34 | SURAT

1.5K 119 4
                                    

DINDA
Dinda enggak marah kok sama Kak Agil, jadi Kak Agil enggak perlu meminta maaf. Maaf karena baru balas pesan dari Kakak. Dinda sedikit butuh waktu untuk mengatur perasaan yang sedang kacau setelah bicara dengan Neng Hesti tadi. Energi negatif yang ada pada diri Neng Hesti cukup besar, sehingga akhirnya Dinda terbawa suasana dan enggak bisa menahan diri lagi. Maaf juga soal Dinda yang tadi mengungkit apa yang telah Kak Agil lalukan di masa lalu saat bicara dengan Neng Hesti. Dinda sangat merasa bersalah karena benar-benar tidak bisa menahan diri tadi. Maafin Dinda juga ya Kak. Dinda harap Kak Agil enggak akan menjauh dari Dinda setelah mendengar semua yang Dinda katakan tadi di depan Neng Hesti.

Agil tersenyum singkat setelah selesai membaca pesan balasan yang Dinda kirim. Ia segera mengetik balasan kembali untuk wanita itu, sambil sesekali melirik ke arah kotak kayu yang tadi sore diberikan oleh Bapaknya. Setelah selesai mengirim pesan pada Dinda, Agil pun meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia membuka kotak kayu yang berisi dua buah cincin dan juga sebuah amplop berisi surat. Agil menatap isi kotak itu selama beberapa saat, sebelum akhirnya meraih amplop berisi surat dari Almarhumah Ibunya Dinda.

Dibukanya amplop itu dan dikeluarkannya selembar kertas dari dalamnya. Tulisan tangan Almarhumah Ibunya Dinda terlihat sangat jelas di sana dan membuat kedua tangan Agil gemetar seperti tadi sore ketika menerima kotak kayu dari Bapaknya.

Assalamu'alaikum Nak Agil. Apa kabar? Harapan saya sebagai calon Ibu mertuamu adalah semoga kamu dalam keadaan baik-baik saja ketika sedang membaca surat ini. Saya yakin, saat membaca surat ini kamu pasti sudah tahu bahwa dirimu akan dijodohkan dengan Dinda. Maaf, jika mungkin kesannya saya beserta Ayahnya Dinda begitu memaksa kamu untuk menjadi pendamping hidup putri tunggal kami. Namun di balik permintaan dan harapan yang kami gantungkan padamu ini, ada sebuah harapan sederhana yang ingin kami wujudkan di dalam hidup Dinda.

Nak Agil, kita tidak pernah tahu kapan dan bagaimana caranya saat harus pergi dari dunia ini. Begitu pula dengan saya dan Ayahnya Dinda. Kami tak pernah tahu kapan dan bagaimana caranya kami akan meninggalkan putri kami saat ajal datang menjemput. Maka dari itu, kami berharap saat ajal datang menjemput kami, Dinda telah berada di sisi seseorang yang tepat untuk mendampingi hidupnya di masa depan. Kapan pun kamu membuka surat ini, kami harap kamu sudah mengerti bahwa Dinda takkan pernah mengecewakanmu sampai akhir hayatnya.

Mengapa kamu yang kami pilih? Pasti hal ini terlintas dengan sangat jelas di dalam pikiranmu saat ini. Saya akan sedikit bercerita mengenai Dinda, karena pilihan kami yang jatuh kepada dirimu adalah karena bersangkutan dengan Dinda. Apakah kamu masih ingat saat pertama kali bertemu Dinda ketika membantu kami yang baru pindah rumah ke Cijanur? Ya, pada hari itu kamu dan Kakakmu ikut membantu kami menurunkan barang-barang dari mobil pick-up. Awalnya, Dinda tidak tertarik sama sekali ketika melihat kedatangan Deni yang hendak membantu. Dinda tetaplah sama seperti biasanya, tidak peduli pada anak laki-laki manapun. Tapi saat kamu datang menyusul tak lama kemudian dan langsung menghentikan Dinda agar tidak mengangkat barang-barang yang berat, pada saat itulah Dinda mulai tertarik dan memperhatikan kamu. Kamu memintanya untuk berdiri saja di teras, agar Dinda tidak kepanasan akibat teriknya sinar matahari. Dinda ingat betul dengan apa yang kamu katakan saat itu padanya dan bahkan dia mencatatnya di dalam salah satu buku agenda favoritnya. Kamu bilang padanya seperti ini, 'Jangan mengangkat yang berat-berat ya, nanti kamu tidak akan tinggi saat beranjak remaja. Berdiri saja di teras, jangan terkena panas matahari yang terik seperti hari ini karena nanti kamu bisa sakit. Adik manis tidak mau sakit, 'kan? Kalau kamu sakit nanti tidak akan bisa main sama Kakak dan Kakak tidak bisa memperkenalkan kamu sama teman-teman yang lain.', begitu katamu padanya. Apa kamu ingat?

Sejak saat itu, Dinda selalu memperhatikanmu. Dia selalu banyak bercerita tentangmu jika sampai di rumah usai bermain. Dia selalu bilang kalau kamu itu sangat baik, selalu bersedia membantu jika ada yang butuh pertolongan, selalu bersedia mengajari Dinda kalau sedang punya PR yang sulit, dan kamu juga sangat ramah serta rendah hati. Bagi Dinda, kamu adalah dunianya sejak pertama kali kalian bertemu. Bagi Dinda kamu adalah satu-satunya pria yang dia sayangi sepenuh hati. Saya tahu kalau kamu pernah menyakitinya dengan cara mengungkapkan perasaan pada Neng Hesti setelah Dinda mengutarakan perasaannya padamu. Dia bercerita semuanya pada saya saat itu. Tapi dia tidak menangis, dia justru mengatakan akan mundur dan membiarkan kamu bahagia dengan wanita yang kamu pilih. Tapi setelah saya perhatikan, tampaknya Neng Hesti yang tidak serius menyayangi kamu. Maka dari itu, saya berinisiatif untuk meminta pada kedua orangtuamu agar menjodohkanmu dengan Dinda suatu saat nanti.

Entah mengapa saya merasa kalau kamu dan Dinda memang ditakdirkan untuk bersama. Apakah itu hanya pikiran saya saja, atau mungkin itu petunjuk dari Allah, saya tidak tahu. Yang jelas, Dinda tidak pernah bisa melupakanmu meski kami sudah meninggalkan Cijanur untuk waktu yang sangat lama. Dia menutup diri dari para pria yang berusaha mendekatinya ataupun yang terang-terangan datang ke rumah untuk memperkenalkan diri pada kami. Tapi pada saat itu terjadi, kami selalu mengatakan pada para pria itu bahwa Dinda sudah punya jodohnya sendiri karena kami sudah mengatur demikian untuk hidupnya. Dinda mungkin tahu jawaban kami itu, sehingga dia merasa sangat aman saat sedang tidak berada di dekatmu. Dia aman dari incaran pria lain dan dia sangat bersyukur karena kami melindunginya.

Maaf kalau surat ini sangat panjang. Sekali lagi, saya harap kamu bisa memahami tentang harapan kami yang sederhana mengenai perjodohanmu dengan Dinda. Tolong jaga dia baik-baik. Dia adalah putri kami satu-satunya yang berharga. Cintai dia seperti dia mencintaimu, dan sayangi dia seperti dia menyayangimu. Insya Allah, Dinda takkan pernah berkhianat ataupun berpaling darimu. Karena kamu adalah tempat bernaung yang paling dia impikan. Sekian dulu surat dari saya, Nak Agil. Jika saya dan Ayahnya Dinda panjang umur, kita pasti akan bertemu lagi sebagai mertua dan menantu. Namun apabila kami tidak panjang umur, maka setidaknya kami sudah tenang karena telah menitipkan Dinda padamu untuk menjalani kehidupan masa depannya. Wassalamu'alaikum.

Dari Ibunya Dinda, Arini Larasati.

Agil pun mendekap surat itu di dadanya setelah selesai membaca isinya. Sekuat mungkin ia berusaha untuk tidak menangis lagi sejak tadi. Namun apa daya, dia adalah sosok pria yang begitu rapuh sehingga sulit untuk tidak menangis. Airmata telah membanjiri wajahnya seperti yang sudah-sudah.

"Ya Allah, begitu dalamnya perasaan Neng Dinda terhadapku namun aku tak pernah menyadarinya. Mengapa aku harus menyia-nyiakan dia di masa lalu? Mengapa aku harus buta hanya karena Neng Hesti jauh lebih cantik. Neng Dinda bahkan tidak memandang status sosial dan kekayaanku, tapi aku malah membandingkan kecantikannya dengan kecantikan wanita lain. Aku berharga untuknya, tapi kenapa aku tidak melihatnya berharga di masa lalu? Kenapa Ya Allah? Kenapa?" tanya Agil, membatin.

* * *

Calon TumbalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang