PROLOG

8.7K 321 18
                                    

BUBH!!!

Suara pintu mobil yang terbanting terdengar sangat nyaring di halaman luar.

"Alhamdulillah! Akhirnya selesai juga gue bantuin pindahannya sohib yang barangnya seabrek-abrek ini!" seru Rini sekeras-kerasnya, hingga terlihat amat sangat puas.

Dinda--orang yang baru saja disindir secara terang-terangan oleh Rini--pun berkacak pinggang sambil menatap gadis berusia dua puluh sembilan tahun itu dengan penuh kesinisan.

"Eh, lo ikhlas enggak sih bantuin gue? Pakai ada acara ngedumel syantik segala di situ!" omel Dinda.

Rini pun menatap ke arah Dinda sambil tersenyum manis, semanis pemanis buatan.

"Dinda Aqilla Rinjani-ku, Sayang. Dengar gue baik-baik, ya. Ikhlas dan tidak ikhlasnya seseorang dalam membantu sahabat baiknya, tetap aja bakalan selalu ada teriakan lega yang mengiringi rasa lelahnya setelah membantu. Lo bayangin aja ... kulkas gue yang pikul, lemari gue yang seret, perabotan lo yang segudang itu gue bawa semua mondar-mandir keluar-masuk dari sini ke dalam rumah. Jadi, kalau lo pada akhirnya mendengar teriakan syantik yang keluar dari mulut gue, enggak usah pakai acara protes. Terima aja. Kayak gue yang selalu nerima bobroknya elo setiap saat!" tegas Rini, tak ingin menerima sanggahan apa pun.

Namun Dinda tetaplah Dinda, yang mulutnya akan terkena biduran jika tak membalas ucapan Rini dengan sebuah sanggahan.

"Ya, tapi elo mikir juga dong teriaknya! Ini tuh bukan di hutan, tapi di area perumahan yang padat penduduk. Bukan gue doang penghuninya, Rin! Bukan cuma kuping gue doang yang bakalan dengar teriakan Tarzan lo itu!" sanggah Dinda, dengan penuh keikhlasan.

"Aduh ... hidup lo ribet banget, sih, Din! Udah, deh. Mendingan sekarang lo bikinin gue minum, jangan cuma ceramah doang. Ceramah lo enggak bisa bikin rasa haus gue hilang," ujar Rini, tak merasa berdosa sama sekali.

"Minum ... minum ...! Lo tuh enggak lihat apa, galon gue ada tiga tapi isinya masih di awang-awang! Boro-boro mau bikinin lo minum, buat diri gue sendiri aja enggak ada, Rin," curhat Dinda.

"Idih! Rumah dibangun gede-gede begini, masa air galon enggak bisa beli? Kaya raya cuma di casing doang, sih, lo!" sindir Rini, tak merasa sungkan.

"Terus kalau gue kaya raya, gue wajib punya pabrik air galon, gitu? Hah? Yang bener aja lo! Mengada-ada banget, sih, jalan pikiran lo!" Dinda semakin gemas pada Rini.

"Udah, dari tadi kita ngebacot doang di sini. Ayo, kita cari makan dulu. Nanti baru lanjut lagi kalau memang lo belum puas adu bacot sama gue," ajak Rini, sambil membuka pintu mobil Dinda yang belum dikunci sejak tadi.

Sambil menahan gemasnya terhadap Rini, Dinda pun segera mengunci pintu rumah dan bergegas menyusul ke mobil. Ia duduk di balik kemudi, sementara Rini sudah asik sendiri dengan i-Padnya dan merancang gaun pengantin pesanan salah satu langganan di butik milik wanita itu. Dinda melajukan mobilnya pelan-pelan keluar dari gerbang rumahnya, menuju ke arah Malangbong. Daerah Cijanur yang kini kembali Dinda tinggali itu, agak jauh berbeda dengan kondisi Cijanur pada masa remajanya. Jauh lebih sepi dan jauh lebih hening, terutama saat tiba waktu shalat maghrib.

Namun hal itu tak juga menyurutkan niat Dinda untuk kembali tinggal di sana. Saat ada pemilik tanah kosong yang sejak dulu tak pernah menjual tanahnya tiba-tiba memasang pengumuman, Dinda pun segera mengambil kesempatan itu dan membeli tanah milik orang tersebut. Tanah kosong itu berlokasi di dekat masjid, tepatnya berada di seberang dari masjid tersebut. Dinda pun membangun sebuah rumah dua lantai yang tidak terlalu besar, dan sisa tanahnya ia gunakan untuk membuat halaman yang luas dan asri. Tak lupa, Dinda menambahkan gazebo di halaman itu untuk bersantai pada hari minggu bersama Rini--sahabatnya.

Semua berjalan dengan sangat lancar, sampai pada akhirnya Dinda benar-benar kembali pindah ke Cijanur untuk menempati rumah itu. Masalah kondisi daerah yang sepi dan tak sama seperti dulu, Dinda hanya berpikiran positif. Menurutnya, mungkin hal itu terjadi karena perkembangan zaman dan juga banyak anak-anak kecil di daerah itu kini sudah menjelma menjadi sosok orang dewasa yang sama seperti dirinya. Mereka pasti ada yang sudah berkeluarga, punya pekerjaan, dan juga mungkin saja ada yang sudah merantau jauh keluar dari Malangbong ke kota lain.

Yang jelas, Dinda hanya ingin kembali tinggal di Cijanur dengan harapan akan mendapat suasana yang tenang. Ia adalah seorang penulis novel, yang mana ketenangan adalah hal paling utama yang ia butuhkan jika ingin mendapat tulisan yang sempurna. Maka dari itulah, Dinda akhirnya tidak mempermasalahkan sama sekali tentang kondisi sepinya daerah Cijanur.

"Lo mau makan apa, Rin?" tanya Dinda.

"Nasi," jawab Rini.

"Oh, Nasi? Kirain lo mau makan batu!" sewot Dinda, akan jawaban absurd sahabatnya.

Rini pun terkikik geli, karena merasa berhasil memancing emosi Dinda.

"Ya, pokoknya gue mau makan yang enak, yang sehat, yang bergizi, dan yang paling penting adalah ... gratis," ujar Rini, sangat spesifik.

Dinda hanya bisa mencebik dan mengumpat dalam kesunyian. Hanya mulutnya saja yang bisa ia gerakkan ke kanan dan ke kiri tanpa mengeluarkan suara sama sekali.

"Jangan suka mencaci-maki tanpa suara, Din. Takutnya nanti ada setan yang lewat, terus mikir kalau elo enggak butuh sama suara yang lo punya. Terus dia tiba-tiba ngambil suara lo, sehingga elo jadi enggak bisa ngomong lagi seumur hidup," pesan Rini.

"Apaan sih, Rin? Kok jadi bawa-bawa setan, sih? Sekalinya setan datang dan gangguin elo, nanti gue lagi yang bakalan susah," omel Dinda.

"Susah? Susah kenapa, lo? Elo 'kan indigo. Susahnya di mana kalau harus ngusirin setan dari samping gue?" tanya Rini, ikut mengomel.

"Elo penakut, Rin! Itu yang jadi pusat masalahnya. Nyai Kun-kun bunyi sedikit aja, lo udah langsung pingsan. Pakai sok-sokan bahas-bahas setan segala lo!"

"Ish! Dinda! Awas lo, ya! Gue bakal jadiin elo perkedel, kalau kekesalan gue udah sampai puncaknya!" ancam Rini, yang nyatanya memang penakut.

Mereka akhirnya tiba di Restoran Padang tak lama kemudian. Dinda memarkirkan mobilnya dengan teliti, baru setelah itu ia turun bersama Rini dan masuk ke Restoran Padang tersebut. Mereka duduk di salah satu meja kosong yang ada di pojok Restoran tersebut. Seseorang datang tak lama kemudian sambil membawakan buku menu kepada mereka. Dinda menoleh dan melihat dengan jelas siapa orang yang membawakannya buku menu tersebut.

"Loh, Neng Hesti? Kamu Neng Hesti, 'kan?" tegur Dinda, seraya tersenyum.

"Eh, Neng Dinda. Apa kabar? Kita baru ketemu lagi, ya, setelah bertahun-tahun kamu pindah dari Cijanur," balas Hesti, yang juga ikut tersenyum kepada Dinda.

"Aku balik lagi tinggal di Cijanur, kok, Neng. Tadi aku baru aja selesai pindahan," ujar Dinda.

Wajah Hesti tiba-tiba menjadi tidak secerah tadi.

"Oh, ya? Jangan-jangan ... kamu yang akan tinggal di rumah baru itu, ya?" tanya Hesti, ragu-ragu.

"Rumah baru mana, Mah?" tanya seorang pria yang ikut mendekat ke arah meja mereka dan merangkul Hesti.

Seketika, hawa dingin pun melingkupi area meja itu tanpa alasan.

* * *

Calon TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang