31 | PERJODOHAN

1.6K 136 4
                                    

Jaya pun bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan menuju ke kamarnya. Deni dan Agil pun menatap punggungnya yang kini menjauh dari dapur sambil mengerenyitkan kening akibat rasa heran serta penasaran. Tak lama berselang, Jaya pun keluar kembali dari kamarnya sambil membawa sebuah bungkusan kain berukuran sedang berwarna putih. Agil dan Deni kini ingin sekali tahu apa isi bungkusan itu, namun Jaya malah duduk bersila di lantai dapur sambil menatap kedua putranya dengan tenang.

"Ayo, lanjutkan cerita kamu tadi," ujar Jaya.

"Tapi, Pak... itu apa? Bapak enggak mau cerita duluan?" tanya Deni.

"Deni, dengar aja yang Agil mau ceritakan. Jangan banyak tanya dulu," pinta Jaya.

Deni pun segera menutup mulutnya dan melirik ke arah Agil. Agil pun segera kembali teringat dengan apa yang didengarnya kemarin dari Dinda.

"Jadi Neng Dinda bilang pada Roy, bahwa dia pindah kembali ke Cijanur adalah untuk menepati janji yang sudah dibuat antara Almarhumah Mamanya dan Almarhumah Emak. Dia mengatakan dengan sangat jelas, bahwa Almarhumah Emak dan Almarhumah Mamanya telah berjanji untuk menjodohkan Neng Dinda padaku Pak. Maka dari itu aku mau bertanya pada Bapak, apakah hal itu benar adanya? Karena saat mengatakan itu dengan lantang di hadapan Roy dan juga Neng Rini, Neng Dinda bahkan mengatakan bahwa apa pun yang Roy tawarkan kepadanya tidak akan setara dengan apa yang sudah diikatkan oleh Almarhumah Mamanya dan juga Almarhumah Emak," tutur Agil, tanpa ada yang terlewat.

Deni terlihat ternganga selama beberapa saat usai mendengar apa yang Agil tuturkan. Ia pun langsung tertawa sumbang setelahnya hingga keadaan mendadak tampak canggung.

"Jangan mengada-ada atuh Agil. Kakak tahu mungkin saat ini kamu sangat ingin meraih hati Neng Dinda, setelah melakukan sebuah kebodohan di masa lalu. Tapi... ayolah Agil, mana mungkin atuh Almarhumah Emak dan ...."

"Itu benar," Jaya buka suara, memotong ucapan Deni.

Deni pun kini menoleh ke arah Bapaknya dengan wajah yang terlihat tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Agil menatap Bapaknya dengan tubuh yang begitu gemetar. Ia tak tahu persis mengapa dirinya bisa merasakan hal aneh itu, namun yang pasti saat ini hatinya jelas sedang berkecamuk ketika menghadapi kenyataan. Jaya membuka bungkusan kain berwarna putih itu dan memperlihatkan sebuah kotak kayu yang saat dibuka isinya terdapat dua buah cincin dan sebuah amplop usang yang masih tertutup rapat. Jaya menyodorkannya pada Agil, namun Agil tak langsung mengambilnya.

"Apa ini, Pak?" tanya Agil.

Jaya tersenyum.

"Itu adalah titipan dari Almarhumah Mamanya Neng Dinda yang dipercayakan kepada Almarhumah Emak, untuk diberikan kepada kamu jika waktunya udah tiba. Almarhumah Mamanya Neng Dinda datang bersama Almarhum suaminya ke sini waktu itu, tepat setelah satu tahun mereka pindah. Kedua orangtuanya Neng Dinda meminta pada Bapak dan Almarhumah Emak agar menerima kehadiran Neng Dinda untuk menjadi salah satu menantu di dalam keluarga kita. Almarhumah Mamanya Neng Dinda berpesan, agar kotak itu diberikan kepada kamu. Karena kamu yang dia pilih untuk menjadi menantunya di masa depan. Dia percaya, bahwa kamu memang pria yang tepat untuk menjadi pendamping bagi Putrinya. Karena kamu adalah alasan terbesar Neng Dinda tidak pernah memilih jalan yang salah dalam hidupnya dan juga alasan terbesar Neng Dinda tidak membuka hati serta diri pada pria manapun. Meskipun saat itu Almarhumah Mamanya Neng Dinda tahu kalau kamu masih tetap memilih Neng Hesti, tapi dia yakin kalau pada akhirnya kamu akan memilih untuk berlabuh pada Neng Dinda. Oh ya, itu surat dari Almarhumah Mamanya Neng Dinda untuk kamu. Dibaca, lalu bilang sama Bapak mengenai keputusan kamu mengenai perjodohan itu," pinta Jaya dengan lembut pada putra bungsunya.

Deni pun mendadak merasa lemas setelah tahu segalanya, sementara Agil kini tengah menangis tergugu di tempatnya.

"Ke--kenapa Ba--bapak baru cerita sekarang? Ke--kenapa Ba--bapak enggak cerita dari dulu? Ka--kalau Agil tahu, pasti Agil yang a--akan cari keberadaan Neng Dinda, Pak. Bu--bukan malah Neng Dinda yang ha--harus kembali datang ke sini demi memenuhi janji yang dibuat Almarhumah Emak dan Almarhumah Mamanya. Itu jelas enggak adil buat Neng Dinda, Pak. Agil udah nyakitin Neng Dinda di masa lalu, tapi dia tetap harus bertahan de--demi memenuhi ja--janji itu," ungkap Agil dengan perasaan bersalah yang benar-benar tak bisa berakhir.

Jaya menghela nafasnya yang begitu berat. Ia segera menepuk-nepuk pundak Agil dengan tegas usai mendengar apa yang dikatakn oleh putra bungsunya tersebut.

"Kamu sedang terpuruk-terpuruknya saat itu. Kamu sedang patah-patahnya saat itu. Meski Bapak juga tahu kalau Neng Dinda bisa menjadi pelipur lara yang hadir di dalam hidupmu, tetap aja itu juga tidak akan adil untuk Neng Dinda. Kalau saat itu kamu tahu bahwa Neng Dinda dijodohkan denganmu, maka kamu hanya akan menikahinya karena terpaksa. Kamu tidak akan menyadari bahwa dia memang wanita yang tepat untuk hidupmu, kamu tidak akan menyadari bahwa dia memang setulus itu ketika mengatakan bahwa dia mencintai kamu. Kamu hanya akan menganggapnya sebagai pengganti Neng Hesti, karena kamu tidak bisa dan tidak mau melupakan Neng Hesti. Tapi lihatlah sekarang, kamu menatap Neng Dinda dan hanya berpusat padanya. Kamu tidak membanding-bandingkan dia dengan Neng Hesti, karena kamu telah menyadari bahwa cinta yang dia berikan adalah yang paling tulus. Apakah kamu paham sekarang?" tanya Jaya.

"Kalau dia enggak paham juga, tabok ajalah Pak. Gila... demi apa coba sampai Almarhumah Mamanya Neng Dinda sendiri merasa yakin bahwa Agil akan menjadi menantunya? Padahal saat itu Deni yakin kalau kedua orangtuanya Neng Dinda tahu bahwa Agil udah nyakitin Neng Dinda secara terang-terangan. Tapi mengherankannya, mereka tetap yakin dengan pilihan putri mereka sampai-sampai rela meminta agar Agil dijodohkan sama Neng Dinda. Jadi kalau Agil tetap enggak ngerti tentang betapa besar rasa sayangnya Neng Dinda untuk dia, langsung tabok aja Pak. Enggak usah mikir-mikir lagi," saran Deni bersungguh-sungguh.

Jaya pun mengambil kotak kayu tadi dan meletakkannya di tangan Agil setelah ia menutupnya kembali seperti semula.

"Udah, jangan nangis lagi. Sekarang pergi ke kamar kamu dan siap-siap pergi ke masjid. Hari ini Mamang kamu enggak bisa ngajar ngaji anak-anak, jadi kamu harus gantiin dia sampai waktu shalat isya selesai nanti," bujuk Jaya.

Agil pun menganggukkan kepalanya sambil berusaha menghentikan airmata yang masih saja mengalir di wajahnya. Didekapnya kotak itu dengan erat, lalu dibawanya ke kamar dan diletakkan di dalam lemari. Sejenak, Agil menatap kotak itu dalam diamnya.

"Emak... maaf karena semasa Emak hidup Agil hanya bisa memberikan Emak rasa kecewa. Tapi Insya Allah, sekarang Agil akan menebus semua itu dan menjalani hidup yang baik bersama Neng Dinda. Agil akan berusaha, Mak. Agil akan berusaha," janji Agil, dalam hati.

* * *

Calon TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang