Ten

789 146 9
                                    

Ni-Ki memandangi panti tempat nya tinggal saat ini. Panti itu dibangun dengan layak untuk menjadi tempat tinggal anak-anak yang tidak memiliki orang tua atau anak terlantar. Tadi dia sudah berkenalan dengan Ibu Panti dan anak-anak Panti lainnya, dia langsung diajak berkeliling. Ibu panti menyambutnya dengan senang, begitupun anak panti yang lain.

Saat ini dia tengah diajak berkeliling panti bersama dengan seorang pria sekitaran usia kuliah yang merupakan anak tertua di panti itu. Anak itu sebenarnya sudah bekerja dan bisa membeli rumah sederhana. Tapi dia tidak ingin meninggalkan panti, karena hanya ibu dan anak-anak panti lah keluarga yang dia punya sekarang. Pria itu merupakan salah satu tulang punggung anak-anak panti.

Sebenarnya pria itu sudah melarang anak-anak remaja Panti untuk bekerja. Tapi apa boleh buat, anak-anak panti jumlahnya cukup banyak, dan juga tenaga dibutuhkan untuk membantunya membackup kebutuhan mereka. Jadi dia mengizinkan asal jangan sampai sakit. Pria itu juga ingin anak-anak panti sekolah sebenarnya. Tapi dia belum mampu mencukupi keinginan itu. Jadi dia yang mengajarkan anak-anak panti pelajaran umum disaat ada waktu senggang.

Pria itu adalah K atau Kei. Kebanggaan sekaligus ayah dari anak-anak Panti.

Kei membawa Ni-Ki ke halaman belakang panti. Disana ada kolam ikan kecil milik 10 remaja yang merupakan partner kerja Ni-Ki di konstruksi bangunan sekarang.

Kei berjongkok di samping kolam ikan dan menarik tangan Ni-Ki agar berjongkok di sebelahnya. Suasana di sekitar kolam sedang sepi. Hanya ada mereka berdua disana.

"Ni-Ki, kakak mau kamu jawab jujur. Kakak janji bakal rahasiakan semuanya. Kamu belum SMP kan? Kamu masih SD kan?"

Ni-Ki tersentak kaget. Bagaimana bisa Kei tau?

Ni-Ki menggeleng cepat dan membuang arah pandang nya ke sembarang arah, asal bukan ke arah Kei yang menatap nya serius.

"Tidak... Aku sudah SMP kok."

Kei terkekeh kecil dan mengusak pelan rambut Ni-Ki, "Tak apa kalau kamu belum mau jujur. Tapi kakak tau hanya dengan sekali melihatnya. Apa alasan kamu keluar dari rumah dan mengaku kalau sudah SMP?"

Ni-Ki menundukkan kepalanya dan menghela nafas berat, "Maaf kak. Aku tidak bisa menceritakan nya secara keseluruhan. Tapi aku beri tahu sedikit. Kakak janji jangan beritahu siapa-siapa?"

Ni-Ki sebenarnya ragu untuk menceritakan masalahnya pada orang lain. Tapi entahlah, hatinya memerintahkan agar dia menceritakan pada sosok pria didepannya.

Kei tersenyum tulus dan mengangguk, "Janji."

Ni-Ki tersenyum tipis, memandangi sekitar kolam dan mendongakkan wajahnya, memandangi bintang-bintang di langit, "Harus memilih antara bertahan tapi pahit atau berjuang tapi manis."

Kei sempat termangu di tempatnya. Dia tahu ungkapan anak kecil yang barusan berjalan menjauhinya itu dalam. Yang dia heran, pemikiran Ni-Ki bahkan jauh dibanding usianya saat ini. Yang Kei tau, anak kecil itu itu bukan sembarang anak kecil yang tidak tahu apapun. Anak kecil itu benar-benar sesuatu.

Kei yakin. Anak kecil itu bukan sembarang anak kecil dan anak itu tahan banting. Kei tidak tahu sudah seberapa banyak anak itu mengalami kesulitan. Tapi yang dia yakin, anak itu sudah menghadapi berbagai hal yang membuatnya semakin lama semakin kuat.

Kei senang melihat semangat dari anak itu. Tapi juga sedih kalau mengetahui fakta anak itu masih kecil bahkan belum remaja tapi sudah berjuang sendirian. Tapi Kei janji akan membantu anak itu sebisanya dan tidak membiarkan Ni-Ki berjuang sendirian.




...




Kini sudah pagi. Ni-Ki membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk, setelah mendengar suara grasak grusuk di sekitarnya. Rupanya semuanya sudah bangun. Sebenarnya, Ni-Ki bukan tipe yang susah bangun. Hanya saja, semalam Iya membantu Kak Kei dan ibu panti menata persediaan di dapur sampai malam. Hal itu yang membuatnya kelelahan hingga ia pikir ia butuh istirahat lebih. Tapi tentunya itu tidak akan Ni-Ki lakukan. Dia telah berjanji akan mengabdi di tempat barunya tinggal.

Ni-Ki meregangkan otot-ototnya dan melipat selimut meski beberapa kali menguap.

Daniel yang melihat itu mendatangi Ni-Ki, "Ni-Ki, kamu terlihat lelah sekali. Sepertinya kamu kurang tidur. Tidurlah sebentar lagi. Aku akan mengatakan kepada ibu panti, dan pasti akan diizinkan."

Ni-Ki tersenyum hangat karena merasa memiliki teman yang benar-benar teman baginya. Perhatian tulus tanpa ada maksud terselebung.

Ni-Ki tersenyum lembut dan menepuk-nepuk bahu Daniel yang lebih tinggi darinya, "Tidak tidak. Aku hanya mengantuk sedikit. Senam kecil juga akan membuatku lebih segar."

"Kamu yakin?"

"Yakin!"

"Baiklah. Ayo segera mandi."

Ni-Ki mengernyitkan dahinya. Mandi? Bukankah nantinya mereka akan tetap bekerja di konstruksi bangunan? Tetap akan kotor kan? Kenapa harus mandi?

Bukannya malas mandi. Dia pikir itu hanya akan membuang-buang air saja.

"Mandi? Tapi, kita kan akan bekerja di konstruksi bangunan. Akan bertemu dengan batu bata, pasir, tanah, dan debu. Bukankah itu sama saja dengan membuang-buang air?"

Daniel terkekeh kecil. Dari pernyataan Ni-Ki, dia tahu kalau temannya itu adalah pribadi yang hemat dan menggunakan sesuatu seefektif mungkin dengan mempertimbangkan banyak hal.

"Iya aku tau. Tapi kita semua selalu mandi sebelum berangkat bekerja. Mau itu bekerja ke konstruksi bangunan, ke pasar, atau ke mana saja, tidak peduli akan kotor atau bagaimana, kita tetap mandi. Karena, kalau merasa segar bekerja juga pasti akan semangat. Lagian tidak akan membuang-buang air kok. Kita tidak menggunakan air PAM atau yang berbayar. Jadi tenang saja."

Ni-Ki mengangguk mengerti dan mengambil handuk dari tas ranselnya. Seketika kegiatannya berhenti kala melihat pakaian di dalam tas nya hanya ada 3 pasang.

Daniel yang mengintip ke dalam tas milik Ni-Ki pun terkejut. Dia pikir Ni-Ki membawa banyak baju di tasnya.

"Ah untuk baju! Emm, kamu boleh pakai baju ku. Tidak masalah! Kami terbiasa meminjam baju satu sama lain. Itu sudah menjadi kebiasaan di sini."

Ni-Ki benar-benar tersentuh. Tanpa aba-aba dia memeluk tubuh Daniel dan menggumamkan kata terima kasih berkali-kali.

Daniel menepuk-nepuk bahu Ni-Ki dan mengangguk sambil tersenyum manis, "Iya tidak apa-apa. Kamu sekarang kan sudah menjadi bagian dari kami. Jadi kami akan membantu mu disini sebisa kami."

"Terima kasih banyak."

"Iya sama-sama."




















































To Be Continue

Don't forget to vote and comment chingu-deul

Thank You.

Hurt, but It's Okay | Ni-Ki (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang