29 | SEMPAT SALAH PAHAM

1.7K 128 3
                                    

Agil terduduk di salah satu kursi yang ada di warung tongseng tersebut. Dirinya benar-benar lemas dan tak lagi mampu untuk berdiri. Deni menyodorkan segelas air minum untuk Adiknya, namun Agil tak segera mengambil gelas berisi air itu seperti biasanya. Tatapnya hanya tertuju pada Dinda yang kini juga tengah menatap dirinya.

"Kenapa kamu harus berbohong, Neng?" tanya Agil, parau.

"Dinda enggak bohong, Kak Agil. Dinda hanya belum menyampaikan sepenuhnya pada Kak Agil mengenai hal barusan. Dinda berniat memberi tahu Kak Agil jika kita sudah sampai di sini. Dinda enggak mau merusak konsentrasi Kak Agil saat membawa kendaraan, itulah mengapa Dinda berniat memberi tahu Kak Agil setelah sampai di sini. Sayangnya, Rini telah lebih dulu bertanya sebelum Dinda sempat menjelaskannya pada Kak Agil, jadi sekarang Dinda tampak terlihat sudah melakukan kebohongan pada Kak Agil. Maaf, Dinda enggak bermaksud begitu," jawab Dinda dengan tenang dan tetap tersenyum.

Agil, Deni, dan Jaya pun sedikit merasa heran dengan ekspresi Dinda yang tampaknya sama sekali tidak merasa takut dituduh berbohong. Dinda benar-benar tampak tenang dan tetap lemah lembut. Sama sekali tak terlihat emosional atas apa yang tadi dihadapinya dari Roy dan peliharaannya.

"Sebaiknya Kak Agil langsung istirahat aja, Dinda dan Rini harus pulang karena sebentar lagi waktu shalat ashar juga akan tiba," saran Dinda kepada Agil.

Dinda dan Rini pun hendak melangkah keluar dari warung tongseng itu, namun Agil dengan cepat meraih tangan Dinda untuk menahan langkahnya. Dinda pun kembali berbalik menatap ke arah Agil, begitu pula dengan Rini yang tengah menggandeng tangan kanan Dinda.

"Neng... Kakak minta maaf. Kakak enggak bermaksud menuduh Neng Dinda pembohong. Kakak hanya merasa ...."

"Dinda nggak merasa dituduh, Kak Agil," potong Dinda dengan cepat. "Dinda sama sekali tidak merasa Kak Agil telah menuduh, dan Kak Agil tidak perlu meminta maaf atas hal yang tidak salah. Itu tadi hanya sedikit salah paham dan Dinda mengerti situasinya."

Agil terdiam. Ia sudah merasa takut kalau Dinda mungkin akan merasa marah setelah mendengar dirinya menuduh. Ia masih merasa trauma akan masa lalu, kala Hesti selalu merasa tertuduh jika dirinya mengajukan pertanyaan. Itulah alasannya mengapa ia segera menghentikan langkah Dinda dan memberinya penjelasan agar tidak terjadi salah paham. Namun jawaban Dinda dan ekspresinya yang tetap sama seperti sebelumnya jelas sangatlah tidak terduga bagi Agil.

"Kakak sengaja menjelaskan, karena ekspresi Neng Dinda dari tadi terlihat sangat tenang dan tetap tersenyum padahal Kakak sudah mengajukan pertanyaan ...."

"Itu adalah efek yang Dinda dapatkan dari peristiwa tadi, Kak Agil," potong Rini.

Agil, Deni, maupun Jaya kini menatap ke arah Rini.

"Memakai ayat ke delapan belas dalam surat Al-Baqarah itu bertujuan untuk membuat musuh tidak melihat keberadaan kita. Baik itu musuh yang berwujud manusia ataupun musuh yang berwujud gaib. Tapi untuk menggunakannya, Dinda harus membuang semua energi negatif di dalam dirinya agar ayat yang dibaca itu bisa bekerja dengan maksimal. Nah, setelah membuang semua energi negatif itu, Dinda selalu seperti yang kalian lihat saat ini. Tenang dan berseri-seri, karena sudah tidak ada energi negatif di dalam dirinya. Jadi Kak Agil tenang aja, Dinda jujur kok soal dia enggak merasa dituduh ataupun enggak merasa marah sama Kak Agil," jelas Rini sambil menepuk-nepuk punggung Dinda dengan keras.

Dinda pun meringis kesakitan akibat tepukan keras dari Rini pada punggungnya. Hal itu membuat Deni dan Jaya bisa ikut merasakan derita yang tengah Dinda rasakan, sehingga Ayah dan anak itu kini terlihat meringis dengan kompak. Agil pun terlihat jauh lebih lega setelah mendengar penjelasan dari Rini.

"Ekhm! Tangannya Neng Dinda dilepas atuh, 'kan Neng Dinda mau pulang," sindir Deni sambil menaik-turunkan kedua alisnya saat menatap ke arah Agil.

Agil pun tersadar kalau dirinya ternyata masih memegangi tangan Dinda dengan erat sejak tadi. Ia segera melepaskan pegangan tangan itu dengan wajah memerah, begitu pula dengan Dinda yang kini terlihat tidak enak di hadapan Jaya ataupun Deni.

"Ish! Kak Deni benar-benar enggak bisa diajak kerja sama deh! Gangguin orang yang lagi cari kepastian aja sih!" omel Rini sambil memanyunkan bibirnya ke arah Deni.

"Eh? Kok jadi Kakak yang salah?" Deni pun segera berniat bersembunyi agar tak kena marah dari Rini.

Dinda pun segera menarik tangan Rini dengan cepat, sebelum wanita itu benar-benar mengomel lebih jauh pada Deni.

"Mang Jaya, Kak Deni, Kak Agil... Dinda sama Rini pamit pulang dulu ya. Assalamu'alaikum," ucap Dinda.

"Wa'alaikumsalam. Nanti ke sini lagi ya Neng Dinda, biar Agil enggak kangen," balas Deni yang sengaja menggoda Adiknya.

"Kak Deni! Jangan gitu atuh. Malu!" omel Agil.

"Malu sama siapa? Neng Dinda juga kayanya enggak keberatan kalau dijodoh-jodohin sama kamu," ujar Jaya sambil membawa dandang kosong ke dalam rumah.

Deni pun tertawa terbahak-bahak saat niatnya menggoda Agil didukung oleh Bapaknya. Agil pun kini hanya bisa meringis sambil menutup wajahnya saat masuk ke dalam rumah akibat merasa malu. Dinda dan Rini sudah tiba di rumah. Mereka langsung bergegas mandi sore sebelum waktu shalat ashar tiba. Ketika adzan akhirnya berkumandang, mereka pun shalat di kamar masing-masing dengan khusyuk. Mereka sama sekali tak membiarkan apa pun mengganggu konsentrasi mereka saat sedang beribadah.

Usai shalat ashar, Dinda dan Rini kembali bertemu di dapur. Mereka akan memasak makanan untuk makan malam nanti. Rini membuka kulkas dan mengeluarkan ayam yang sudah dipotong-potong serta sudah dicuci bersih. Dinda tinggal membumbui ayam itu dengan bumbu yang tengah ia racik. Rini mengintip ponsel Dinda ketika berbunyi. Nama Agil terlihat pada layar dan tampaknya pria itu mengirimkan sebuah pesan.

"Kak Agil kirim pesan tuh, Din. Sini biar gue yang balur bumbunya ke ayam itu," ujar Rini.

"Oke, tolong pastikan bumbunya benar-benar rata ya, Rin," pinta Dinda.

"Iya, tenang aja," balas Rini sambil mengacungkan kedua ibu jarinya ke arah Dinda.

Dinda pun meraih ponselnya setelah selesai mencuci tangan. Dibukanya pesan dari Agil dan dibacanya dengan cermat.

KAK AGIL
Neng, Kakak benar-benar minta maaf soal tuduhan yang tadi ya. Kakak sangat menyesal karena telah menuduh Neng Dinda berbohong padahal Neng Dinda hanya belum benar-benar menjelaskan. Kakak tidak tahu kalau Neng Dinda sangat menjaga diri Kakak saat di jalan tadi dan Kakak malah begitu tidak tahu diri dengan menuduh Neng Dinda berbohong. Sekali lagi, tolong maafkan Kakak ya Neng.

Usai membaca pesan itu, Dinda pun tersenyum. Ia merasa bahagia, karena ternyata Agil tetaplah sosok yang sama seperti dulu. Tetap selalu merasa takut berbuat salah terhadap seseorang dan juga tetap tidak pernah takut untuk mengakui kesalahannya jika memang salah. Hal itulah yang membuat Dinda mencintainya sejak remaja dan tak bisa tergantikan oleh pria lain.

Jemari Dinda mengetik pesan balasan untuk Agil, namun ia segera membatalkannya dan memilih untuk langsung meneleponnya. Beberapa kali terdengar suara nada sambung pada ponselnya ke ponsel milik Agil. Ia menunggu dengan sabar hingga akhirnya terdengarlah suara telepon yang diangkat di seberang sana.

"Halo assalamu'alaikum, Kak Agil," sapa Dinda dengan bahagia.

* * *

Calon TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang