.
.
.
.
.
Abi menatap tidak percaya pada tubuh putranya yang sudah tertutup kain putih. Putra nya pergi, membuat dia merasa gagal menjadi seorang ayah, membuat Abi kembali merasa kehilangan seperti enam belas tahun lalu.Abi berjalan perlahan mendekati tubuh tidak bernyawa putranya, ada rasa sesal dan kecewa dihatinya. Dia merasa seperti seorang pembunuh, ya dia membunuh putranya. Seandainya dia tidak pernah mengijinkan oprasi itu dilakukan, maka saat ini putranya pasti masih ada disisinya.
Abi bisa mendengar tangis ibu dan adiknya diluar ruangan, keduanya sudah lebih dulu melihat kedalam. Kedua keponakannya sudah pulang untuk mengurus hal yang dibutuhkan dirumah, lebih tepatnya Tirta menarik adiknya untuk pergi dari rumah sakit.
"Maafin papa nak, maafin papa yang egois ini, maaf Faresta." air mata Abi perlahan turun saat netra kembarnya menatap wajah damai putra sulungnya. Perkataan dokter tadi bagaikan petir yang menyambar disiang terik.
"Maafkan kami, tapi sang pendonor tidak bisa bertahan."
"Papa jahat kan Res? Papa udah merengut hidup kamu." Abi bergumam lirih saat mengingat senyum cerah yang diberikan Fares sebelum oprasi tadi.
"Kamu minta peluk kan? Apa papa masih pantas peluk kamu?" Abi baru menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan.
"Fares mengetahui bahwa presentase keberhasilan oprasi untuk pendonor hanya 30%, tapi Fares tetap meminta saya melakukan itu. Dia bahkan berpesan, jika dia tidak bisa bertahan ditengah oprasi, dia ingin mendonorkan jantungnya untuk Raefal. Putra sulung anda adalah malaikat tanpa sayap, dia rela menyerahkan hidupnya agar adiknya bisa hidup sehat."
Abi memeluk tubuh dingin Fares dengan erat. Jika saya Fares masih hidup tentu remaja itu akan sangat senang mendapat pelukan dari sang papa. Tapi sayang pelukan itu justru dia dapatkan setelah dia tiada.
"Maafin papa nak, nanti apa yang harus papa bilang ke Raefal kalau dia sadar."
.
.
.
.
.
Tirta menatap sedih pada Regis, adiknya itu mengamuk begitu sampai dirumah. Memaki dan menyalahkan Abi sebagai penyebab meninggalnya Fares."Bang Tirta." Tirta menoleh dia menemukan Gio dan Haris di sebelahnya, mata mereka sembab, meskipun tidak separah Bayu dan Angkasa yang sampai sekarang masih menangis.
"Bang, kita pamit pulang dulu, nanti malem kita kesini lagi, kalau jenazahnya udah dibawa kesini." Gio mengatakan niatnya pada Tirta dan diangguki Haris.
"Iya, makasih kalian udah jadi temen baik buat Fares." Haris dan Gio tersenyum sendu.
"Kita yang bersyukur punya temen sebaik Fares bang." Gio mengangguk setuju.
"Fares itu ntah kenapa bisa buat kita semua deket bang." Tirta tersenyum, adik sepupunya meninggalkan kenangan indah untuk teman-temannya.
"Regis gimana bang?" pertanyaan Gio membuat Tirta menghela nafas.
"Gak papa, nanti biar aku yang nenangin dia, kalian bisa pulang supaya bisa bersih-bersih juga." Haris dan Gio mengangguk, setelah berpamitan sekali lagi pada Tirta, keduanya mengajak Bayu dan Angkasa untuk pulang.
Saat keempat remaja itu pergi, Tirta kembali menatap kearah kamar Regis yang sudah terdengar sunyi. Tirta langsung membuka pintu kamar itu, menghela nafas saat banyak sekali barang yang berserakana dilantai, Regis menghancurkan sebagian barang dikamarnya.
"Gis." Regis yang mendengar suara Tirta langsung menerjang Tirta dengan pelukan.
"Bang Fares jahat bang." Tirta mengelus punggung Regis saat adiknya itu kembali menangis.
"Fares gak jahat Gis, ini udah takdir dari tuhan." Regis melepaskan pelukannya dari Tirta.
"Ini salah om Abi sama Raefal, kalau om Abi gak maksa bang Fares buat donorin ginjalnya bang Fares pasti masih disini, bahkan bang Fares pergi di hari ulang tahunnya!" mendemgar adiknya berteriak membuat Tirta menarik Regis kembali kedalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wächter
FanfictionFares hanya seorang remaja berusia 17 tahun, yang memiliki mimpi dan keinginan sangat sederhana. Fares hanya ingin sang ayah tersenyum melihatnya karena dirinya sendiri bukan karena dia sudah membuat Raefal tersenyum, Fares hanya ingin sang ayah mer...