36 | PANGGILAN YANG BERBEDA

1.6K 122 7
                                    

"Seprai warna apa yang bagus buat di kamarnya Fira, Kira, dan Kalin?" tanya Dinda sambil menatap stok seprai yang ada di dalam lemarinya.

"Semua seprai yang ada di dalam lemari lo itu kalau bukan warna biru muda ya abu-abu, Din. Dua warna itu enggak ada yang disukai sama mereka bertiga. Udah, mendingan kita ke pasar Malangbong aja buat beli seprai baru untuk mereka," jawab Rini.

Dinda pun menghela nafas sambil menutup pintu lemarinya. Ia berbalik dan menatap ke arah Rini dengan wajah lesu.

"Tapi gue lagi malas jalan, Rin," jujur Dinda dengan imut.

"Ya udah sana terbang kalau malas jalan," saran Rini.

"Terbang? Lo kira gue Aladdin yang bisa terbang pakai karpet? Suka ngaco deh," omel Dinda.

"Ya 'kan elo bilang tadi lagi malas jalan. Gue jelas bakalan menyarankan untuk terbang kalau lo malas jalan. Enggak mungkin 'kan gue nyaranin elo buat ngesot kaya si suster yang kita temuin di rumah sakit daerah Malang dua tahun lalu," Rini berupaya menahan tawanya.

"Enggak usah bahas-bahas setan deh. Nanti sekalinya setannya benar-benar datang, hmm... lo bakalan menyesal setengah mati," goda Dinda.

"Dinda! Enggak usah nakut-nakutin! Gue tampol nih!" ancam Rini sambil menempeli Dinda dan menatap ke arah sekitarnya dengan waspada.

Dinda pun tertawa terbahak-bahak saat melihat kepengecutan Rini yang tiba-tiba saja kumat. Mereka berdua sama-sama turun ke bawah untuk bersiap-siap pergi ke pasar Malangbong. Mereka berdua mengunci pintu dengan baik dan bahkan memastikan kalau pintu itu takkan bisa dibuka meski dipaksa sekalipun. Dinda memang selalu waspada jika sudah menyangkut dengan keamanan rumah. Dia tidak pernah lalai dalam urusan tersebut.

Setelah keluar dari rumah, mereka segera berjalan menuju warung tongseng milik Jaya untuk sarapan bubur di sana. Meskipun tadi mereka sudah menyantap nasi goreng, namun belum lengkap rasanya jika mereka tidak menikmati yang manis. Jaya tersenyum senang saat melihat kedatangan Dinda dan Rini pagi itu. Di warung sudah ada beberapa orang yang sedang makan bubur dan beberapa lagi terlihat sedang menunggu bungkusan pesanan mereka. Deni terlihat baru keluar membawa panci berisi bubur yang baru, setelah panci sebelumnya tampak sudah kosong.

"Assalamu'alaikum Mang Jaya... Kak Deni," sapa Dinda dan Rini dengan kompak.

"Wa'alaikumsalam," jawab Jaya dan Deni dengan senyum yang tampak berseri-seri.

"Mau pesan apa, Neng?" tanya Jaya.

"Pesan bubur ketan hitamnya satu sama bubur kacang hijaunya satu, Mang," jawab Dinda.

"Kalau begitu tunggu sebentar ya, Mamang bungkus dulu satu pesanan lagi," ujar Jaya.

"Iya Mang, santai aja. Kita enggak akan ke mana-mana kok sebelum makan bubur di sini. Lagi pula, hari ini niatnya kita cuma mau ke pasar Malangbong aja, buat cari seprai," tanggap Rini.

"Oh begitu. Cuma berdua aja ke pasarnya?" tanya Deni.

"Iyalah berdua Kak, mau ngajak siapa lagi coba? Nah di rumah kami saat ini hanya ada aku dan Dinda. Sahabat kami yang tiga orang masih dalam perjalanan ke sini, makanya kami mau carikan mereka seprai baru sebelum mereka datang," jawab Rini.

"Tapi kalau Kak Deni mau ikut ...."

"Kakak boleh ikut?" potong Deni atas ucapan Dinda dengan cepat dan penuh semangat.

"Ya enggak boleh dong. Nanti siapa yang mau bantuin Bapak kalau Kak Deni ikut sama kita ke pasar Malangbong," jawab Dinda sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

Dinda memang selalu saja jahil terhadap Deni sejak dia masih remaja, dan hal itu sudah diketahui oleh Jaya serta Agil sejak dulu. Deni kini berkacak pinggang sambil memasang wajah sebal luar biasa saat tahu kalau Dinda hanya berniat menjahilinya. Pria itu segera masuk ke dalam rumah sambil menghentak-hentakan kakinya. Dinda dan Rini pun tertawa pelan saat melihat tingkah Deni yang sungguh tidak peduli pada usianya yang sudah berkepala tiga. Deni tetap saja terkadang seperti anak kecil dan tak segan-segan memperlihatkan tingkahnya tersebut pada orang lain.

Agil keluar tak lama setelah Deni masuk ke dalam rumah. Tampaknya Deni baru saja mengadu pada Agil kalau Dinda menjahilinya.

"Siapa yang mau pergi ke pasar pagi-pagi begini? Kalian berdua?" tanya Agil setelah duduk tepat di samping Dinda.

"Kak Deni yang bilang, ya?" Dinda bertanya balik.

Agil pun mengangguk.

"Duh, Kak Deni hobi ngadu ya," keluh Rini sambil menyipitkan kedua matanya tepat ke arah pintu rumah.

Dinda dan Agil pun tertawa diam-diam saat mendengar keluhan Rini.

"Dinda sama Rini mau ke pasar untuk beli seprai. Kalin, Kira, dan Fira udah ada di perjalanan menuju ke sini," ujar Dinda sambil menatap Agil yang saat itu tampak baru saja selesai mandi.

Rambut pria itu masih basah dan ada beberapa ujung rambutnya yang masih terdapat tetesan air. Agil tampak tidak sempat benar-benar mengeringkan rambutnya, karena mendengar dari Deni mengenai kedatangan Dinda dan tujuan Dinda yang hendak pergi.

"Kakak boleh ikut?" tanya Agil, terdengar seperti permohonan.

"Jangan. Nanti enggak ada yang bantuin Bapak kalau Kakak ikut ke pasar sama Dinda. Kasihan Bapak kalau harus kerja sendiri di warung," jawab Dinda, pelan.

Agil seketika terdiam dengan senyum merekah di wajahnya. Ia merasa begitu bahagia karena untuk pertama kalinya ia mendengar Dinda menyebut Jaya bukan dengan panggilan 'Mamang', melainkan dengan panggilan 'Bapak'. Dan tampaknya Dinda sama sekali tidak canggung ketika menyebutkan panggilan tersebut di hadapan Agil.

"Ya udah, Neng Dinda pergi aja sama Neng Rini. Tapi ingat, di jalan Neng Dinda harus selalu hati-hati dan waspada. Nanti Kakak tungguin di ujung jalan kalau Neng Dinda udah mau pulang. Kirim pesan lewat whatsapp aja ya, biar Kakak tahu kalau Neng Dinda udah sementara mau pulang," pesan Agil.

Dinda pun mengangguk seraya tersenyum hangat ke arah Agil. Hal itu membuat perasaan Agil semakin bahagia saat menatap senyum hangat tersebut.

"Agil, ini buburnya Neng Dinda dan Neng Rini tolong dibawakan," titah Jaya.

"Iya, Pak," tanggap Agil dengan cepat.

Agil segera membawakan dua mangkuk bubur untuk Dinda dan Rini. Dinda mencegahnya pergi selama beberapa saat setelah meletakkan mangkuk. Ia mengeluarkan satu tumpuk kotak makan dari bawah meja dan menyerahkannya pada Agil.

"Itu nasi goreng manado yang tadi Dinda masak untuk Kak Agil, Kak Deni, sama Bapak," bisik Dinda agar Rini tak mendengarnya, karena tadi ia sengaja menyembunyikan kotak makan itu di dalam paper bag yang dibawanya.

Hal itu membuat Agil merasa semakin hangat saat berada di sisi Dinda. Perhatian yang tulus dari wanita itu benar-benar memenuhi hidupnya yang begitu hampa selama beberapa tahun belakangan.

"Terima kasih ya, Neng. Pasti akan segera kami habiskan nasi gorengnya," balas Agil, ikut berbisik.

* * *

Calon TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang