mengambil uang di ATM. Aku tau, biaya operasi ibu pasti tidak murah. Jadi....aku akan meminta uang kepada Ayah.

Aku melihat kantung plastik putih yang berada di sisi kursi yang kududuki. Aku pun mengambil air yang berada di dalamnya, lalu meminum air itu sekali tegukan. Sungguh! Lelah sekali hari ini....Fyuhh....

Aku pun mulai menelfon Ayah. Tanda berdering nampak di layarku. Tak lama kemudian, panggilan tersambung.

“Za, ada apa?” tanya Ayah, dengan suara sedikit cemas. Karena aku jarang sekali menelfon Ayah jika tidak ada hal yang penting saja.

“Yah, aku pinjam uang Ayah dulu di rekening. Ibu kecelakaan, Yah. Tapi Alhamdulillah operasinya berjalan dengan lancar.” ucapku.

“Ambil berapa pun di rekening Ayah. Nggak usah di kembalikan.” ucap Ayah. Aku berdehem menanggapi.

“Jaga ibumu baik-baik disana.” ucap Ayah. Aku tersenyum senang. Ayah tidak pernah begini sebelumnya. Biasanya jika menyangkut tentang Ibu, Ayah pasti akan membalasnya dengan malas atau yah terpaksa.

“Ma... Makasih, Yah.” ucapku. “Um, aku tutup dulu telfonnya.” ucapku lagi.

“Iya, Nak.”

Aku pun berjalan keluar dari rumah sakit. Ingin mencairkan uang ditabungkan ku dan milik Ayah.

BRUKK!

Awww! Sakitnya..... Entah kenapa sedari tadi ‘Jatuh’ dan ‘tertabrak’ sudah menjadi hal yang tak asing lagi bagiku. Sungguh sial!

Aku menatap seseorang yang tadi menabrak ku. Dia lagi?

“Ck. Lo lagi, Lo lagi.” dia berdecak sebal. “Bosen gue.” lanjutnya.

“Perasaan Lo deh yang daritadi ngikutin gue. Masa daritadi ketemu terus!” ucapku.

“Ge-er banget Lo! Gue tuh disini karena nolongi......”

“Drt.....drt.... Kringtengteng.....drtt...Drtt...!”

Ucapan pria itu terpotong setelah handphone miliknya berdering.

Meeting nya dibatalkan. Saya sudah cancel.” ucap pria itu di telepon.

Aku menghela nafas. Daripada berdebat disini, mending aku cepat-cepat mengambil uang, daripada nanti ibuku di usir dari rumah sakit seperti di film-film. Oh tidak! Jangan sampai!.

************

AUTHOR POV::

Khanza pun keluar dari ATM, usai mengambil uang. Amplop cokelat tebal itu pun ia masukkan ke dalam tas nya yang lumayan besar itu. Entahlah, Khanza suka tas yang besar-besar. Bisa muat untuk segalanya.Katanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Merajut Rasa [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang