.
.
.
.
.
Menjelang tengah malam, hujan turun mengguyur bumi dengan derasnya, hawa dingin semakin terasa, membuat mereka lebih memilih bergelung nyaman dalam selimut tebal. Tapi berbeda dengan sosok mungil yang tengah meringkuk kedinginan dan merintih lirih, kondisi gudang yang gelap membuat tubuh mungil itu semakin bergetar ketakutan.Fares hanya bisa meringkuk dan merintih kesakitan, tubuhnya hampir mati rasa kecuali punggung dan kepalanya yang terus saja berdenyut sakit. Lagi untuk kesekian kalinya selama sepuluh tahun, Fares akan berakhir di dalam gudang yang gelap.
"T-takutt..."
"M-mama..."
Fares hanya bisa menutup matanya saat lelah menghampiri nya, merengut kesadaran juga rasa sakitnya dan menggantinya dengan mimpi indah yang selama ini begitu diimpikan oleh Fares.
Cklek
Pintu gudang terbuka, seorang wanita paruh baya menghampiri tubuh mungil Fares dengan panik. Dengan segera wanita yang tidak lain adalah Maya, asisten rumah tangga sekaligus seorang yang menjaga Fares dan Raefal itu langsung membalik posisi tubuh Fares.
"Ya gusti, den Fares." wanita itu menangis saat melihat wajah pucat Fares, juga darah yang masih keluar dari luka di punggungnya.
"Den Fares, bangun den, kita pinda kekamar dulu yuk." Maya menepuk pelan pipi Fares yang terasa dingin, tapi tak ada respon apapun dari Fares. Remaja mungil itu masih setia terpejam, menyembunyikan manik hitam indah miliknya.
"Den Fares, bagun den jangan buat bibi takut." maya sudah menangis saat Fares masih tidak memberi Respon. Dengan cepat wanita itu berlari keluar dari gudang dan menghubungi pak mun di pos satpam, menggunakan telpon yang ada di dapur.
"Pak mun tolong kedalem sekarang ya, bantu saya." setelah mendapat jawaban dari pak mun, bi maya segera kembali kegudang, setelah sebelumnya mengambil selimut dari kamarnya untuk membalut tubuh ringkih Fares.
"Sabar ya den, tunggu pak mun." bi maya memang mendapat perintah agar membiarkan Fares keluar dari gudang pukul empat pagi, agar Raefal tidak tau bahwa sang kakak dikurung dalam gudang semalaman.
"Bi maya ada apa? Ya gusti den Fares." pak mun yang tidak menemukan orang didapur, langsung mencari bi maya kegudang, dan benar saja bi maya ada didalam gudang bersama dengan majikan kecilnya.
"Bantu angkat den Fares ke kamarnya yo pak." pak mun langsung mengangkat tubuh mungil Fares dan membawanya keluar dari gudang, diikuti bi maya yang berjalan dibelakangnya dengan membawa baskom berisi air hangat juga handuk kecil.
"Tuan Abi, ngehukum den Fares lagi tanpa di kasih makan ya bi?" bi maya hanya mengangguk. Abi memang melarang bi maya memberi Fares makan malam.
"Tuan tega bener sama anak sendiri."
.
.
.
.
.
Mata sayu Fares perlahan terbuka, mengerjap sesaat saat netranya memandang langit-langit kamarnya. Fares mendesis sakit saat menggerakan tubuhnya, dia ingat bahwa semalam dia mendapat hukuman dari Abi, sang papa. Fares mengela nafas lelah, pasti pak mun yang memindahkannya ke kamar.Fares melirik jam didinding kamarnya, matanya seketika membola saat mengetahui sekarang sudah pukul enam pagi. Fares bergegas bangkit, jika dia tidak segera mandi maka dia akan terlambat kesekolah.
"Kenapa bi maya gak bangunin aku sih." Fares berjalan kekamar mandi, mengabaikan rasa sakit dipunggungnya yang kembali terasa.
"Sshh." Fares memejamkan matanya saat luka di punggungnya terasa perih saat terkena air.
"Tahan Fares, tahan, udah biasa kok." Fares menyemangati dirinya sendiri dan segera menyelesaikan mandinya.
Fares memakai seragamnya, merapikannya sebelum akhirnya keluar dari kamar. Fares mengernyit saat mendapati sepi rumahnya, diruang makan hanya ada Abi, tanpa adanya kehadiran Raefal.
"P-pagi pa." Fares bergegas duduk dimeja makan, segera mengambil selembar roti tawar dan mulai memakannya, mengabaikan Abi yang sedari tadi memperhatikan tingkahnya.
"Raefal kemana pa?" Fares memberanikan diri bertanya pada Abi, kemana sosok manis sang adik. Bagaimana pun Fares selalu menyayangi Raefal.
"Raefal menginap dirumah nenek sejak semalam." Fares kembali terdiam, ternyata itu alasan Raefal tidak hadir dimeja makan pagi ini.
"Kenapa kamu gak makan roti bakarnya?" Fares menunduk.
"Maaf pa, tapi Fares alergi kacang."
Deg
Suara lirih Fares yang mengatakan bahwa dia alergi kacang membuat Abi merasa bersalah. Fares sama seperti Renita yang alergi terhadap kacang, sedangkan Raefal sama seperti dirinya yang sangat suka selai kacang. Dan Abi baru mengetahui hal itu, atau mungkin Abi melupakannya karena terlalu sibuk dengan Raefal.
"Maafkan papa, hari ini papa antar kamu kesekolah." Fares langsung mengangkat wajahnya dan menatap tidak percaya pada Abi.
"Beneran? Papa mau anter Fares kesekolah?" Abi mengangguk, hatinya sesak saat melihat binar bahagia dimata putra sulungnya.
"Ayo cepat, papa tunggu dimobil." Fares segera menghabiskan roti tawar yang sedari tadi hanya dipegangnya dan menyusul Abi ke mobil. Ini pertama kalinya Abi kembali mengantarnya kesekolah sejak dia lulus sekolah dasar.
Fares terus tersenyum bahagia selama perjalanan kesekolah, mengabaikan lirikan aneh dari Abi yang menyetir disebelahnya.
"Kenapa kamu senyum-senyum gitu?" Fares menoleh kearah Abi yang menyetir.
"Fares bahagia pa, ini pertama kalinya papa anterin Fares lagi." lagi-lagi Abi tertohok oleh ucapan polos Fares.
"Nanti kamu pulang jam berapa?" Fares tampak sedikit berpikir sebelum menjawab.
"Jam dua pa, Fares bakal pulang tepat waktu kok." Fares meremas tangannya karena takut, dan itu tidak lepas dari perhatian Abi.
"Nanti papa jemput kamu, jangan pulang dulu sebelum papa jemput kamu, ngerti?" Fares mengerjap sebelum akhirnya mengangguk.
"Ngerti pa, Fares gak akan pulang sebelum papa jemput." Abi tersenyum melihat Fares yang menurutinya.
"Ya udah sana sekolah yang rajin, Ah Fares." Abi kembali memanggil Fares saat remaja mungil itu akan keluar dari mobil.
"Iya pa?" Fares menatap bingung pada Abi yang mengangsurkan dua lembar uang seratus ribu.
"Uang saku kamu, jangan lupa beli sarapan, maafin papa yang lupa soal alergi kamu." Fares menerima uang dari Abi dan tersenyum.
"Makasih pa, Fares sekolah dulu." Abi berdehem saat Fares sudah turun dan masuk kearea sekolah. Pria itu tersenyum saat melihat putra bungsunya sudah dihampiri oleh seorang siswa dengan tinggi diatas rata-rata.
"Maafin papa Res."
.
.
.
.
.
Suasana hati Fares sangat cerah hari ini, bahkan remaja mungil itu membiarkan sosok tinggi Angkasa merangkul pundaknya sejak dari gerbang hingga tiba dikelas, dan itu menghasilkan pekikan iri dari Bayu yang menyambut mereka dipintu kelas."Ah Angkasa curangg!!!" Angkasa hanya memasang senyum mengejek saat mendengar pekikan Bayu.
"Bayu jangan teriak masih pagi, nanti leher kamu sakit." Bayu mengerjap saat mendengar suara lembut milik Fares. Jika biasanya yang akan menegurnya adalah Gio maka pagi ini Fares lah yang menegurnya, membuat Bayu langsung diam menuruti.
"Karena yang bilang Fares, jadi gue bakal diem." Bayu langsung duduk di bangkunya, bahkan mengabaikan godaan Angkasa yang mencoba membuatnya berteriak.
"Pagi Res, udah sarapan?" jika biasanya Fares hanya akan menanggapi pertanyaan Gio dengan anggukan, maka pagi ini Fares menjawab langsung pertanyaan Gio.
"Udah tadi." Gio tersenyum manis pada Fares, membuat Fares mau tidak mau ikut tersenyum.
"Ya tuhan, rejeki dateng pagi, gue lihat senyumnya Fares!!" Bukan bayu yang memekik, melainkan Haris yang baru saja duduk dibangkunya dan melihat senyum manis milik Fares.
Plak
"Jangan teriak masih pagi." dengan tidak berperitemanan Bayu menggeplak kepala Haris, seperti yang biasa anak itu lakukan padanya.
"Sakit bego." Fares kembali tersenyum saat melihat interaksi kedua temannya itu. Bisakah Fares menganggap mereka teman mulai sekarang?
"Lebih sering senyum kayak gitu Res, biar lo gak keliatan dingin."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wächter
FanficFares hanya seorang remaja berusia 17 tahun, yang memiliki mimpi dan keinginan sangat sederhana. Fares hanya ingin sang ayah tersenyum melihatnya karena dirinya sendiri bukan karena dia sudah membuat Raefal tersenyum, Fares hanya ingin sang ayah mer...