60 | MENUNGGU DI RUMAH JAYA

1.5K 130 1
                                    

"Wah... masuk akal tuh," sahut Fira. "Mungkin awalnya si Roy tahu kalau Neng Hesti ternyata memakai pelet untuk menjerat Kak Agil. Jadi... dengan cara mendatangi dukun itu jugalah, Roy akhirnya mendapat jalan untuk mendapatkan Neng Hesti dan menyakiti Kak Agil."

"Nah... itu maksud gue. Masuk akal, 'kan?" Kira dan Fira tampak saling setuju.

"Tapi itu 'kan baru dugaan. Bagaimana kalau ternyata itu dugaan yang salah?" tanya Rini.

Deni kini ikut duduk di sofa, tepat di samping Rini.

"'Kan belum dicari tahu. Ada kemungkinan bahwa itu adalah benar sebanyak lima puluh persen dari pemikiran Zian, Neng Kira, dan Neng Fira," ujar Deni.

Rini mendengarkan pendapat Deni, namun langsung beralih menatap ke arah Dinda yang saat ini tampak seperti sedang memikirkan kemungkinan itu.

"Uhm... boleh aku jawab pertanyaannya Kira?" tanya Zian, meminta izin.

"Ya, silakanlah kau jawab pertanyaannya," jawab Kalin.

Zian kini menoleh ke arah Kira yang ternyata telah menatapnya lebih dulu dan menghentikan pekerjaannya saat itu.

"Kamu benar. Waktu Roy masih bekerja di rumah keluargaku, dia memang pernah beberapa kali meminta izin pergi keluar. Dan izinnya Roy saat itu adalah untuk mengikuti ke mana perginya Hesti, ketika pergi ke seberang jalan sana. Beberapa kali aku pernah bertanya sama Roy, 'kamu dari mana?'. Dia hanya menjawab 'jalan-jalan, pengen tahu daerah sini'. Intinya, dia enggak menjawab yang sebenarnya dan aku tahu kalau dia berbohong saat itu," jelas Zian.

Kira kini menatap ke arah Dinda seperti yang tadi Rini lakukan.

"Gimana, Din? Mau mencoba menyelidiki?" tanya Kira.

"Aku sih setuju saja, kalau memang mau menyelidiki ke kampung di seberang jalan sana. Lagi pula, akan jauh lebih baik kalau kita bisa mendapatkan sumber pesugihannya secara langsung," ujar Kalin.

Agil menatap ke arah Dinda sambil menggenggam tangan wanita itu dengan erat. Ia jelas merasa takut kalau akan terjadi apa-apa pada Dinda. Namun di sisi lain ia juga merasa bahwa Roy harus segera dihentikan, agar semua hal yang menyangkut soal pesugihan dan penumbalan bisa benar-benar berakhir.

"Kak Agil mau ikut?" tanya Dinda, yang tampaknya tahu mengenai kegelisahan yang Agil rasakan saat itu.

"Memangnya boleh?" tanya Zian.

"Boleh aja kalau memang ada yang mau ikut. 'Kan kita hanya mau menelusuri, bukan mau melakukan sesuatu seperti kemarin yang kami lakukan," jawab Dinda.

"Kalau begitu aku boleh ikut juga, ya? Aku tahu jalan-jalan yang ada di kampung seberang sana," ujar Zian.

"Aduh... sekutunya Yus sudah mulai bermunculan," keluh Kalin.

Yusuf pun langsung menatap wajah Kalin dengan ekspresi kaget.

"Tidak usah protes," ujar Kalin sambil menyuapkan sepotong telur dadar ke mulut Yusuf yang diambilnya dari kotak makan Agil.

Yusuf akhirnya benar-benar batal ingin mengutarakan protes kepada Kalin. Pria itu memutuskan mengunyah telur dadar dengan tenang, sebelum Kalin menyuapkan kotak makan yang sedang Agil pegang ke mulutnya. Deni terlihat senang saat Yusuf benar-benar dibungkam oleh Kalin.

"Boleh aja kalau kamu enggak merasa keberatan. Hanya... kalau bisa Zifan jangan sampai wajahnya terlihat. Kalau memang benar di kampung seberang sana ada dukun yang tidak terlihat seperti dukun, dan dukun itu membantu Roy untuk melakukan pesugihan, dia jelas akan langsung mengenali mana saja orang yang pernah dijadikan tumbal oleh Roy. Jadi... Zifan harus menutupi wajahnya sebisa mungkin," ujar Dinda, menjawab pertanyaan Zian.

"Aku enggak mau ikut, Teh. Jujur aja, aku jauh lebih kepengen istirahat yang banyak saat ini. Tubuhku rasanya belum benar-benar beradaptasi kembali seperti dulu," ujar Zifan.

"Ya udah. Kamu di sini aja sama Yus. Kalin kali ini enggak akan membawa Yus, soalnya tugasnya Yus masih banyak tuh," tunjuk Fira pada tumpukan undangan pernikahan yang belum selesai diberi stiker.

Yusuf akhirnya paham bahwa saat ini dirinya sedang dijadikan tumbal oleh Fira, Kira, Rini, dan Kalin agar tidak bisa ikut bersama Dinda. Mau tak mau, ia jelas harus setuju menemani Zifan yang tetap akan berada di rumah itu sambil mengerjakan undangan pernikahan Dinda dan Agil.

Setelah berpamitan pada Jaya, semua orang yang akan pergi ke kampung di seberang jalan sana pun berangkat usai memastikan kalau Roy sudah tak berada di Cijanur. Deni kembali membantu Jaya di warung, sementara Yusuf benar-benar ada di dalam rumah bersama Zifan sambil mengerjakan undangan.

"Semalam kamu bisa tidur nyenyak, 'kan?" tanya Yusuf.

"Alhamdulillah bisa, Yus. Hanya... mungkin aku masih sedikit paranoid sehingga sesekali terbangun lagi untuk memastikan bahwa keadaan tidak lagi sama dengan sebelumnya," jawab Zifan.

"Kamu merasa takut kalau peliharaannya si Roy mendadak mendarat lagi di atas atap kamar kamu?"

Zifan pun mengangguk seraya tersenyum.

"Lantaran paranoidnya, sampai akhirnya aku memutuskan untuk membaca Al-Qur'an saat terbangun tengah malam. Aku tuntaskan bacaan Al-Qur'an itu sampai jam tiga pagi. Setelahnya aku shalat tahajud, dan barulah benar-benar bisa tidur nyenyak. Dan aku kembali terbangun saat mendengar adzan subuh dari masjid agung," tutur Zifan, mengingat semua yang ia lalui semalam.

"Kenapa kamu enggak tidur aja sama Zian? Ya... untuk sementara waktu maksudku," saran Yusuf.

"Aku enggak tega, Yus. Kak Zian bisa terkena anemia kalau sampai kurang tidur gara-gara aku ada di sampingnya. Makanya, aku tetap memutuskan untuk berdiam di kamarku meski sedikit merasa gelisah."

Jaya--yang baru saja masuk dan hendak ke dapur--mendengar hal itu dan kemudian menepuk-nepuk kedua pundak Zifan dari belakang dengan tegas.

"Intinya jangan pernah lupa ibadah sekarang mah. Mau secapek apa pun, paksa diri. Bangun untuk shalat dan baca Al-Qur'an, jangan malas. Pertahanan diri kita ada di dalam sini," ujar Jaya sambil menunjuk ke dadanya.

Zifan pun tersenyum dan kemudian mengangguk, menandakan bahwa pria itu akan mendengar nasehat yang Jaya berikan. Setelah Jaya berlalu ke dapur, Zifan kembali membantu Yusuf memasang stiker pada undangan. Warung mulai kembali sepi dan belum ada lagi pembeli yang datang. Deni berdiri di ambang pintu dan melihat ke arah Zifan serta Yusuf.

"Kalian mau makan?" tanya Deni.

"Zifan mungkin mau, Kak," jawab Yusuf.

Zifan menoleh ke arah Deni dan tersenyum.

"Boleh, Kak Deni. Nanti kalau Kak Zian datang baru dibayar, ya," ujarnya.

"Makan aja... enggak usah mikirin bayar. 'Kan aku yang nawarin, berarti aku yang tanggung," jelas Deni.

"Atuh kalau begitu langsung sajikan aja, Kak. Zifan pasti berpikir akan disuruh bayar, makanya dia bilang begitu pas Kakak tawarin," jelas Yusuf.

Zifan pun tertawa saat melihat bagaimana ekspresi Yusuf kepada Deni saat itu. Deni pun hanya bisa mencibir, lalu segera mengambilkan satu porsi nasi tongseng beserta keripik tempe untuk Zifan.

* * *

Calon TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang