Kalani menghebuskan napas pelan. Sore ini rumahnya kedatangan keluarga Miftah. Sudah pasti ingin menagih jawaban dari Kalani. Selama tiga hari berturut-turut Kalani salat istikharah, meminta petunjuk yang benar dari Allah. Jawabannya seolah sama, bayangan Miftah selalu muncul dibenaknya.
Ditambah ucapan Naufal hari lalu, yang membuat Kalani semakin yakin. Naufal meyakinkan Kalani bahwa Miftah laki-laki yang baik. Kalani percaya, karena Naufal bukanlah tipe orang yang suka berbohong alias ngomong sakenanya dan seadanya. Jujur apa adanya. Terlebih Naufal itu, kan, sahabatnya Miftah, jadi sudah pasti dia tahu banyak tentang Miftah.
Pak Wisnu mengisyaratkan pada Miftah untuk memulai bicara. Laki-laki itu menggaruk tenguknya yang tidak gatal. Bingung, harus mulai bicara dari mana. Ditambah jantungnya yang tidak bisa diajak kompromi. Sedari tadi jedag-jedug mulu.
Kedua telapak tangan Miftah pun basah karena keringat dingin. Beberapa kali laki-laki itu mengusap tangannya di celananya, tapi tetap saja keringat dingin itu masih saja keluar dengan sendirinya.
"Miftah!" Mama Tya menekan kata 'Miftah' seraya berbisik pada anaknya. Miftah mengerjap pelan. Huh, fokus, Mif, fokus.
"Aku——."
"Kalani——."
Miftah dan Kalani mendadak bungkam. Tuh, kan, baru juga Miftah mengeluarkan suara, Kalani malah ikutan mengeluarkan suara. Berbarengan dengan Miftah lagi. Keduanya sama-sama merasakan kecanggungan yang teramat. Semua yang berada di ruang tamu itu menahan tawanya. Lucu sekali dua insan ini.
"Satu-satu dong ngomongnya, jangan bareng-bareng. Iya, tau, kalian berdua itu ditakdirkan bersama, tapi jangan sampe ngomong juga samaan. Nanti bisa gak jelas," ucap Pak Wisnu. Miftah dan Kalani mengerjap pelan menatap laki-laki separuh baya itu.
"Diem dulu bisa nggak? Atau perlu dijahit itu mulut?" tanya Mama Tya dengan wajah datar dan membuat Pak Wisnu menunduk. Suami takut istri.
"Jadi siapa dulu yang mau ngomong nih?" tanya Bu Nila.
"Kak——."
"Kalani——."
Tuh, kan, lagi-lagi keduanya mengeluarkan suara secara berbarengan. Tidak bisa tahan, baik Hanum, Beno, Bu Nila dan kedua orangtua Miftah tertawa. Sedangkan Kalani dan Miftah hanya terdiam menetralisir dirinya masing-masing.
"Sudah-sudah, biar Miftah duluan deh yang ngomong," pinta Beno setelah menghentikan tawanya. Miftah menelan salivanya kuat-kuat. Dalam hati Miftah bergumam, ayo, Mif, masa ngomong di depan Kalani saja kamu gak bisa, apalagi ngomong di depan panghulu nanti?
Miftah menghela napas pelan. "Apapun keputusan kamu, aku akan terima," ucap Miftah seraya menatap Kalani. Tapi plis, jangan tolak aku, batin Miftah menyeru.
Sedari tadi Kalani sibuk memainkan ujung jilbabnya untuk mengurangi rasa canggung. Apalagi saat ini Miftah mulai berani menatapnya setelah mengucapkan kalimat itu. Kalani, kan, menjadi semakin malu. Lihatlah, kedua pipinya yang terlihat merah merona melebihi merah jilbabnya.
"Gimana, Lan?" suara Mama Tya membuat Kalani mengerjap berkali-kali.
"Miftah udah bilang, apapun keputusan kamu, dia akan terima jadi gak perlu takut untuk mengungkapkan. Ayo, katakan, lebih cepat lebih baik," bisik Bu Nila yang duduk disebelah Kalani.
"Aku___." Kalani menggantungkan kalimatnya. Wanita itu menatap Miftah sejenak dan ternyata laki-laki itu masih saja menatap Kalani. Huh, dasar Kak Miftah lemah iman! Batin Kalani menggerutu.
Semuanya turut menunggu jawaban dari Kalani, tapi wanita itu belum juga melanjutkan ucapannya.
"Iya, aku ... ?" Mama Tya mengangkat tangan kanannya seraya beradegan seperti menuntun Kalani untuk melanjutkan ucapannya. Gemes sendiri jadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temani Sampai Surga
Romance[Romance-Islamic] Lareina Alanna Kalani, nama yang sangat indah, seindah kisah hidupnya. Gadis bermata biru, yang tatapannya selalu tersorot ketenangan sekaligus mampu memikat hati hanya dalam kedipan mata. Gadis yang dengan mudahnya membuat sosok...