11 | NIATAN BUSUK ROY

2.6K 192 17
                                    

Dinda pun menerima ponsel yang Agil sodorkan, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Ia menghubungi ponselnya menggunakan ponsel Agil, agar nomor ponsel Agil juga bisa langsung ia simpan pada kontak di ponselnya. Rini mengawasi kedua insan yang tengah saling berdiam diri sambil menatap ponsel mereka. Ekspresi Agil sangat memperlihatkan kekhawatiran terhadap Dinda, sementara Dinda juga memasang ekspresi yang sama persis dengan Agil.

"Dua orang ini sadar enggak ya kalau masing-masing dari mereka tuh punya perasaan yang sama? Kalau sampai enggak sadar, uh... kebangetan!" batin Rini.

"Udah Dinda simpan nomornya Kak Agil di sini," ujar Dinda, seraya memperlihatkan layar ponselnya pada Agil.

"Iya, Kakak juga udah simpan nomor Neng Dinda. Terima kasih ya, Neng," ucap Agil.

"Terima kasih? Terima kasih untuk apa, Kak Agil?" tanya Dinda.

"Uhm... untuk... untuk... upaya Neng Dinda saat meredakan amarah Kakak tadi," jawab Agil, agak sulit menemukan jawaban.

Ia tak mau Dinda merasa risih kepadanya, jika sampai tahu bahwa dirinya kini menaruh rasa terhadap wanita itu. Ia merasa malu dan tak pantas untuk menaruh rasa pada Dinda, setelah apa yang pernah ia lakukan di masa lalu.

"Tadi Dinda enggak melakukan apa pun, Kak. Dinda hanya mencoba membantu Kak Agil untuk lebih mendahulukan akal sehat ketimbang emosi. Jadi Kak Agil enggak perlu berterima kasih sama Dinda. Itu cuma sebuah upaya yang bahkan sering Dinda gunakan ketika sedang menenangkan seseorang," jelas Dinda.

Rini pun menepuk-nepuk pundak Agil dengan tegas.

"Lain kali, usahakan akal sehat dulu yang dipakai. Jangan emosi terus yang dipakai. Kadang tanpa kita sadari, emosi itu selalu bisa membutakan mata siapa aja disaat yang tidak tepat. Makanya tadi Dinda berusaha untuk membuat Kak Agil tenang," tambah Rini.

Agil pun menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia paham dengan apa yang dikatakan oleh Rini dan Dinda saat itu.

"Ya udah Kak Agil, Dinda sama Rini pulang dulu ya. Soalnya masih banyak pekerjaan di rumah yang harus Dinda dan Rini selesaikan," pamit Dinda.

"Iya, Neng. Kalau udah sampai rumah tolong kabarin Kakak ya," pinta Agil.

"Iya, Kak Agil. Insya Allah akan segera Dinda kabari kalau udah sampai di rumah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Dinda dan Rini pun berjalan menjauh dari warung tongseng milik Jaya. Dinda berbalik sesekali untuk memastikan kalau Agil juga sudah kembali masuk ke dalam warung. Setibanya mereka di rumah, mangkuk milik Hesti mereka letakkan di dekat pintu depan agar nanti bisa dikembalikan dengan mudah tanpa harus repot-repot mencari. Semua belanjaan disusun ke dalam kulkas dan lemari penyimpanan, agar Dinda atau Rini bisa memasak sesuka hati kapan pun yang mereka mau. Semua energi Dinda pagi itu sudah terkuras karena harus menghadapi makhluk halus serta menenangkan perasaan Agil yang marah terhadap Hesti dan suaminya. Sehingga wajah Dinda saat ini tak terlihat ceria seperti yang biasanya Rini lihat.

"Din," tegur Rini.

"Iya, Rin? Kenapa?" tanya Dinda.

"Lo sadar enggak, kalau Kak Agil kayanya benar-benar menyesali apa yang pernah terjadi saat dia menolak pernyataan cinta dari elo buat dia?"

"Iya gue tahu. Cuma gue enggak mau menanggapi terlalu jauh, Rin. Gue bukan anak remaja lagi dan gue enggak perlu baper hanya karena dia merasa menyesal pernah menolak gue di masa lalu. Seperti yang gue bilang sama lo tadi malam, bahwa gue enggak siap ditolak untuk yang kedua kalinya. Jangan sampai gara-gara gue kebaperan, Kak Agil akhirnya menjauh lagi dari gue. Gue enggak siap untuk menghadapi situasi seperti itu lagi, Rin. Hati gue enggak siap patah untuk yang kedua kalinya," jawab Dinda, jujur.

Calon TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang